Editorial Koran Tempo, Kamis, 16 Juli 2009
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Munarman terhadap Koran Tempo merupakan kemenangan akal sehat. Majelis hakim yang dipimpin Syahrial Sidik jernih dalam melihat persoalan pemuatan foto Panglima Komando Laskar Islam tersebut di koran ini lebih dari setahun yang lalu. Putusan ini juga merupakan kemenangan bagi kebebasan pers.
Munarman menggugat koran ini karena telah memuat foto dirinya sedang mencekik seseorang disertai keterangan yang tidak akurat. Dia menuding Koran Tempo tidak melakukan pemberitaan berimbang karena ia tak dimintai konfirmasi terlebih dulu atas berita foto tersebut. Merasa dirugikan, Munarman menuntut ganti rugi Rp 13 miliar. Dia juga meminta tergugat meminta maaf secara terbuka di sejumlah media massa.
Dalam pertimbangan putusan, hakim berpendapat bahwa Koran Tempo telah melakukan koreksi atas kesalahan itu. Ralat yang disertai permintaan maaf ini dimuat pada edisi berikutnya di halaman yang sama. Dengan demikian, koran ini telah bertindak sesuai dengan prosedur yang diatur dalam Undang-Undang Pers. Itu sebabnya, hakim menolak seluruh keinginan penggugat.
Kendati senang atas putusan majelis hakim, kami tidak merasa perlu menepuk dada. Sebaliknya, kami menyadari masih banyak memiliki kekurangan dan menyesali diri atas kelemahan itu.
Perkara yang bermula dari tragedi Monas pada 1 Juni 2008 itu–ketika sejumlah anggota masyarakat yang hendak memperingati Hari Kelahiran Pancasila diserang oleh sekelompok orang–memperlihatkan bahwa pers bukanlah institusi yang sempurna. Pers dapat melakukan kesalahan dalam melakukan tugasnya mencari, mengolah, dan menyebarluaskan gagasan serta informasi.
Ralat disertai permintaan maaf tak cuma wujud kepatuhan kami memenuhi amanat Undang-Undang Pers yang mewajibkan media melakukan koreksi atas kesalahan. Hal ini juga sesuai dengan asas jurnalisme kami, antara lain menegaskan misi bahwa “tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melengkapinya; bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian”.
Pers yang lurus mungkin memang tak bisa ditegakkan semata dengan modal niat baik para pengelolanya. Kontrol masyarakat niscaya tetap diperlukan. Namun, ada baiknya kontrol itu menggunakan koridor seperti diatur dalam UU Pers. Kritik sebaiknya dimulai lewat penulisan hak jawab, kemudian pengajuan keluhan melalui Dewan Pers, sebelum digulirkan ke pengadilan.
Harus diakui, kalangan pers sering dirugikan ketika menghadapi gugatan perdata atau tuntutan pidana di pengadilan. Soalnya, masih banyak hakim yang tergoda menerapkan aturan warisan kolonial, yakni pasal-pasal penghinaan atau pencemaran nama baik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Mereka mengabaikan ketentuan yang diatur dalam UU Pers.
Itu sebabnya, putusan Pengadilan Jakarta Selatan kali ini perlu dihargai. Kebebasan pers terlindungi karena hakim berpatokan sepenuhnya pada UU Pers dan menggunakan pertimbangan yang jernih dalam memutuskan perkara.*
Published in