Jakarta (LPDS News) – Media massa memiliki sejumlah prasyarat agar dipercaya masyarakat, terutama harus memiliki tenaga redaksi yang terdidik dan bertata moral dalam manajemennya, kata Prof. DR. David T. Hill, pengamat pers dari Universitas Murdoch Australia.
Dalam diskusinya dengan peserta pelatihan jurnalistik dan kehumasan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), serta 45 wartawan Kantor Berita ANTARA dari 33 provinsi yang berlangsung di LPDS pada Rabu (25/2), Hill mengemukakan bahwa pendidikan tata moral di media massa jauh lebih penting sebagai pendukung keterampilan jurnalistik.
“Kesejahteraan wartawan juga penting, keterampilan membuat berita juga harus memadai. Tetapi, pendidikan tata moral jauh lebih penting lagi karena wartawan berbisnis dengan kepercayaan dan kecerdasan masyarakatnya,” ujar Hill.
Dalam amatan Hill, Indonesia memiliki beberapa wartawan yang secara formal pendidikannya biasa saja, namun mereka memiliki keuletan dan gigih untuk belajar sekaligus mendalami jurnalisme secara ilmiah. Mereka pada akhirnya juga menulis buku yang justru menjadi referensi kalangan guru besar ilmu komunikasi dan publisistik di perguruan tinggi.
“Beberapa di antara mereka adalah Mochtar Lubis almarhum. Dan, Pak Atmakusumah yang juga temannya termasuk berada di sana, karena banyak pemikiran dan buku-buku Pak Atma menjadi referensi saya dan teman-teman lain di perguruan tinggi untuk mengetahui tentang pers Indonesia,” kata Hill, yang dalam diskusi tersebut didampingi Atmakusumah Astraatmadja, Direktur Eksekutif Emeritus LPDS.
Hill mengemukakan pula, wartawan Indonesia jangan berkecil hati dalam menjalankan profesinya, karena secara umum media massa di negeri ini dari kebebasan isi pemberitaan termasuk yang terbaik untuk cakupan wilayah Asia Tenggara.
“Dibandingkan dengan Muangthai, Malaysia, Singapura, dan Filipina sekalipun, maka media massa Indonesia kebebasan isi pemberitaannya jauh lebih bagus,” ujarnya.
Namun demikian, Hill juga tidak mengingkari bahwa masih ada kenyataan bahwa wartawan Indonesia masih memiliki sejumlah permasalahan mendasar, terutama menyangkut kesempatan memperoleh pendidikan lebih tinggi dan kesejakteraan atau gaji yang mereka terima.
Menanggapi masalah kesejahteraan wartawan, Atmakusumah secara tegas mengemukakan bahwa situsasi dan kondisi semacam itu harus dihadapi wartawan Indonesia secara gigih kalau memang sudah menetapkan jalan hidupnya menjadi wartawan profesional, yang menjunjung nilai-nilai kebenaran atas dasar kepentingan umum dan menjalankan profesinya secara bermoral.
“Kalau wartawan gajinya kecil, maka tidak ada salahnya dia minta bantuan finansial kepada mungkin ke istrinya, orang tuanya, atau mungkin ke pamannya, sehingga profesi kewartawannya tetap independen dan bermoral. Kalau tidak berani susah, ya silakan jangan coba-coba menjalani profesi wartawan,” demikian Atmakusumah Astraatmadja.
Diskusi David T. Hill yang dipandu Atmakusumah tersebut berlangsung sekira 150 menit, dan peserta diskusi banyak yang memberikan informasi seputar profesi mereka di daerah.
Hill berada di Jakarta sekira 10 hari dengan agenda utama menjadi penelaah dua buku mengenai Atmakusumah, yaitu “Menjaga Kebebasan Pers, 70 Tahun Atmakusumah Astraatmadja” terbitan LPDS dengan editor Lukas Luwarso (alumni LPDS yang kini selaku Sekkretaris Umum Dewan Pers), dan “Tuntutan Zaman: Kebebasan Pers dan Ekspresi” berisi kumpulan pemikiran Atmakusumah tentang pers Indonesia selama 25 tahun terakhir ini yang diterbitkan Voice of Human Right (VHR).
(Foto: Prof. David T. Hill PhD di sebelah kiri didampingi Atmakusumah Astraatmadja dalam diskusi di LPDS)
Published in