Kupang, 14/10 (ANTARA) – Anggota Dewan Pers, Bambang Harymurti mengatakan, seorang jurnalis yang meliput di daerah konflik, harus mampu meredam konflik agar permasalahan yang ada dapat diselesaikan tanpa menimbulkan korban jiwa.
Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan porsi pemberitaan yang seimbang kepada semua pihak terkait dan bersifat tidak provokatif, kata Bambang Harymurti pada lokakarya bertajuk “Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian” bertempat di Hotel Kristal Kupang, Rabu.
Harymurti mengungkapkan, data tindakan kekerasan di Indonesia sepanjang tahun 1990 sampai 2003 menunjukkan, korban meninggal sebanyak 10.758 orang dari 3.608 peristiwa.
Penyebabnya antara lain, karena faktor “ethno communal” di mana korban meninggal 9.612 orang atau 89,3 persen dari 599 peristiwa atau 16,6 persen, “state community” sebanyak 105 orang meninggal atau 1,0 prsen dari 423 peristiwa atau 11,7 persen.
Selain itu, faktor ekonomi sebanyak 78 orang meninggal atau 0,7 persen dari 444 peristiwa atau 12,3 persen dan faktor lainnya yang meninggal sebanyak 963 orang atau 9,0 persen dari 2.142 peristiwa atau 59,4 persen.
“Potensi konflik bisa terjadi bila kekuatan dua kelompok di satu daerah seimbang,” ungkap Harymurti.
Menurutnya, salah satu solusi yang bisa ditawarkan untuk meminimalisir konflik adalah, memekarkan wilayah berdasarkan peta konflik yang terjadi.
Harymurti pada kesempatan itu merekomendasikan sejumlah poin antara lain, karena kebenaran absolut belum ditemukan, maka bekerja sama secara terbuka adalah cara terbaik menemukan kebenaran.
Hal lain, katanya, adalah jangan melupakan suara rakyat biasa yang terjepit di antara konflik dua kelompok atau lebih.
Dia menambahkan, setiap kelompok adalah kumpulan manusia yang baik maupun yang jahat. Jangan takut untuk mengaku tidak tahu dan selalu memikirkan informasi yang diyakini benar.
“Karena jika terjadi perang, wartawan akan kesulitan mendapatkan informasi. Wartawan yang beretika harus seimbang dalam pemberitaan,” tegas Harymurti. *
Published in