Kupang, 14/10 (ANTARA) – Kasus penangkapan nelayan tradisional asal Nusa Tenggara Timur (NTT), oleh petugas keamanan laut Australia selama ini, bukan karena lemahnya diplomasi Departemen Luar Negeri (Deplu) RI.
Masalah penangkapan para nelayan sudah berlangsung lama dan Deplu telah mengambil langkah dengan membangun kesepakatan kerjasama dengan pemerintah Australia untuk mengawasi perairan kedua negara, kata Deputi Direktur Diplomasi Publik Departemen Luar Negeri, Theo Satrio Nugroho, di Kupang, Rabu.
Dia mengemukakan hal itu menjawab pertanyaan peserta lokakarya “Pers Membangun Demokrasi dan Perdamaian” yang dilaksanakan atas kerjasama Departemen Luar Negeri dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
“Masalah nelayan ini sudah berlangsung lama, tetapi kalau dikatakan Deplu lemah dalam diplomasi, saya kira tidak benar. Kami sudah menandatangani MoU (nota persepahaman) dengan pemerintah Australia,” katanya.
Dia menambahkan, sikap petugas perairan Australia yang sangat ketat dalam menjaga wilayah perairan, karena negara tetangga itu menilai Indonesia lemah dalam menjaga dan mengawasi pendatang gelap yang sering menjadikan Indonesia sebagai tempat transit ke Australia.
“Jadi, sebenarnya lebih pada kekhawatiran dari Australia soal lemahnya pengawasan terhadap orang asing yang memasuki negara itu secara ilegal melalui Indonesia,” katanya.
Karena itu, katanya, pemerintah Australia sangat hati-hati dan sangat serius mengawasi wilayah perairan mereka, agar orang asing tidak memasuki negara itu secara ilegal.
Dalam hubungan dengan keluhan soal sikap Deplu, kata dia, akan disampaikan kepada pihak-pihak terkait agar lebih serius dalam menangani masalah ini.
Dengan demikian, lanjutnya, diharapkan penanganan terhadap nelayan yang ditangkap dengan tuduhan memasuki wilayah perairan negara itu secara ilegal lebih manusiawi.
Selama ini, para nelayan yang ditangkap selalu menjalani proses hukum, di samping perahu mereka dibakar dan semua hasil tangkapan disita.
Setelah menjalani proses hukum, pemerintah Australia biasanya mengirim para nelayan kembali ke Indonesia melalui Bandara El Tari Kupang.
Lokakarya yang berlangsung 13-15 Oktober ini diikuti belasan wartawan dari negara Timor Leste, termasuk Juru Bicara Presiden Timor Leste, Antonio Ramos.(*)
Published in