Menjadi Jurnalis Profesional di Tengah Maraknya Berita Kasus Kekerasan Seksual

Jakarta – Pelanggaran terhadap pengungkapan identitas korban kekerasan seksual di media tmasih banyak. Hal ini diungkapkan Rustam Fachri Mandayun, Ahli Pers dari Dewan Pers saat memberikan materi pelatihan kepada peserta magang, mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, di kantor Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS), Jakarta Pusat, Selasa (12/11).

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dewan Pers bersama Universitas Tidar Magelang, dari  768 berita yang dianalisis, sebanyak 212 atau sekitar 27% di antaranya melanggar prinsip perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Rustam Fachri Mandayun (Foto: Hanif Adhi Nugroho)

Penelitian tersebut dilakukan terhadap sembilan media online  (dalam jaringan), yakni  Okezone.com, Detik.com, Tribunnews.com, Kompas.com, Pikiran-rakyat.com, Kumparan.com, Cnnindonesia.com, Merdeka.com, Suara.com. Salah satu dari media yang diteliti,  ada yang memiliki tingkat pelanggaran hingga 65%. Tertinggi di antara media yang dianalisis dalam penelitian tersebut.

Dewan Pers menyoroti bahwa pelanggaran yang ditemukan meliputi hal-hal seperti, penyebutan identitas korban dan rincian kasus yang dapat mengungkap informasi pribadi korban. Pelanggaran ini bertentangan dengan prinsip dasar pemberitaan kekerasan seksual, yaitu melindungi korban, maupun pelaku, terlebih yang melibatkan anak.

Rustam, yang juga Analis di Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika di Dewan Pers,  mengatakan bahwa hasil penelitian ini memperlihatkan perlunya kesadaran yang lebih besar di kalangan media untuk lebih berhati-hati dalam meliput kasus kekerasan seksual dan kejahatan yang melibatkan anak. Ahli Pers ini mengimbau media untuk lebih menekankan etika jurnalistik dan menghindari penyajian berita yang bersifat sensasional terkait kekerasan seksual.

Dewan Pers juga telah mengeluarkan Pedoman Pemberitaan Ramah Anak, yang mewajibkan wartawan untuk tidak mengungkap identitas anak yang diduga, disangka, didakwa  melakukan kejahatan. Identitas yang dimaksud adalah, seperti nama dan informasi lain yang dapat mengarah pada identitas korban. Langkah ini penting untuk melindungi keamanan dan kondisi psikologis korban serta mencegah trauma tambahan.

Selain itu, Rustam  juga menegaskan perlunya pemberitaan yang responsif terhadap gender, mengingat bahwa banyak kasus kekerasan seksual terkait erat dengan stereotip gender yang merugikan. Dalam hal ini, media diharapkan memberikan dukungan kepada korban melalui pemberitaan yang adil dan berlandaskan prinsip kesetaraan.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, pers di Indonesia memiliki tugas untuk memenuhi hak masyarakat dalam memperoleh informasi, menghormati hak asasi manusia, serta mendukung demokrasi dan supremasi hukum. Dalam konteks pemberitaan kekerasan seksual, media diharapkan tetap berpegang pada hak-hak korban.

Rustam  juga mengingatkan pentingnya verifikasi fakta dan keseimbangan dalam pemberitaan. Prinsip verifikasi sangat diperlukan, terutama dalam kasus-kasus sensitif, guna menghindari kesalahan yang bisa merugikan korban. Kode Etik Jurnalistik Indonesia menegaskan bahwa wartawan harus bersikap independen, akurat, dan menghindari penggabungan fakta dengan opini yang menghakimi.Melalui pelatihan ini, Rustam, yang juga Penguji Kompetensi Wartawan dari LPDS,   berharap agar peserta pelatihan memahami pentingnya etika jurnalistik dalam memberitakan kasus kekerasan seksual, kelak setelah menjadi wartawan profesional. Dengan demikian, media tempat peserta kelak bekerja dapat berperan sebagai mitra yang efektif dalam proses pemulihan korban dan menciptakan ruang aman bagi mereka.

Tak hanya itu, Ahli Pers ini menekankan bahwa media memiliki tanggung jawab besar dalam meningkatkan kesadaran publik terhadap isu-isu sensitif seperti kekerasan seksual. Dengan mematuhi pedoman yang ada, media dapat memberikan kontribusi positif dalam upaya pemberantasan kekerasan seksual serta meningkatkan penghormatan terhadap hak-hak korban. (Alif Panji Anugrah-PNJ)

 

 

Published in Berita LPDS