LPDS, JAKARTA – Media harus mampu menyesuaikan dengan audiens dan pembacanya. Sehingga Gen Z merasa ‘jatuh hati’ ke media. Salah satunya saat menyajikan konten ke generasi ini dengan memperbanyak konten-konten audiovisual.
Bambang Harymurti, Pemimpin Redaksi Majalah TEMPO periode 1999 hingga 2006, mengungkapkan hasil pengamatannya untuk khalayak Gen Z perlu formula baru agar generasi ini tetap menyukai konten jurnalistik.
Menurut pria yang akrab disapa BHM ini, Gen Z jarang membaca tulisan panjang. Sebagai gantinya, mereka lebih memilih konten audiovisual seperti podcast, yang disajikan dengan gaya santai dan tidak terlalu serius.
Berdasarkan pengalaman BHM selama beberapa tahun di Total Politik, platform podcast yang kerap membahas politik, menunjukkan daya tarik konten audiovisual di kalangan Gen Z. Bambang bahkan merasa lebih dikenal melalui platform tersebut dibandingkan 40 tahun kariernya di Tempo. ’’Kadang-kadang mereka bertanya, ’’Emang Tempo masih terbit?’” kenang BHM yang kini menjabat sebagai Komisaris TEMPO Media Group.
’’Jadi itu sudah membuktikan bahwa Gen Z ini nggak bisa pakai cetak (koran/majalah/tabloid, red) atau teks aja, tapi harus audiovisual. Ngomongnya harus bercanda gitu, nggak bisa serius,” imbuh BHM lagi.
Pengaruh Gen Z terhadap industri media massa, sambung BHM, sangat besar karena mereka adalah masa depan. Untuk itu, media perlu menyesuaikan diri dengan preferensi generasi ini. ’’Kalau kita nggak bisa dapat Gen Z, kita akan ikut mati bersama generasi yang lebih tua. Gen Z itu kan masa depan, karena itu media harus menyesuaikan diri dengan apa yang diinginkan dari Gen Z,” sarannya.
Salah satu strategi media agar tetap relevan dengan pembaca Gen Z, BHM mencontohkan Majalah TEMPO yang menyajikan berita dalam berbagai format dengan tingkat kedalaman berbeda. ’’Kalau yang online-nya begitu dapet berita langsung di-publish. Koran berita yang udah di-curated artinya udah dilengkapi, sementara majalah bisa lebih dalam lagi,” jelasnya.
Selain itu, untuk menarik perhatian Gen Z yang minat bacanya menurun, TEMPO menghadirkan program Bocor Alus dalam format audiovisual. ’’Untuk mengatasi problem membaca itu akhirnya TEMPO bikin Bocor Alus dalam bentuk audiovisual karena itu yang lebih digemari anak-anak Gen Z, memang media audiovisual itu lebih efektif,” papar BHM. Dengan strategi ini, TEMPO tetap menyediakan artikel panjang bagi mereka yang serius dalam membaca.
Bambang juga menyoroti bagaimana perkembangan teknologi mempercepat proses kerja jurnalistik. ’’Teknologi yang membuat media sosial cepat juga membuat kerja jurnalistik jadi bisa lebih cepat,” ujarnya. Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga keterampilan berpikir kritis di tengah kemajuan teknologi.
“Yang harus dipertajam itu justru prinsip seperti critical thinking, tahu cara mencari informasi,” tegas Bambang.
Ia menyarankan agar jurnalis tidak hanya bergantung pada Google dalam mencari informasi. “Google itu yang pasang iklan diduluin. Pakai juga misalnya Bing atau DuckDuckGo supaya kita secara tidak sadar digiring pada satu pandangan tertentu,” jelasnya.
Interaksi dengan Audiens
Di era digital, interaksi antara media dan audiens menjadi lebih penting dari sebelumnya. “Zaman dulu paling ada surat pembaca beberapa, kalau ini kan baru kita post, udah ada komen-komen,” ungkapnya.
Tidak hanya soal konten, BHM menekankan pentingnya respons aktif media terhadap komentar pembaca di platform digital. ’’Komen-komen itu harus ada yang me-manage lah, kalau perlu menjawab sehingga pembacanya merasa ‘wih aku nggak dikacangin nih’ jadi lebih cenderung untuk tetap setia,” ujarnya.
Perubahan gaya dalam menerima informasi di kalangan Gen Z memaksa media untuk beradaptasi. Artikel yang hanya berisi teks kini tidak lagi cukup menarik perhatian.
Kombinasi antara teks dan elemen audiovisual menjadi strategi yang efektif untuk menyampaikan informasi secara lebih menarik dan relevan. Interaksi dengan pembaca, seperti menanggapi komentar di platform digital juga menjadi faktor penting dalam membangun kesetian pembaca. (Nur`Aina Aziza Gustina/Magang PNJ)
Published in