Atmakusumah: Pers Harus Lebih Teratur Menulis Papua

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Wartawan senior pemenang anugerah Ramon Magsaysay tahun 2000 dan salah satu tokoh di balik lahirnya UU Pers tahun 1999, Atmakusumah Astraatmadja, melancarkan kritik halus namun tajam terhadap pers Indonesia yang ia nilai masih langka dalam “pemberitaan masalah-masalah kritis” di wilayah-wilayah sensitif seperti Papua.

Menurut mantan wartawan Indonesia Raya, harian yang dibredel di era Soekarno dan Soeharto ini, pers Indonesia sekarang cenderung lebih reaktif daripada kreatif. Lebih banyak menunggu untuk meliput masalah atau peristiwa yang sudah terjadi, bukan membangun program yang pre-emptive –melacak dan mengungkapkan persoalan-persoalan yang masih tersembunyi di balik layar.

Lebih tajam lagi, mantan ketua Dewan Pers ini mengeritik media massa dalam negeri yang ia sinyalir sedang mengalami kecenderungan (tren) menggemari talk show bersama elite politik dan elite LSM—yang mau bolak-balik menjadi pembicara. Dalam kegiatan ini, para wartawan hanya berperan sebagai penanya—bahkan sekadar penonton.

Kritik yang demikian mungkin tidak terdengar istimewa, apabila bukan disampaikan secara menarik dan dikemas lewat sebuah tulisan opini di harian Kompas. Dalam artikel berjudulMendengar Suara Papua, pada 9 Maret lalu, Atmakusumah membungkus kritiknya terhadap pers tetapi juga terhadap iklim kebebasan pers di Indonesia, dengan menampilkan liputan investigatif wartawan Sydney Morning Herald, Michael Bachelard.

Liputan investigasi itu, antara lain mengangkat tentang Lolat, sebuah desa terkebelakang di Papua. Melalui liputan berjudul High Tension in Papua and West Papua, yang dilansir olehSydney Morning Herald  pada 7 Februari lalu, Bachelard secara terperinci dan orisinil menggambarkan berbagai bentuk praktik korupsi dan salah urus yang parah di ujung Timur Indonesia itu.

Misalnya, di Lolat ada sekolah negeri yang memiliki sembilan guru dengan gaji sebagai pegawai tetap tetapi tidak seorang pun dari para guru pernah datang ke sekolah. Lalu di peta terpampang ada  25 gedung yang dibangun sebagai sarana pelayanan kesehatan, namun nyatanya hanya tiga gedung yang masing-masing mempunyai seorang dokter berpraktik di klinik. Gedung-gedung baru ini dibangun diduga bukan karena tujuan yang mendesak, melainkan untuk memenuhi kontrak kongkalikong antara para pejabat dan kelompok marganya.

Yang lebih lucu  ada gedung baru untuk pelayanan kesehatan tetapi tak kunjung diresmikan. Pasalnya, kepala klinik itu seorang pria dari desa setempat dan memperoleh gaji dari pemerintah, Namun, ia tinggal di kota yang jaraknya jauh dari desa sehingga ia tidak pernah muncul untuk meresmikan pusat kesehatan ini.

Demikian parahnya masalah di Papua yang dia amati, membuat Bachelard tiba pada kesimpulan bahwa “ancaman paling penting bagi penduduk Papua agaknya bukanlah berasal dari moncong senjata Indonesia, melainkan dari kaum elite yang kleptokratik di kalangan suku Papua itu sendiri.”

Mereka, menurut Bachelard, menyalahgunakan anggaran “yang dengan sembrono disalurkan oleh (pemerintah pusat di) Jakarta.”

 

Izinkan Pers Berbicara Jujur tentang Papua

Atmakusumah Astraatmadja,  yang dihubungi oleh satuharapan.com untuk menggali lebih jauh pemikirannya di balik kritik-kritik yang ia lancarkan kepada pers Indonesia dengan cara unik itu, mengaku sedih dan shock ketika pertama kali membaca laporan Bachelard.

Atmakusumah yang juga adalah salah seorang pendiri dan pengajar pada Lembaga Pers Dr. Sutomo, mengaku sedih karena menyadari betapa jauhnya kesenjangan antara apa yang ada di lapangan dengan apa yang selama ini dikemukakan oleh sumber-sumber resmi tentang pembangunan di Papua.

Atmakusumah mempertanyakan mengapa hal-hal yang dikemukakan oleh Bachelard tidak muncul di media-media dalam negeri baik lokal maupun nasional. Namun, ia sendiri sudah dapat menduga bahwa salah satu kemungkinan ialah  karena keterbatasan kebebasan pers di negeri ini, khususnya di daerah-daerah sensitif seperti Papua.

“Kami di Lembaga Pers Dr. Sutomo, sudah puluhan tahun menyelenggarakan pendidikan jurnalisitik. Pesertanya banyak, mulai dari Aceh hingga Papua. Bahkan kami sudah pernah melakukan pelatihan di beberapa kota di Papua.  Salah satu keluhan yang sering saya dengar dari wartawan-wartawan di daerah ialah perasaan traumatis, karena selalu mendapat tekanan dan ancaman terutama dari alat negara apabila menulis berita-berita yang buruk bagi citra para pejabat pemerintah daerah,” kata Atmakusumah, dalam percakapan dengan satuharapan.com, Rabu (11/3).

Atmakusumah mengatakan, sama seperti di Timor Timur pada masa lampau, dan di Provinsi Aceh selama berlangsung konflik bersenjata, pemberitaan pers tentang Papua sangat terbatas. Kalaupun ada, para narasumber masih tetap takut untuk mengutarakan informasi dan pendapat yang kritis.

“Keterbatasan arus informasi dan berpendapat dari Papua juga tercermin dalam pemberitaan pers nasional, sehingga masalah dan peristiwa yang timbul di ujung timur Indonesia itu sering kali tidak kita ketahui secara komprehensif,” kata dia.

“Insiden penembakan di Enarotali bulan lalu, misalnya, hanya dapat kita ketahui secara lebih jelas dalam laporan di media internet berdasarkan wawancara dengan pengamat hak asasi manusia yang memiliki banyak narasumber anonim di Papua,” tulis Atmakusumah pada sebuah artikel opininya yang lain, Pernyataan Dramatis Jokowi dan Kebebasan Pers, padaKompas 14 Januari.

Tidak lupa ia mengutip Andreas Harsono, peneliti Human Rights Watch—lembaga yang berpusat di New York, yang menyatakan bahwa wartawan internasional yang berniat meliput di Papua harus mendapat persetujuan dari 18 instansi dalam clearing house di Kementerian Luar Negeri. Termasuk, di antaranya, izin dari Badan Intelijen Negara dan Badan Intelijen Strategis.

Berita baiknya, menurut Atmakusumah, adalah adanya komitmen Presiden Joko Widodo yang menganggap pendekatan terhadap Papua harus diubah. Atmakusumah secara khusus mencatat pidato Jokowi pada saat Perayaan Natal Nasional pada 27 Desember 2014 di Papua, saat mana Jokowi menyerukan “kepada semua pihak” untuk mengakhiri konflik dan menghentikan kekerasan. Ia menegaskan bahwa “Rakyat Papua juga butuh didengarkan, diajak bicara.” Mereka “tidak hanya membutuhkan layanan kesehatan. Tidak hanya membutuhkan layanan pendidikan. Tidak hanya membutuhkan pembangunan jalan, jembatan, dan pelabuhan saja.”

 

Berkaca pada Pengalaman di Aceh

Menurut Atmakusumah, Papua tidak mungkin dibiarkan terisolasi terus. Sudah waktunya daerah itu terbuka bagi peliputan pemberitaan yang independen, baik oleh pers dalam negeri maupun oleh pers internasional. Atmakusumah menepis anggapan bahwa keterbukaan terhadap liputan yang independen di Papua akan memicu lepasnya Papua dari Indonesia.

“Jangan salah, di sana banyak juga rakyat Papua yang justru takut apabila Papua lepas dari Indonesia, karena mereka akan terpecah-pecah menjadi banyak negara suku. Tetapi mereka tidak berani bersuara dan pers kita belum sampai menjangkau mereka,” kata Atmakusumah.

Ia menceritakan pengalamannya ketika pada suatu hari di awal pemerintahan Megawati Soekarnoputri, bersama-sama dengan anggota Dewan Pers lainnya melaporkan diri kepada Presiden. Pada pertemuan itu, menurut dia, Presiden mengeluhkan tentang gencarnya pemberitaan media mengenai konflik di Aceh, termasuk mewawancarai panglima militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Namun, tutur Atmakusumah, pada kesempatan itu ia membela pers atas keluhan Mengawati dan menjelaskan kepadanya bahwa memang tugas pers untuk mengangkat suara yang berkembang di masyarakat. “Pers sendiri tidak selalu senang dengan apa yang dituliskannya, tetapi itu sudah merupakan tugasnya,” kata dia.

Atmakusumah berpendapat, pers dalam negeri dan internasional seharusnya lebih teratur memberitakan aspirasi dan gejolak di Papua. Seperti halnya pemberitaan yang gencar di Aceh setelah wilayah itu dibuka untuk pers pasca reformasi, di Papua juga media memiliki peluang besar untuk memainkan peran sebagai jembatan bagi perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara pihak yang berkonflik dan menyampaikan pesan perdamaian.

Di bagian lain wawancara, Atmakusumah menawarkan solusi teknis bagi media yang ingin memberikan peliputan yang lebih objektif namun tetap terproteksi dalam pemberitaan wilayah-wilayah sensitif seperti Papua. Misalnya, salah satu cara adalah  media nasional mengirimkan wartawan ke daerah-daerah tersebut. Namun, wartawan dimaksud tidak mengerjakan penulisannya  di Papua, melainkan di kantor pusat.  Atau sebaliknya, koresponden atau reporter di daerah menuliskan laporannya di Jakarta untuk menghindari kemungkinan intimidasi atau tekanan dari pejabat setempat.

“Ketika kita kian percaya bahwa kebebasan pers, berpendapat, dan berekspresi sangat penting untuk menegakkan demokrasi dan mendorong kemajuan, pers kita perlu memperluas peliputan mendalam. terutama di wilayah yang selama ini dianggap sensitif, seperti Papua yang peliputan pemberitaannya sudah setengah abad dibatasi,” kata Atmakusumah. (Sumber: http://www.satuharapan.com/read-detail/read/atmakusumah-pers-harus-lebih-teratur-menulis-papua)

 

Published in Kliping Berita