Kring, kring, kring—bunyi sepeda penjual kopi keliling yang akrab di telinga. Mereka biasa disebut “Starling,” singkatan dari Starbucks Keliling. Kehadirannya sudah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan perkotaan besar, terutama Jakarta. Meski beroperasi di kota-kota besar, harga yang ditawarkan tetap ramah kantong, membuat mereka menjadi pilihan favorit bagi para penikmat kopi dari berbagai kalangan.
Starling tidak hanya menjual kopi sachet yang diseduh instan, tetapi juga berbagai jenis minuman lain, seperti jus sachet dan teh. Beberapa bahkan membawa makanan praktis seperti mi instan dalam gelas. Dengan layanan sederhana, mereka menawarkan kenyamanan dan kehangatan dalam segelas kopi, yang kerap disajikan dengan senyum ramah dari penjualnya.
Pak Kumis, yang berasal dari Surabaya, pindah ke Jakarta pada tahun 2005 dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Dua tahun setelahnya, pada 2007, ia mulai berdagang sebagai pedagang kopi keliling. Kini, sudah 17 tahun ia setia menjajakan kopi dan minuman lainnya di kawasan strategis seperti Bundaran HI, salah satu titik tersibuk di Jakarta.
Bagi Pak Kumis, konsep “Starling” bukan hanya sekadar julukan unik, tetapi juga sebagai konsep yang fleksibel. “Starbuck keliling itu konsepnya seperti minimarket keliling. Ada rokok, ada minuman es, dan juga ada kopi. Jadi, Starling itu maksudnya toko berjalan,” jelasnya dengan nada bangga. Ia menggambarkan Starling sebagai solusi praktis bagi orang-orang sibuk di kota besar yang membutuhkan sesuatu yang cepat, murah, dan mudah diakses.
Pak Kumis juga menambahkan bahwa fleksibilitas inilah yang membuat bisnis Starling bertahan lama. “Kalau saya di satu tempat nggak ramai, ya tinggal pindah ke tempat lain. Itu enaknya Starling,” katanya. Dengan sepeda sebagai kendaraan utama, ia bisa menjangkau berbagai lokasi strategis, mulai dari perkantoran, taman kota, hingga keramaian di malam hari seperti kawasan Bundaran HI.
Wili, seorang pedagang Starling yang lebih muda, memiliki cerita yang sedikit berbeda. Ia berasal dari Madura dan mulai berjualan kopi keliling di Jakarta sejak tahun 2019. Seperti halnya Pak Kumis, ia melihat profesi ini sebagai cara untuk mencari nafkah.
“Sekarang kopi harganya baru naik jadi Rp5.000. Dulu, seingat saya tahun 2009 harganya masih Rp2.000. Karena setiap beberapa tahun naik, ya sekarang sudah jadi Rp5.000,” ungkap Wili. Kenaikan harga ini, menurutnya, memang tak bisa dihindari, terutama karena biaya bahan baku semakin mahal. Namun, ia tetap percaya bahwa pelanggan akan tetap membeli karena Starling menyediakan solusi praktis dengan harga yang masih lebih terjangkau dibandingkan kedai kopi modern.
Meski begitu, Wili mengaku tantangan sebagai pedagang Starling semakin besar. “Sekarang banyak kafe dan kedai kopi di mana-mana. Tapi Starling itu kan beda. Orang beli di kami karena cepat dan murah,” tambahnya sambil melayani pelanggan yang memesan teh dingin.
Sebab Pak Kumis dan Wili memilih kawasan Bundaran HI sebagai lokasi utama berjualannya bukan tanpa alasan, mereka memiliki alasan-alasan tersendiri untuk berjualan disini. Pak Kumis memberi tahu alasan mengapa ia memilih berjualan di HI “Saya memilih berjualan di sini (HI) karena harganya lumayan. Lalu saya juga punya langganan karyawan-karyawan yang kerja di sini. Mereka kenal saya karena saya sudah lama berjualan di daerah ini,” ujarnya sambil melirik pelanggan yang tengah menikmati kopi panas pesanannya.
Keakraban dan kepercayaan yang terjalin dengan pelanggan menjadi salah satu kekuatan Pak Kumis. Banyak pelanggan tetapnya adalah karyawan kantor yang bekerja di sekitar Bundaran HI. “Para karyawan biasanya pesan lewat WhatsApp, nanti saya antar kopinya ke tempat dia,” tambahnya. Sistem ini membuatnya tidak hanya sekadar pedagang keliling, tetapi juga penyedia layanan yang memahami kebutuhan pelanggannya.
Pak Kumis menjelaskan bahwa pesanan melalui WhatsApp semakin sering terjadi, terutama saat pelanggan tidak sempat keluar kantor untuk membeli kopi. Dengan sepeda andalannya, ia mengantarkan pesanan tepat waktu, menjaga kualitas pelayanan yang membuat pelanggannya terus kembali. “Yang penting cepat dan sesuai pesanan. Kalau pelanggan puas, pasti mereka bakal pesan lagi,” katanya optimis.
Bagi Wili, alasan memilih lokasi berjualan sedikit berbeda. Ia mendapatkan informasi tentang lokasi strategis ini dari temannya sesama pedagang. “Kalau saya berjualan di sini disaranin sama teman saya, karena katanya di sini ramai dan penghasilannya lumayan,” ujarnya sambil menyiapkan secangkir kopi untuk pelanggan.
Sebagai pedagang yang relatif baru, Wili mengandalkan pengalaman dan saran dari rekan-rekan seprofesinya untuk menentukan tempat yang cocok. Lokasi seperti Bundaran HI, yang selalu dipenuhi oleh pekerja kantor, pelancong, dan warga kota, memberinya peluang untuk mendapatkan pelanggan tetap sekaligus menjaring pembeli baru. “Awalnya saya cuma ikut-ikutan, tapi ternyata bener, di sini memang ramai terus,” tambahnya. Wili juga mengakui bahwa lokasinya yang strategis membuatnya lebih mudah menjangkau berbagai segmen pelanggan. Ia merasa bahwa suasana ramai di kawasan ini, ditambah kecepatan layanan yang ia berikan, adalah kunci untuk tetap bertahan di tengah persaingan. “Kalau tempat ramai, kita tinggal rajin aja muter-muter, pasti ada yang beli.”
Dalam membuat kopi sachet agar mendapatkan rasa yang enak terdapat cara yang sesuatu yang mungkin terlihat sederhana tetapi ternyata membutuhkan perhatian khusus, yaitu adalah takaran air yang pas. Pengalaman Pak Kumis selama 17 tahun berjualan membuat Pak Kumis sangat paham dengan selera pelanggannya. Dengan teliti, ia mencocokkan jumlah air panas yang dituangkan ke dalam gelas dengan jenis kopi yang dipesan. Baginya, menjaga rasa kopi adalah salah satu cara untuk memastikan pelanggan tetap puas dan kembali lagi. “Yang penting pelanggan senang. Kalau kopi enak, mereka pasti ingat saya,” katanya sambil tersenyum.
Pak Kumis juga membagikan tipsnya dalam menyeduh kopi,. “Dalam membuat kopi, takaran airnya berbeda-beda setiap merek kopi,” jelasnya sambil mengeluarkan dua sachet kopi dari tasnya. Ia menunjukkan perbedaan isi antara dua merek tersebut, satu dengan jumlah bubuk yang lebih banyak dibandingkan yang lain. “Tergantung dari isi kopinya. Ada yang banyak, ada yang sedikit,” tambahnya, memperlihatkan bagaimana ia menyesuaikan takaran air untuk setiap cangkir kopi yang ia buat. “Kalau disamakan takarannya, bisa hambar yang kopinya sedikit, dan bisa kemanisan untuk kopi yang banyak.”
Namun, di tengah rutinitas para pedagang kopi keliling di Bundaran HI, muncul perubahan besar yang mengubah cara mereka berjualan. Kawasan Bundaran HI, khususnya trotoar, kini menjadi area yang dilarang untuk aktivitas berdagang. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan pejalan kaki, tetapi di sisi lain, menjadi tantangan bagi pedagang seperti Pak Kumis dan Wili yang telah lama menggantungkan hidup mereka di kawasan ini.
Bagi Pak Kumis, perubahan kebijakan yang melarang aktivitas berdagang di Bundaran HI menjadi tantangan besar yang ia rasakan selama 17 tahun berjualan. “Banyak sekali perubahannya, salah satunya adalah perketatan dagang di daerah ini,” ujarnya. Ia mengingat masa-masa ketika pedagang seperti dirinya bebas menjajakan dagangan di kawasan trotoar tanpa khawatir. “Dulu boleh bebas, lama-lama, bertahun-tahun, dan akhirnya sekarang sudah tidak bisa dagang di sini, karena ada Satpol PP,” tambahnya dengan nada sedih.
Wili, yang lebih muda, juga merasakan dampak langsung dari kebijakan ini. “Banyak Satpol PP yang usirin,” katanya. Salah satu pengalaman yang paling diingatnya adalah ketika ia tertangkap oleh petugas saat sedang berjualan di trotoar. “Saya pernah ketangkep, namun beruntungnya saya cuma ditegur untuk tidak berjualan di sini lagi,” ceritanya sambil menghela napas lega. Sejak saat itu, ia lebih berhati-hati memilih tempat untuk berjualan.
Kehadiran Satpol PP di kawasan Bundaran HI membuat aktivitas berjualan menjadi semakin terbatas. Bagi Pak Kumis, situasi ini memengaruhi penghasilannya secara langsung. “Kalau ada Satpol PP, nggak bisa jualan di pinggiran kota (HI), bisa-bisa nggak dapet penghasilan,” keluhnya. Keharusan berpindah tempat atau menghindari lokasi strategis seperti trotoar membuatnya harus mencari alternatif lain untuk tetap menjajakan dagangannya.
Namun, tantangan dari alam seperti hujan justru ia hadapi dengan sikap yang lebih menerima. “Saya mending dihadapi hujan sekalian, walaupun penghasilannya berkurang, namun harus tetap bersyukur,” katanya dengan nada tegas namun penuh keikhlasan. Baginya, hujan bukanlah halangan yang sepenuhnya buruk. “Yang namanya hujan, Allah yang kasih. Kita harus menerima legowo, istirahat, berteduh.”
Meskipun menghadapi berbagai tantangan, baik Pak Kumis maupun Wili tetap berusaha menjalani profesinya dengan penuh keikhlasan. Bagi Pak Kumis, hasil berjualan setiap hari tidak pernah pasti. “Diusahakan sih habis, nggak bisa ditentukan, kadang habis, kadang nggak,” ungkapnya. Pendapatan yang diperoleh ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Uangnya untuk saya bayar kos di sini, saya makan, ngirim ke bini,” tambahnya. Namun, ia mengaku tidak pernah terlalu memusingkan jumlah penghasilannya. “Saya nggak pernah ngitung-ngitung, karena saya syukuri saja,” katanya dengan nada tenang.
Sementara itu, Wili memberikan gambaran tentang penghasilannya yang bervariasi setiap hari. “Saya satu hari bisa dapat Rp150 ribu sampai Rp300 ribu,” jelasnya. Uang tersebut ia alokasikan untuk membayar hutang, membeli makan, dan belanja kopi lagi untuk dijual keesokan harinya. Namun, ia merasakan perbedaan yang cukup signifikan dalam beberapa tahun terakhir. “Semakin hari makin sepi penjualannya. Padahal kalau dulu ramai banget yang beli,” katanya dengan nada prihatin.
Kesulitan ini diperparah dengan tekanan dari kebijakan larangan berdagang di kawasan Bundaran HI. “Karena saya was-was berjualan, dikit-dikit pindah tempat, cari aman biar nggak ketemu Satpol PP,” tambah Wili. Keharusan berpindah-pindah tempat tidak hanya mengurangi jumlah pelanggan, tetapi juga membuatnya merasa kurang nyaman saat berjualan. Meski begitu, ia tetap berusaha mencari cara agar bisa bertahan di tengah berbagai kendala.
Di usianya yang kini menginjak 60 tahun, Pak Kumis mulai memikirkan masa depan dan rencana untuk pensiun. “Saya sudah tua, umur saya sudah 60, perkiraan saya 3-4 tahun lagi saya pensiun,” ujarnya dengan nada penuh perenungan. Setelah lebih dari 17 tahun berkeliling dengan sepedanya, ia merasa waktu untuk beristirahat dari pekerjaannya semakin dekat.
Meski begitu, ia tidak pernah merasa khawatir soal rezeki. Kepercayaannya pada Yang Maha Kuasa membuatnya tetap tenang menghadapi apa pun yang terjadi. “Kalau soal rezeki, saya serahkan kepada Allah. Saya percaya kalau soal rezeki, asalkan kita percaya, pasti dikasih,” tambahnya dengan senyum yang menenangkan. Sikap ikhlas ini menjadi salah satu kunci ketegarannya menjalani profesi sebagai pedagang Starling selama bertahun-tahun, meski sering kali dihadapkan pada berbagai tantangan.
Pak Kumis berharap ketika nanti ia benar-benar pensiun, kehidupannya tetap berjalan dengan cukup. “Yang penting sekarang saya tetap usaha, semampu saya. Kalau Allah kasih jalan, pasti ada aja rezeki buat kita,” tutupnya sambil melirik dagangannya yang tersisa.
Di tengah gemerlap Bundaran HI, kehadiran pedagang Starling seperti Pak Kumis dan Wili menjadi pengingat akan perjuangan sederhana yang penuh arti. Sepeda mereka mungkin kecil, namun membawa cerita besar tentang usaha, ketekunan, dan keikhlasan. Bagi Pak Kumis, hidup adalah soal bersyukur dan percaya kepada rezeki yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Sementara Wili, dengan semangat muda, terus beradaptasi meski dihadapkan pada tekanan dan tantangan yang tidak mudah.
Di balik secangkir kopi panas yang mereka sajikan, tersimpan kisah perjuangan yang sering kali luput dari perhatian. Mereka tidak hanya menjual minuman, tetapi juga menyuguhkan keramahan, kehangatan, dan rasa manusiawi yang sulit ditemukan di tengah-tengah ibu kota. Meski aturan semakin ketat dan tantangan semakin berat, mereka tetap bertahan, mengayuh roda kehidupan sambil membawa harapan di setiap perjalanan.
Kisah Pak Kumis dan Wili adalah cerminan bagaimana ketekunan dan kepercayaan pada rezeki dapat menjadi pegangan dalam menghadapi realitas yang tak selalu mudah. Dan meski suatu hari mereka mungkin tak lagi ada di trotoar Bundaran HI, jejak sepeda mereka akan selalu meninggalkan inspirasi bagi siapa pun yang melihat kehidupan dari sisi yang sederhana namun penuh makna. (Wildan Nur Alif Kurniawan. Mahasiswa Magang PNJ)
Published in