Wartawan di Daerah Konflik Perlu Dilindungi

Pasuruan (ANTARA-Jatim.Com) – Berbagai kasus yang mengambarkan nasib wartawan yang menjadi korban kekerasan di daerah konflik di Indonesia, masih sebatas bahasan dan masih dalam proses diperjuangkan.

“Memang belum ada kejelasan, namun tetap harus diperjuangkan nasib wartawan di daerah konflik karena tugasnya, mereka yang bertikai harus mengangap tugas wartawan itu netral,” kata mantan Ketua Dewan Pers, Atmakusumah Astraatmadja, dalam perbicangan dengan ANTARA News, di Taman Dayu Pasuruan, Minggu (18/4).

Sejauh ini, menurut dia, di seluruh dunia memang belum ada lembaga yang mampu memberikan perlindungan kepada wartawan yang sedang bertugas di daerah konflik. Bahkan, di Indonesia, TNI dan kepolisian yang pernah diminta mengamankan wartawan yang sedang bertugas di daerah konflik mengaku tidak sanggup.

“Sulit rasanya memberikan jaminan keamanan wartawan yang sedang bertugas di daerah konflik,” katanya memberikan gambaran.

Berbeda dengan dokter atau paramedis yang sedang bertugas di daerah konflik, seperti medan perang, berbagai pihak yang bertikai, sudah menganggap mereka netral. Artinya, siapapun yang bertikai kalau menderita luka, sesuai profesinya, tenaga dokter dan paramedis, tidak akan membedakan dan tetap akan dilayani.

“Pernah ada gagasan, menempatkan wartawan posisinya, mirip tenaga paramedis, kenyataannya juga sulit,” katanya penerima Anugerah Magsasay 2000 itu.

Di satu pihak, tenaga paramedis bisa dianggap netral, di lain pihak wartawan masih sulit dianggap netral, karena dianggap dalam menulis masih berpihak.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Priyambodo RH, menuturkan bahwa pola peliputan di daerah konflik, bisa dilakukan dengan teknik partisipatif.

Wartawan di dalam meliput di daerah konflik, menurut dia, ada kalanya tidak langsung bergerak bekerja, namun sebelumnya melalui proses memperkenalkan diri dan melakukan pendekatan kepada pihak yang ada di wilayah setempat.

Setelah situasi memungkinkan baik wartawan dan pihak yang bersengketa memiliki kepentingan yang sama, barulah peliputan dimulai.”Cara itu lebih aman, dibandingkan ketika datang ke lokasi konflik wartawan langsung main asal meliput,” ujar wartawan ANTARA Multimedia Gateway, Kantor Berita ANTARA, yang pernah meliput konflik di kawasan Kamboja, Sudan, dan pemilu Thailand itu.

Yang jelas, Kepala Kantor Berita ANTARA Biro Eropa di Lisabon (Portugal) dan Brussel (Belgia) pada 1998-2001 itu mengemukakan, munculnya kekerasan di daerah konflik yang dialami wartawan seyogyanya dipermasalahkan, dan harus ada solidaritas sesama wartawan dan organisasi profesi pers.

“Ini sebagai langkah menekan terjadinya kekerasan atas wartawan yang sedang bertugas dan meliput di lapangan,” ujarnya.

Ketua Bidang Multimedia PWI Pusat tersebut mengemukakan hal itu setelah mendapatkan laporan sejumlah wartawan yang bertugas di Jawa Timur, yang juga peserta lokakarya jurnalistik yang digelar LPDS bekerja sama dengan Mobil Cepu Limited (MCL) di Taman Dayu, Pasuruan, 16 -18 April ini, mendapatkan tindak kekerasan masa pengunjuk rasa.

Sebagaimana diungkapkan seorang reporter radio di Bojonegoro, Joe SBI, sejumlah wartawan di Bojonegoro, pernah mengalami kasus kekerasan dikejar-kejar ratusan anggota sebuah perguruan pencak silat di Bojonegoro. Sejumlah wartawan sempat dipukuli, hingga babak belur dan terpaksa harus menjalani rawat inap di rumah sakit.

Joe mengaku, ketika mengetahui wartawan yang sedang bertugas dipukuli, dirinya langsung melarikan diri. “Bagi saya lebih baik tidak mendapatkan berita, dibandingkan nekad memburu berita kenyataan harus babak belur, kalau saya tewas bagaimana nasib anak istri saya,” jelasnya dengan nada enteng.

Hal senada disampaikan seorang wartawan media online di jawa Timur, Abdul Khohar, ketika terjadi kerusuhan politik di Tuban, pasca pilkada yang dimenangkan Bupati Tuban, Haeny Relawaty, sejumlah wartawan juga menjadi korban kekerasan para pengunjuk rasa.

Selain melakukan pembakaran fasilitas umum di Tuban, sejumlah wartawan menjadi korban kekerasan, tidak hanya dipukuli, juga kameranya dirusak.”Pengamanan wartawan yang bertugas di daerah konflik seharusnya berangkat dari kita sendiri,” kata Jatmiko, wartawan Tempo di Bojonegoro.

Kasus pengaduan

Di dalam menjalankan tugasnya, seperti dituturkan Atmakusumah, wartawan sering menghadapi masalah tuntutan hukum. Dalam sepuluh tahun terakhir, pengaduan yang masuk ke dewan pers, rata-rata mencapai 3.000 pengaduan setiap tahunnya.

“Ya, hampir setiap hari ada satu pengaduan,” katanya.

Di dalam surat pengaduan yang masuk mulai individu masyarakat, lembaga, pejabat tersebut, karena merasa dirugikan, berita yang ditulis wartawan tidak menyenangkan mereka yang mengadu.

“Kalau dikaji lebih mendalam, mereka yang mengadu merasa, berita yang ditulis wartawan tidak berimbang,”jelasnya.

Dia menyatakan, di dalam menangani pengaduan yang masuk tersebut, secara prinsip berusaha mendamaikan kedua belah pihak. Sepanjang pengaduan yang masuk tersebut, tidak ditangani kepolisian.

Kalau saja, mereka yang merasa dirugikan, juga mengadu ke kepolisian selain dewan pers, pemecahannya diminta memilih. Sedangkan penanganan penyelesaian pengaduan tersebut, rata-rata bisa diselesaikan dengan cara sura menyurat dan tidak berakhir masuk dalam ranah hukum.

“Prinsip kami di dalam menyelesaikan pengaduan harus tidak ada campur tangan hukum,” katanya menjelaskan.

Oleh karena itu, Priyambodo RH mengemukakan sejak tiga tahun yang lalu LPDS bekerja sama dengan Dewan Pers, dan setahun terakhir ini didukung pula Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan etika pers yang bisa diikuti wartawan (reporter) dan editor (radaktur).

Di dalam pelatihan itu, peserta pelatihan memperoleh materi kode etik jurnalistik semua media masa, perlindungan hukum wartawan, wawasan jurnalistik dan upaya pencegahan kriminalisasi pers.

“Mereka yang lulus tes analisis berita, berhak mendapatkan perlindungan hukum dari kami dan dewan pers, kalau menghadapi tuntutan hukum,” ujarnya.

Redaktur dan wartawan yang berhasil membuat tugas analisa isi berita mengenai kode etik jurnalistik (KEJ) berhak mendapatkan kartu etika pers sebagai tanda telah lulus pelatihan. Bahkan, LPDS bersama Dewan Pers dan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta memberikan pendampingan hukum bagi alumni pemegang kartu KEJ bilamana menghadapi tuntutan hukum berkaitan dengan hasil karya jurnalistiknya.

Peminat peserta pelatihan etika pers ini, cukup tinggi baik di Jawa dan luar Jawa dan dijadwalkan Mei 2010 ini, pelatihan serupa kembali digelar di Jakarta. Sebelum itu, pelatihan etika pers dilaksanakan di Jakarta dan Makasar (Sulawesi Selatan). (*)

Published in Berita LPDS