Nostalgia Agen Koran dan Pelanggan Majalah di Era Digital

LPDS, JAKARTA – Era digital saat ini membuat media cetak tak lagi menjadi pilihan utama bagi sebagian besar masyarakat untuk mendapatkan sumber informasi. Beragam sumber informasi tersaji di ponsel melalui platform digital dan media sosial. Namun, sumber informasi yang berasal dari koran maupun majalah, tetap saja ada peminatnya. Bagi kalangan ini, media cetak memiliki daya tarik tersendiri.

Salah satunya adalah Andi Muhammad. Pria berusia 30 tahun ini telah berlangganan koran dan majalah sejak awal tahun 2000. Baginya, media cetak bukan sekedar berita. Lebih dari itu, soal kedalaman informasi dan kenikmatan membaca yang tak dapat tergantikan oleh digital.

“Saya merasa kalau baca secara fisik itu lebih bisa menyerap. Informasi kata per katanya lebih bisa diformulasikan dalam pikiran dengan lebih baik,” ungkap Andi.

Roni (47) agen penjualan surat kabar dan majalah cetak di Kota Depok. Foto: Nur`Aina Aziza Gustina/Magang PNJ.
Roni (47) agen penjualan surat kabar dan majalah cetak di Kota Depok. Foto: Nur`Aina Aziza Gustina/Magang PNJ.

Meski ia juga berlangganan koran dan majalah digital TEMPO, Andi mengakui sering merasa tidak mendapatkan poin penting dari berita saat membaca di layer ponselnya. “Sering kali jadi tinggal scroll, ambil poinnya aja. Padahal sama-sama dari TEMPO,” tambahnya.

Dulu, Andi adalah pelanggan setia koran fisik. Mulai dari Kompas hingga Republika. Namun, seiring berjalannya waktu, media cetak satu-persatu pun tumbang. Kini, Andi hanya berlangganan koran digital. Andi memilih format digital untuk koran TEMPO karena keterbatasan akses ke versi cetaknya. “Koran fisik TEMPO nggak ada di tempat saya, jadi saya langganan yang digital,” ungkapnya.

Andi Muhammad (30) pelanggan surat kabar dan majalah cetak sejak awal tahun 2000. Foto: Nur`Aina Aziza Gustina/Magang PNJ.
Andi Muhammad (30) pelanggan surat kabar dan majalah cetak sejak awal tahun 2000. Foto: Nur`Aina Aziza Gustina/Magang PNJ.

Saat ini, di rumah Andi, hanya ada satu loper koran yang masih konsisten menjual majalah cetak. Loper tersebut menjadi satu-satunya tempat Andi mendapatkan majalah fisik yang ia sukai. “Jadi, saya cuma beli di situ,” ujarnya, menceritakan bagaimana semakin sedikitnya penjual yang menawarkan media cetak.

“Sepuluh tahun lalu, saya belinya di banyak tempat. Majalah dan koran fisik masih mudah didapat,” tambahnya, mengingat masa lalu ketika majalah-majalah seperti Rolling Stone dan Angkasa masih mudah ditemukan. Kini, majalah-majalah tersebut keberadaannya semakin terbatas untuk tidak dikatakan langka.

Ia juga menceritakan pengalaman temannya yang berada di Yogyakarta. “Saya ada teman di Jogja. Dia itu sebenarnya bukan berlangganan sih, tapi rutin membeli, bahkan di Jogja saja yang notabene secara budaya literasinya jelas lebih tinggi dibanding Jabodetabek ya, di sana tuh sulit untuk mencari sumber pembelian koran dan majalah,” ungkapnya.

Meskipun zaman telah berubah, dengan media cetak semakin sulit ditemukan, Andi tetap setia berlangganan majalah TEMPO. Baginya, majalah tersebut masih menjadi sumber informasi yang dapat diandalkan, terutama karena liputannya yang investigatif dan mendalam.

“Saya senang informasi yang disajikan TEMPO detail. Dibandingkan dengan medsos, memang informasinya cepat sekali. Hanya saja kalau yang sifatnya investigatif, saya kira sejauh ini cuma TEMPO yang melakukannya. Itulah sebabnya saya memilih langganan majalah TEMPO,” ucapnya mantap.

Meskipun masih setia berlangganan majalah TEMPO, Andi merasakan adanya penurunan kualitas, baik dari segi isi maupun bahan. Ia berharap media cetak saat ini dapat kembali menyajikan informasi yang lebih tebal. “Sebenarnya tuh saya berharap media sekarang dapat lebih tebal ya dalam hal informasi, tidak hanya padat, cuma ya mungkin tuntutan zaman jadi saya juga nggak bisa menyalahkan,” ujarnya. Bagi Andi, ada perasaan bahwa perkembangan zaman tampaknya telah mengarahkan media untuk menyajikan berita yang lebih ringkas.

Andi juga merasa harga majalah yang ia bayar sekarang, yaitu sebesar Rp50 ribu, tidak sebanding dengan apa yang ia dapatkan. “Yang jelas yang saya rasakan saya membayar 50 ribu untuk majalah TEMPO yang sekarang tuh sebenarnya kurang sih,” katanya. Ia merasakan bahwa dibandingkan dengan 10 atau 20 tahun lalu, konten majalah TEMPO saat ini terasa lebih sedikit.

Satu hal yang menjadi sorotan Andi adalah berkurangnya jumlah halaman majalah tersebut. Meskipun ia tidak memiliki data pasti, ia merasa bahwa majalah TEMPO sekarang lebih tipis dibandingkan dulu. Selain itu, ia juga melihat adanya peningkatan advertorial dan berita hiburan dalam majalah tersebut, yang menurutnya semakin mendominasi halaman. “Jadi kayak saya merasanya kayak lebih banyak advertorialnya sekarang, atau kayak berita-berita hiburannya sih,” ujarnya, mencatat perubahan yang ia anggap sebagai bagian dari penyesuaian zaman.

Sebagai pembaca yang “old school,” Andi mengaku masih memiliki nostalgia dengan media dan buku cetak. Meskipun memahami bahwa tren jurnalistik kini lebih mengutamakan profit demi kelangsungan bisnis, ia tetap berharap media fisik tidak sepenuhnya hilang. “Saya tetap berharap ada media fisik dalam jumlah yang cukup ya untuk menemani keseharian,” ujarnya. Baginya, jika media cetak bisa bertahan, meskipun hanya satu atau dua, itu sudah cukup membuatnya bersyukur.

Sudut Pandang Pelaku Bisnis Media Cetak
Dari sudut pandang para pelaku bisnis media cetak, tantangan yang dihadapi saat ini jauh lebih kompleks. Roni, seorang agen koran sejak tahun 2006, yang mengawali profesinya sebagai penjual koran pada tahun 1992. Ia telah menyaksikan masa keemasan penjualan koran hingga era digital yang memukul telak bisnis koran cetak. “Sebenarnya masih ada napasnya gitu. Kalau eksis, udah enggak lah. Karena memang udah kalah canggih lah sama media elektronik,” ungkap Roni, membuka pembicaraan.

Masa kejayaan Roni terjadi antara tahun 2009 hingga 2015, di mana omset penjualannya bisa mencapai hampir Rp900 juta per tahun. Namun, tahun 2024 ini, omsetnya menyusut drastis menjadi sekitar Rp60 juta per tahun. “Hilangnya hampir Rp800 jutaan,” kata Roni, tidak dapat menyembunyikan kesedihannya.

Menurutnya, kemajuan teknologi yang cepat membuat media cetak tidak mampu lagi bersaing dengan media elektronik yang selalu diperbarui setiap saat. “Sedangkan media online diperbarui sekian menit sekali. Nah dari situ yang kita tidak bisa lawan,” tambahnya.

Roni juga menceritakan bagaimana sekarang hanya sedikit orang yang masih membeli koran atau majalah fisik. “Pembelinya ada, tapi nggak banyak. Hanya sesuai kebutuhan, biasanya anak-anak remaja yang disuruh bikin kliping,” ujarnya.

Meski demikian, ia tetap optimistis membaca adalah kunci kecerdasan bangsa dan berharap agar minat baca bisa terus ditingkatkan, meskipun dalam format yang berbeda.

Ketika ditanya tentang masa depan bisnisnya, Roni realistis, namun cenderung pasrah terhadap perubahan zaman. “Sekarang tinggal dinikmati saja. Apapun yang kita lakukan, kita tidak bisa melawan kecanggihan teknologi,” ucapnya.

Meski begitu, ia tetap berharap untuk menjadi mitra dengan agen atau developer “Kalau penerbit sendiri udah nggak sanggup buat nyetak, kita mau jual apa?” Roni bertanya retoris. (Nur`Aina Aziza Gustina/Magang PNJ)

 

 

Published in Berita LPDS