Oleh ATMAKUSUMAH ASTRAATMADJA
Ramai-ramai tentang penolakan terhadap siaran Konvensi Demokrat di Televisi Republik Indonesia (TVRI) pada 15 September yang lalu, selama 2 jam 23 menit, menimbulkan pertanyaan: mengapa harus sepenuhnya ditolak? Timbul pula pertanyaan lain: tidakkah konsep tata pemerintahan yang dijelaskan dalam peristiwa ini oleh para calon pemimpin negara cukup penting sebagai informasi yang diperlukan oleh publik?
Informasi seperti itu sulit diharapkan dari media siaran televisi swasta yang lebih mementingkan tujuan komersial dan rating. TVRI, sebagai media siaran televisi publik, hampir-hampir hanya menjadi harapan satu-satunya bagi masyarakat luas untuk memperoleh informasi mendalam tentang para calon pemimpin negara kita pada masa depan.
Ternyata, TVRI juga pernah melakukan siaran yang serupa, terfokus semata-mata pada kegiatan satu partai politik atau lembaga sosial, umpamanya ulang tahun Fraksi Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional, dan organisasi karyawan SOKSI. Malahan, direktur utama TVRI, Farhat Syukri, menjelaskan bahwa kesempatan yang sama akan diberikan kepada partai-partai politik yang lain dengan durasi atau jam tayangan yang sama lamanya.
Program seperti ini patut dihargai. Yang penting, TVRI tidak meminta bayaran untuk siaran ini, kecuali bila berbentuk iklan atau advertorial. Bahkan, durasi tayangan tidak harus sama lamanya karena bobot peristiwa itu dan informasi bagi kepentingan publik yang terkandung di dalamnya perlu dipertimbangkan.
Independensi dan Netralitas
Yang penting pula, independensi kebijakan redaksi harus dihormati oleh semua pihak, baik dari pihak internal maupun pihak eksternal stasiun televisi tersebut, dalam menetapkan setiap isi siaran karya jurnalistik. Ini berarti, baik direksi TVRI maupun kekuatan politik, ekonomi, dan sosial di luar TVRI tidak dapat menekan kebijakan redaksi. Kekuatan-kekuatan dan kalangan di luar redaksi hanya mungkin mengajukan saran dan pendapat yang sejalan dengan kebijakan yang sudah ditetapkan oleh redaksi.
Akan tetapi, independensi tidak harus berarti netralitas. Inilah istilah-istilah yang sering disalahpahami, seolah-olah independen hanya mengandung makna netral. Independensi mengandung sikap yang mengembangkan kemandirian dalam pendirian. Dalam independensi redaksi, memang, dapat terjadi sikap netral. Media siaran lebih-lebih lagi diharapkan bersikap senetral mungkin karena stasiun radio dan stasiun televisi menggunakan frekuensi radio yang merupakan milik publik dengan bermacam-ragam pendirian.
Namun, dalam independensi juga dapat timbul pendapat yang berpihak kepada pendirian atau visi yang oleh redaksi dianggap paling baik bagi kepentingan masyarakat seluas mungkin. Yang terpenting, redaksi perlu bersikap imparsial, yang tidak hanya mementingkan pihak-pihak tertentu—agar sebanyak mungkin kalangan mendapat peluang untuk diliput oleh media pers.
Agaknya yang masih perlu dipertimbangkan dalam siaran TVRI—yang selama satu minggu belakangan ramai diperdebatkan—adalah formatnya. Siaran seperti ini sebaiknya tidak sekadar menampilkan pandangan teoretis para calon pemimpin negara itu, melainkan juga memberikan gambaran tentang prestasi nyata dalam karier mereka selama ini.
Malahan program ini sebaiknya dipertimbangkan oleh stasiun-stasiun televisi yang lain, yang bukan media siaran publik seperti TVRI, terutama yang mengutamakan siaran pemberitaan. Yang lebih perlu dikecam oleh para pengamat sebenarnya adalah stasiun-stasiun televisi yang hanya mementingkan peliputan kegiatan lembaga-lembaga yang dipimpin oleh pemilik stasiun televisi tersebut. Stasiun televisi seperti ini seakan-akan lupa bahwa mereka sedang meminjam frekuensi radio milik masyarakat—yang tidak semuanya sejalan dengan pendirian lembaga-lembaga itu.
Menjelang Pemilihan 2014
Peliputan tentang para calon pemimpin negara kita oleh media pers independen semakin diperlukan sekarang ini, pada saat-saat menjelang pemilihan umum bagi para anggota parlemen dan pemilihan presiden pada 2014 yang kian dekat. Peliputan pers seperti itu juga diperlukan dalam pemilihan para kepala daerah, terutama peliputan oleh media pers daerah atau lokal. Adalah penting bagi media pers untuk menyajikan selengkap mungkin konsep dan program partai-partai politik serta para pemimpinnya tentang pembangunan yang mereka rencanakan untuk negeri ini. Selain itu, penting pula menampilkan informasi tentang latar belakang karier para pemimpin itu selama ini agar masyarakat dapat menilai apakah mereka patut memimpin negeri ini selanjutnya.
Dengan demikian, peliputan oleh pers bukan sekadar menonjolkan karakter dan citra para pemimpin yang sedang mencalonkan diri untuk menjadi presiden dan wakil presiden atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah serta gubernur, bupati, dan wali kota. Melainkan, peliputan itu terutama sekali menampilkan kemampuan sebagai pengelola tata pemerintahan yang maju dan demokratis, yang hendaknya tercermin dalam perjalanan karier mereka serta dalam konsep dan program pemerintahan yang mereka rancang.
Sepanjang yang dapat kita amati selama ini, hasil penelitian lembaga-lembaga survei pemilihan umum di Indonesia hanya terpusat pada citra dan karakter para calon pemimpin politik. Dengan kata lain, para responden survei itu tampaknya hanya mendasarkan pilihan mereka pada popularitas tokoh-tokoh tersebut. Popularitas yang dimaksudkan tidak harus berarti karena keberhasilan karya-karya pembangunan berdasarkan konsep mereka, melainkan karena seringnya mereka tampil dalam berbagai kampanye politik atau sebagai narasumber pemberitaan pers dan muncul dalam iklan media massa.
Karena pers dipandang memiliki posisi yang dominan dalam menciptakan citra para pemimpin, maka menjadi kewajiban pers pula untuk memberikan gambaran yang jelas dan lengkap mengenai tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, publik tidak akan memperoleh kesan dan penafsiran yang keliru tentang sosok dan pendirian politik mereka. Dengan mendapat bekal informasi yang benar dari pers, publik yang “sarat informasi (well-informed)” dapat menentukan pilihan yang lebih tepat bagi para calon pemimpin negara kita dalam pemilihan umum. Dengan kata lain, media pers dapat memperkaya informasi yang diperlukan oleh para pemilih.
ATMAKUSUMAH
Pengamat pers dan pengajar jurnalisme di
Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta
(Dimuat di harian Kompas, edisi Senin,
30 September 2013, halaman 7)
Published in