Ah, kau dasar wartawan abal-abal.”
Salah seorang tokoh pers nasional, Sabam Leo Batubara, sering melontarkan pendapatnya itu secara lantang dalam berbagai kesempatan guna memotivasi wartawan Indonesia dalam melayani kepentingan publiknya terhadap pemberitaan yang mencerdaskan.
Kalimat bermakna tersebut menjadi salah satu warisan dari pria kelahiran Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada 26 Agustus 1939. Leo Batubara telah berpulang pada Rabu petang (29/8), atau tiga hari pasca-ulang tahun ke-79.
Ia sempat terjatuh saat berada di salah satu ruang Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih Nomor 34, Jakarta Pusat, dan wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
Pak Leo, demikian komunitas pers menyebutnya, sangat dikenal sebagai sosok senior yang penuh semangat. Bicaranya lantang dan mahir merangkai kata-kata secara jernih, terukur dalam berargumentasi dan sering membuat istilah yang membuat banyak orang terhenyak.
“Pers yang tidak cerdas dan membuat sulit masyarakat adalah kelompok abal-abal. Wartawannya pun abal-abal,” ujarnya, manakala menanggapi kinerja sejumlah pihak yang secara sembarangan menempatkan diri sebagai pers.
Istilah “pers abal-abal” dan “wartawan abal-abal” pun menjadi semakin akrab digunakan. Bahkan, Dewan Pers juga memakai sebutan ini lantaran Leo Batubara pernah menjadi anggotanya periode 2003–2006 dan menjabat wakil ketuanya periode 2006–2009.
Di sela-sela kegiatan Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS), yang turut dibidani kelahirannya pada 23 Juli 1988, ia sempat menuturkan “abal-abal” adalah istilah orang Medan, Sumatera Utara, untuk mengungkapkan barang palsu yang tidak bermutu.
“Saya sendiri lupa kapan pertama kali mennggunakan istilah abal-abal. Namun, saya ingat kosa kata ini untuk mengungkapkan kejengkelan berhadapan dengan orang yang menyebut dirinya wartawan atau pemilik perusahaan pers, padahal mereka justru jauh dari tugas pokok dan fungsi pers sebenar-benarnya,” ungkap Leo di Ambon, Maluku, pada 11 April 2012.
Ia termasuk pribadi yang hangat, rendah hati dan senang berbagi pengalaman kepada para juniornya. Namun, sosoknya bisa berubah drastis menjadi tegas, berbicara keras dan tanpa kompromi sekaligus melontarkan argumentasi mendasar sulit terbantahkan manakala menghadapi wartawan abal-abal.
Suami dari Lintong Tambunan, yang wafat pada Senin dini hari (31/7) di Rumah Sakit Cikini Jakarta dalam usia 69 tahun, itu juga punya taktik jitu untuk menguji apakah yang dihadapinya wartawan profesional, atau justru abal-abal.
“Anda tentunya paham kode etik jurnalistik dari Dewan Pers yang berjumlah 50 pasal ya?” Itulah pertanyaan yang sering dilontarkannya. Manakala wartawan yang dihadapinya menjawab, “Ya Pak,” maka Pak Leo pun sambil tersenyum biasa langsung menanggapi: “Ah, kau dasar wartawan abal-abal.”
Pernah pula, ia berkomentar, “Kau hanya bertampang wartawan, tapi bermental koruptor! Pasal kode etik jurnalistik Dewan Pers pun kau coba-coba mark-up.”
Mengapa demikian? Ya, Leo tentu saja sangat tahu bahwa yang tengah dihadapinya bukanlah wartawan profesional. Oleh karena, Dewan Pers melalui Surat Keputusan Nomor 03/SK-DP/III/2006 tertanggal 24 Maret 2006 mencantumkan 11 pasal tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Hanya 11 pasal, tak kurang dan tak lebih, serta tak dapat digelembungkan jumlahnya (mark-up) layaknya aksi koruptor.
Kiprah Leo Batubara dalam dunia pers sudah berjalan saat menempuh pendidikan di Sanata Dharma, Yogyakarta, pada medio 1960-an, kemudian ke Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Jakarta (kini Universitas Negeri Jakarta/UNJ) pada 1970.
“Jadi wartawan itu menyenangkan. Banyak teman dan pergaulan kita menjadi luas. Ini profesi serius untuk mencerdaskan bangsa,” ujar wartawan Suara Karya dan mantan pengurus harian Serikat Penerbitan Suratkabar (kini Serikat Perusahaan perS/SPS) itu dalam satu kesempatan.
Bahkan, ia juga mengakui bahwa sering menjadi tempat bertanya bagi kakaknya yang dikenal sebagai aktivis 1966 dan politisi, yakni Cosmas Batubara. Sang kakak pernah menjadi Menteri Muda Perumahan Rakyat, kemudian Menteri Negara Perumahan Rakyat (1978–1988), dan Menteri Tenaga Kerja (1988–1993) di masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Pergaulan dan lobi yang luas, ternyata pernah pula menempatkan sosok Leo Batubara dianggap kontraversial. Apalagi, ia pernah diperbantukan untuk Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) semasa Presiden Soeharto. Namun demikian, dia di saat bersamaan sering memberikan latar belakang kebijakan Pemerintahan Soeharto kepada sejumlah tokoh dan pimpinan pers yang dikenal dan dipercayainya secara akrab.
“Bagi saya itu bagian dari perjalanan hidup. Saya diminta ikut masuk dunia intelijen. Ya, saya akui banyak mendapat akses penting menyangkut kebijakan pemerintahan masa itu, dan sering pula berbagi ke sejumlah wartawan senior yang kompeten dan pucuk pimpinan redaksi pers nasional yang strategis, seperti LKBN ANTARA, RRI dan TVRI. Sifatnya inside story, karena pers saat itu juga harus intelectual alert,” ungkapnya, dalam satu percakapan terbatas di LPDS.
Kisah dari pihak dalam (inside story) dan peringatan secara intelektual (intelectual alert), dalam pendapatnya, sangat diperlukan bagi kalangan pers, sekalipun bersifat terbatas sesuai kapasitas dan tuntutan zaman.
Akses informasinya yang luas menempatkan pula Leo Batubara menjadi salah satu sosok di balik terbentuknya Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang ditandatangani Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999.
“Pembahasan UU Pers 1999 sempat alot. Untunglah angin reformasi juga membawa semangat menuju kemerdekaan pers yang lebih baik dibanding sebelumnya. Sebetulnya perjuangan kemerdekaan pers tidak akan pernah berhenti. Nafas para insan pers secara pribadi bisa saja berhenti saat maut memanggil. Namun, semangat kemerdekaan pers sesuai tuntuntan zaman tidak akan pernah bisa padam,” demikian Sabam Leo Batubara.
Baca juga: Tokoh pers nasional Sabam Leo Batubara tutup usia
Baca juga: Leo Batubara: UU MD3 ancam kemerdekaan pers
Baca juga: Leo: pers salah harus berani minta maaf
Pewarta: Priyambodo RH
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2018
Published in