Time Saja Tak Cukup

(Sumber: Koran Tempo)

Putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung, Kamis pekan lalu, memperpanjang daftar preseden positif penanganan kasus pers. Akankah itu menjadi yurisprudensi bagi hakim-hakim lain dalam penanganan kasus serupa? Inilah ulasannya.

“Perjuangan 10 tahun oleh Time untuk meyakinkan lembaga peradilan bahwa pemberitaan untuk kepentingan umum tak boleh dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum (pencemaran) akhirnya berhasil.” Pesan cukup panjang melalui layanan pesan pendek itu dikirim pengacara Time, Todung Mulya Lubis, Kamis pekan lalu, setelah mendengar putusan peninjauan kembali Mahkamah Agung atas gugatan Soeharto terhadap majalah Time.

Time, juga Todung, pantas bergembira. Putusan peninjauan kembali itu “mengoreksi” putusan hakim kasasi pada 28 Agustus 2007 yang menyatakan Time bersalah dan dihukum membayar denda Rp 1 triliun kepada Soeharto. Putusan itu membenarkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menyatakan Time sudah bekerja secara profesional dan sesuai dengan kode etik jurnalistik.

Gugatan ini sendiri bermula dari pemberitaan Time edisi 24 Mei 1999 bertajuk “Suharto Inc., How Indonesia’s Longtime Boss Built a Family Fortune”. Majalah berbahasa Inggris itu menyebut kekayaan Soeharto dan keluarganya mencapai US$ 15 miliar, yang tersebar di 564 perusahaan. Soeharto, penguasa Orde Baru, merasa dicemarkan nama baiknya sehingga menyeret Time ke pengadilan. Ini bukan “angin segar” pertama dari lembaga yang berkantor di Medan Merdeka Utara, Jakarta, tersebut.

Pada 9 Februari 2006, Mahkamah Agung juga memenangkan majalah Tempo, yang digugat pengusaha Tomy Winata karena tulisan “Ada Tomy di Tenabang” dalam edisi 3-9 Maret 2003. Tiga belas tahun sebelumnya, lembaga ini juga memenangkan harian Garuda saat digugat oleh pengusaha. Tapi lembaga yang sama menjatuhkan vonis berbeda kepada wartawan tabloid Oposisi, Dahri Uhum Nasution, pada 2004 dan bekas Pemimpin Umum Radar Jogja Risang Bima Wijaya pada 2006.

* * *

Awalnya adalah berita demonstrasi dan gejolak di kampus Universitas Islam Sumatera Utara, yang dimuat surat kabar mingguan Oposisi, Medan. Dalam surat kabar yang dipimpin Dahri Uhum itu, ditulis soal sejumlah sumber yang menyebut dugaan korupsi yang dilakukan Matondang, Rektor Universitas Islam Sumatera Utara. Dugaan korupsinya macam-macam, dari soal umrah sampai pembelian rumah.

Matondang awalnya tak tahu-menahu soal berita itu sampai sopir pribadinya menyodorkan Oposisi edisi 23 November. Ia naik pitam diduga melakukan korupsi Rp 119 juta dan langsung mengadu ke polisi: Dahri dijerat dengan pasal pencemaran nama baik.

Jaksa menuntutnya 1 tahun penjara karena menulis berita yang dianggap mencemarkan nama baik. Oposisi juga dianggap melanggar kode etik karena tak melakukan konfirmasi. Dahri membantah tudingan itu, “Kami sudah berusaha konfirmasi, tapi Matondang tak mau melayaninya.” Dalam putusan pada 1999, hakim menjatuhkan vonis 1 tahun penjara. Dahri pun mengajukan permohonan banding ke pengadilan tinggi, yang hasilnya sama.

Ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Pada 2004, Mahkamah Agung menguatkan putusan dua pengadilan di bawahnya dan tetap mengganjarnya 1 tahun penjara. Putusan diterima Dahri pada 2004, tapi ia baru dieksekusi tiga tahun kemudian, 23 Oktober 2007. Hari itu ia didatangi Kejaksaan untuk dieksekusi dan dijebloskan ke Penjara Tanjung Gusta, Medan.

* * *

Risang Bima Wijaya berurusan dengan polisi dan harus mendekam di penjara gara-gara berita dugaan pelecehan seksual yang dilakukan pemilik Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Soemadi M. Wonohito. Tak terima atas berita itu, Soemadi mengadukan kasus ini ke polisi. Dalam sidang 22 Desember 2004, Pengadilan Negeri Sleman menyatakan Risang terbukti melakukan pencemaran nama baik dan diganjar 9 bulan penjara.

Risang mengajukan permohonan banding: putusannya sama. Usaha hukum melalui kasasi ke Mahkamah Agung juga tak membuahkan hasil. Dalam putusan tertanggal 13 Januari 2006, Mahkamah Agung menguatkan putusan pengadilan di bawahnya. Risang ditangkap polisi pada 9 Desember 2006 di Bangkalan, Madura, dan keesokan harinya dibawa ke Yogyakarta untuk dijebloskan ke penjara.

* * *

Mahkamah Agung tak hanya memenangkan Garuda, Tempo, dan Time, tapi juga mengirim wartawan Radar Jogja dan Oposisi ke penjara. Menurut Koordinator Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Margiyono, ini karena doktrin independensi hakim dalam menangani perkara. “Hakim merasa tak perlu mengikuti hakim sebelumnya dalam memutus perkara,” kata dia.

Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah menyebut perbedaan sikap hakim agung itu sebagai terbelahnya sikap aparat penegak hukum dalam menggunakan pidana penjara bagi jurnalis. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dedy Jamaludin Malik, melihatnya sebagai “sikap proporsional hakim dalam menangani perkara”. Menurut Atmakusumah, tak semua hakim agung setuju dengan pendapat bahwa wartawan bisa dipenjarakan. Sikap ini pula yang banyak terdapat di institusi kejaksaan dan kepolisian. Pada akhirnya, kata dia, itu juga bergantung pada subyektivitas dan pengalaman dari para hakim yang menanganinya.

Bagi Atmakusumah, ini akan menjadi laten karena hukum positif memang masih menyediakan banyak pidana penjara. Hingga kini setidaknya ada sejumlah undang-undang yang menyediakan pidana penjara bagi wartawan, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Penyiaran, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Hak Cipta. “Meski sebagian besar wartawan yang berurusan dengan hukum karena KUHP, utamanya karena kasus pencemaran nama baik,” kata Atmakusumah.

Utamanya melalui kasus pencemaran nama baik. Misalnya Bambang Harymurti dari majalah Tempo serta Karim Paputungan dan Suparman dari Rakyat Merdeka, termasuk Dahri dan Risang Bima Wijaya. Adapun Teguh Santosa dari Rakyat Merdeka dijerat dengan penghinaan terhadap agama.

Menurut Atmakusumah, adanya regulasi yang masih menyediakan pidana penjara dan kasus-kasus gugatan terhadap wartawan inilah yang membuat indeks kebebasan pers Indonesia di mata Reporter San Frontiers (RSF) terus menurun, setelah dianggap dalam kondisi terbaiknya pada 2005. Dengan berada di peringkat ke-57 dalam indeks RSF, tahun itu kebebasan pers di Indonesia dianggap yang terbaik di Asia Tenggara.

Setelah itu indeks kebebasan pers tersebut terus menurun: pada 2003 berada di peringkat ke-111, 2004 peringkat ke-117, 2005 peringkat ke-102, 2006 peringkat ke-103, 2007 peringkat ke-100, dan pada 2008 peringkat ke-111. “Selain karena regulasi, meningkatnya jumlah kasus kekerasan memicu turunnya indeks kita,” kata Atmakusumah.

Soal sejumlah regulasi ini, menurut Dedy, karena tak semua anggota DPR punya persepsi yang sama dalam melihat peran pers. Ada juga anggota DPR yang konservatif dan melihat kebebasan pers dengan rasa cemas. “Ada kekhawatiran mereka menggunakan kekuasaannya sehingga mereka juga harus dikontrol melalui undang-undang,” kata dia. Atmakusumah mengiyakan kondisi itu dan mengingat sebuah rapat dengar pendapat yang dihadirinya bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat dengan Komisi I DPR.

Dalam rapat pada 1998 itu, anggota DPR menyampaikan secara eksplisit bahwa kebebasan pers dan kebebasan berekspresi perlu dikontrol karena pendidikan masyarakat masih rendah. Pandangan itu, bagi Atmakusumah, sangat menggelikan meski akhirnya menunjukkan bahwa mungkin itulah alam pikir sebagian anggota parlemen. Ia pun menyanggahnya dengan mengatakan publik Amerika Serikat tak lebih baik dari kita pada 1999 saat menyusun Amendemen Pertama. Dedy tak menampik pandangan itu.

Menurut Margiyono, banyaknya undang-undang yang menyediakan pidana penjara bahkan setelah era reformasi ini memang tak terlalu mengherankan. Sebagai proses politik, pembuatan undang-undang merupakan hasil pertarungan antara yang konservatif dan reformis. “Lahirnya undang-undang yang menyediakan pidana penjara itu menunjukkan bahwa kelompok pertamalah yang masih dominan,” kata dia.

Idealnya, kata dia, pasal-pasal itu harus dihapuskan melalui berbagai cara, entah melalui judicial review ke Mahkamah Agung, entah melalui pembuatan undang-undang baru di DPR. Namun, itu butuh waktu lama dan bukan perjuangan. Namun, kata dia, itu bisa diatasi dengan menidurkan pasal-pasal tersebut. “Pasal-pasal itu tidak akan berkekuatan jika tak dipakai alias ditidurkan,” kata dia.

Bagi Atmakusumah, salah satu yang harus dilakukan pers adalah mensosiasialiasi putusan yang memiliki perspektif membela kebebasan pers agar diketahui hakim di banyak tempat. Tak hanya itu. Menurut Dedy, apa yang dilakukan sejumlah lembaga dengan melakukan lobi kepada anggota DPR sebagai cara efektif untuk mencegah lahirnya undang-undang yang tak ramah kepada pers. Ia mengatakan kasus-kasus yang menjerat pers selama ini tak dilakukan secara sistematis.

Margiyono juga berharap preseden positif, seperti kasus Time, Tempo, dan Garuda, dimasukkan dalam lembar yurisprudensi, meski ia tahu bahwa itu tak otomatis diikuti oleh hakim lainnya. “Minimal, jika itu tak dilakukan, vonisnya bisa dibatalkan di Mahkamah Agung,” kata dia. Bagi Atmakusumah, pers juga harus menunjukkan sikap profesional dan taat kode etik, selain terus meyakinkan publik bahwa manfaat dari pers bebas lebih besar dari kerugian yang ditimbulkannya. (Abdul Manan)

***

Regulasi dan Penjara

Cukup banyak undang-undang yang berpotensi mengirim wartawan ke penjara. Ini beberapa di antaranya:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Permusuhan terhadap Pemerintah (Pasal 154). Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap Pemerintah Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Penodaan agama (156-A). Barang siapa mengeluarkan perasaan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama dipidana maksimal lima tahun penjara.

Pelanggaran Kesusilaan (Pasal 282). Barang siapa menyiarkan tulisan, gambaran, atau benda yang melanggar kesusilaan diancam pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan penjara.

Pencemaran Nama Baik (310 dan 311). Barang siapa menyerang kehormatan nama baik seseorang diancam pidana penjara paling lama sembilan bulan

2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta

Barang siapa atau memperbanyak suatu ciptaan dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Isi siaran (Pasal 36) dilarang bersifat fitnah, menghasut, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, atau mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan. Ancaman pidananya penjara paling lama 5 (lima) tahun.

4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Pasal 27 dan 28)

Dilarang mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, serta menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ancaman pidananya enam tahun penjara.

5. Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik UU No. 14 Tahun 2008

Dilarang menggunakan informasi publik secara melawan hukum. Ancaman pidananya paling lama 1 (satu) tahun penjara.

BAHAN: RISET

Published in Berita LPDS