Jakarta (Berita LPDS) – Peran pers sangat menentukan dalam komunikasi politik moderen seperti pemilu presiden yang sedang digelar saat ini. Para calon presiden berkomunikasi dengan masyarakat dan membangun citra positif mereka melalui pers.
Dalam konteks pengawasan, pers harus didorong untuk maksimal meliput proses pemilu. Tujuannya agar pemilu dijalankan dengan jujur dan adil. Apalagi pemilu tahun ini menghadapi sejumlah persoalan berat, seperti banyaknya masyarakat yang tidak terdaftar sebagai pemilih dan kecurangan saat penghitungan suara.
“Saya inginkan media benar-benar melihat (persoalan pemilu),” kata pengajar dari Universitas Indonesia, Chusnul Mar’iyah, saat menjadi pembicara diskusi “Cerdas Meliput Pemilu Presiden” yang digelar LPDS, Jakarta, Kamis (18/6/2009).
Chusnul menilai, Pemilu 2009 memang dilaksanakan secara terbuka tetapi di dalamnya banyak penipuan. Terjadi politik uang di mana-mana, meskipun sulit kalau ingin dilaporkan. Partai-partai politik yang sudah pasti kalah diduga menjual suaranya ke partai lain. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga tampak tidak siap menggelar pemilu.
Mantan anggota KPU ini menegaskan, pengawasan yang dilakukan oleh pers harus dilakukan ke semua aspek. Misalnya, tahapan dalam proses pemilu yang rentan terjadi manipulasi yaitu saat pencetakan surat suara, pencatatan pemilih, dan penghitungan suara.
“Manipulasi bisa masuk dari registrasi pemilih,” ungkapnya.
Mengenai kekisruhan Daftar Pemilih Tetap, Chusnul menyatakan “Karena proyeknya di Depdagri maka pemerintah ikut bertanggung jawab. Tapi bukan berarti KPU lepas tangan karena data dari Depdagri sudah diserahkan setahun sebelum pelaksanaan pemilu.”
Menurut Chusnul, perangkat Informasi Teknologi (IT) yang dikelola KPU seharusnya dapat menjadi alat pengontrol agar tidak terjadi manipulasi suara. Sebab, sesuai pengalaman Pemilu 2004, semakin banyak jumlah suara yang masuk dari daerah tertentu ke IT KPU maka kemungkinan manipulasi suara di daerah tersebut semakin kecil. Hal ini terjadi karena suara yang diterima IT KPU berasal langsung dari TPS.
Di tempat yang sama, Ketua Badan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Didik Supriyanto, mencatat timbulnya berbagai persoalan dalam pelaksanaan Pemilu 2009 disebabkan perbedaan pengaturan dibanding Pemilu 2004.
Contohnya, pada pemilu tahun ini data pemilih disuplai oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri). Sedangkan pada Pemilu 2004 ada kerjasama antara Badan Pusat Statistik, KPU, dan Depdagri.
“Problem di 2009 karena data awal disediakan oleh Depdagri,” katanya.
Perbedaan lainnya menyangkut sosialisasi. Pada Pemilu 2004 sosialisasi dilakukan secara massif dan terarah, sedangkan sosialisasi pemilu saat ini digelar terbatas dan tidak fokus.
“Pengalaman Pemilu 2004 tidak dipelajari untuk Pemilu 2009,” imbuhnya. (red)
Published in