Perkembangan Tata Kelola dan Tantangan serta Strategi Eksplorasi di Indonesia

 

Oleh Rovicky Dwi Putrohari, Ketua Umum/Presiden IAGI – Ikatan Ahli Geologi Indonesia (2011-2014)

Sejarah Eksplorasi Migas di Indonesia Perminyakan Sebelum Kemerdekaan.Uraian dibawah ini dikumpulkan dari berbagai sumber terutama di internet yang sumber asalnya tidak diketahui serta beberapa buku bacaan dan diskusi di mailist IAGI-net. Untuk perkembangan yuridis telah disusun oleh BPK terlampir sebagai addendum tulisan ini.

Pemanfaatan dan penggunaan minyak bumi dimulai oleh bangsa Indonesia sejak abad pertengahan. Menurut sejarah, orang Aceh menggunakan minyak bumi untuk menyalakan bola api saat memerangi armada Portugis.

Selama ini yang lebih dikenal sebagai awal eksplorasi atau pencarian migas dilakukan adalah pengeboran sumur Telaga tunggal oleh Zijker, namun penelitian yang dilakukan oleh salah satu anggota IAGI (Awang HS) menemukan bahwa usaha pengeboran pertama kali dilakukan oleh Jan Reerink. Jan Reerink adalah seorang anak laki-laki saudagar penggilingan beras pada zaman Belanda di Indonesia pada paruh kedua abad ke-19.

Reerink ditugaskan ayahnya menjaga sebuah toko kelontong di Cirebon. Tetapi, Reerink selalu melamunkan penemuan minyak seperti yang dilakukan Kolonel Drake di Pennsylvania pada tahun 1857. Akhirnya, sebuah berita ia terima bahwa ada rembesan minyak keluar dari lereng barat Gunung Ciremai di kawasan Desa Cibodas, Majalengka. Reerink berketetapan hati akan membor rembesan minyak itu.

Awal sejarah perkembangan eksplorasi dan eksploitas migas secara modern di Indonesia ditandai saat dilakukan pengeboran pertama pada tahun 1871 ini, yaitu sumur Madja-1 di desa Maja, Majalengka, Jawa Barat, oleh pengusaha belanda bernama Jan Reerink diatas. Akan tetapi hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan dan akhirnya sumur pengeborannya ditutup. Akan halnya Telaga Tunggal, tokoh yang terkenal adalah Jan Zijlker (nama Jan adalah nama “pasaran” orang Belanda). Tahun 1880, ia ditugaskan atasannya mengunjungi sebuah perkebunan tembakau di Sumatra Utara.

Jan Zijlker adalah manager of the East Sumatra Tobacco Company. Di sana, ia melihat penduduk setempat (Langkat) menggunakan obor dengan suatu zat untuk membuatnya tahan lama menyala. Zijlker mengenal zat itu sebagai minyak tanah Penemuan sumber minyak dengan pengeboran moderen yang pertama di Indonesia ini yang akhirnya lebih dikenal sebagai awal eksplorasi yang terjadi pada tahun 1883 yaitu diketemukannya lapangan minyak Telaga Tiga dan Telaga Said di dekat Pangkalan Brandan oleh seorang Belanda bernama A.G. Zeijlker.

Penemuan-penemuan selanjutnya juga dilakukan dengan pengeboran sumur ini kemudian disusul oleh penemuan lain yaitu di Pangkalan Brandan dan Telaga Tunggal. Penemuan lapangan Telaga Said oleh Zeijlker menjadi modal pertama suatu perusahaan minyak yang kini dikenal sebagai Shell. Pada waktu yang bersamaan, juga ditemukan lapangan minyak Ledok di Cepu, Jawa Tengah, Minyak Hitam di dekat Muara Enim, Sumatera Selatan, dan Riam Kiwa di daerah Sanga-Sanga, Kalimantan. Menjelang akhir abad ke 19 terdapat 18 prusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama Koninklijke Petroleum Maatschappij yang kemudian dengan Shell Transport Trading Company melebur menjadi satu bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company.

Pada tahun 1907 berdirilah Shell Group yang terdiri atas B.P.M., yaitu Bataafsche Petroleum Maatschappij dan Anglo Saxon. Pada waktu itu di Jawa timur juga terdapat suatu perusahaan yaitu Dordtsche Petroleum Maatschappij namun kemudian diambil alih oleh B.P.M. Awal masuknya Amerika dalam industri Migas di Indonesia. Pada tahun 1912, perusahaan minyak Amerika mulai masuk ke Indonesia. Pertama kali dibentuk perusahaan N.V. Standard Vacuum Petroleum Maatschappij atau disingkat SVPM. Perusahaan ini mempunyai cabang di Sumatera Selatan dengan nama N.V.N.K.P.M (Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij) yang sesudah perang kemerdekaan berubah menjadi P.T. Stanvac Indonesia. Perusahaan ini menemukan lapangan Pendopo pada tahun 1921 yang merupakan lapangan terbesar di Indonesia pada zaman itu.

Untuk menandingi perusahaan Amerika, pemerintah Belanda mendirikan perusahaan gabungan antara pemerintah dengan B.P.M. yaitu Nederlandsch Indische Aardolie Maatschappij. Dalam perkembangan berikutnya setelah perang dunia ke-2, perusahaan ini berubah menjadi P.T. Permindo dan pada tahun 1968 menjadi P.T. Pertamina. Pada awalnya Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan pembedaan antara Shell dengan perusahaan lain. Pada tahun 1920 masuk dua perusahaan Amerika baru yaitu Standard Oil of California dan Texaco.

Pada tahun 1920 ini di Amerika diundangkan “General Lisencing Act” yang mengusulkan untuk non discriminasi Kemudian, pada tahun 1930 dua perusahaan ini membentuk N.V.N.P.P.M (Nederlandsche Pasific Petroleum Mij) dan menjelma menjadi P.T. Caltex Pasific Indonesia, sekarang P.T. Chevron Pasific Indonesia. Perusahaan ini mengadakan eksplorasi besar-besaran di Sumatera bagian tengah dan pada tahun 1940 menemukan lapangan Sebangga disusul pada tahun berikutnya 1941 menemukan lapangan Duri. Di daerah konsesi perusahaan ini, pada tahun 1944 tentara Jepang menemukan lapangan raksasa Minas yang kemudian dibor kembali oleh Caltex pada tahun 1950.

Pada tahun 1935 untuk mengeksplorasi minyak bumi di daerah Irian Jaya dibentuk perusahaan gabungan antara B.P.M., N.P.P.M., dan N.K.P.M. yang bernama N.N.G.P.M. (Nederlandsche Nieuw Guinea Petroleum Mij) dengan hak eksplorasi selama 25 tahun. Hasilnya pada tahun 1938 berhasil ditemukan lapangan minyak Klamono dan disusul dengan lapangan Wasian, Mogoi, dan Sele. Namun, karena hasilnya dianggap tidak berarti akhirnya diseraterimakan kepada perusahaan SPCO dan kemudian diambil alih oleh Pertamina tahun 1965.

Setelah perang kemerdekaan di era revolusi fisik tahun 1945-1950 terjadi pengambilalihan semua instalasi minyak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pada tahun 1945 didirikan P.T. Minyak Nasional Rakyat yang pada tahun 1954 menjadi perusahaan Tambang Minyak Sumatera Utara. Pada tahun 1957 didirikan P.T. Permina oleh Kolonel Ibnu Sutowo yang kemudian menjadi P.N. Permina pada tahun 1960. Pada tahun 1959, N.I.A.M. menjelma menjadi P.T. Permindo yang kemudian pada tahun 1961 berubah lagi menjadi P.N. Pertamin. Pada waktu itu juga telah berdiri di Jawa Tengah dan Jawa Timur P.T.M.R.I (Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia) yang menjadi P.N. Permigan dan setelah tahun1965 diambil alih oleh P.N. Permina.

Pada tahun 1961 sistem konsesi perusahaan asing dihapuskan diganti dengan sistem kontrak karya. Tahun 1964 perusahaan SPCO diserahkan kepada P.M. Permina. Tahun 1965 menjadi momen penting karena menjadi sejarah baru dalam perkembangan industri perminyakan Indonesia dengan dibelinya seluruh kekayaan B.P.M. – Shell Indonesia oleh P.N. Permina. Pada tahun itu diterapkan kontrak bagi hasil (production sharing) yang menyatakan bahwa seluruh wilayah Indonesia merupakan daerah konsesi P.N. Permina dan P.N. Pertamin. Perusahaan asing hanya bisa bergerak sebagai kontraktor dengan hasil produksi minyak dibagikan bukan lagi membayar royalty.

Sejak tahun 1967 eksplorasi besar-besaran dilakukan baik di darat maupun di laut oleh P.N. Pertamin dan P.N. Permina bersama dengan kontraktor asing. Tahun 1968 P.N. Pertamin dan P.N. Permina digabung menjadi P.N. Pertamina dan menjadi satusatunya
perusahaan minyak nasional. Di tahun 1969 ditemukan lapangan minyak lepas pantai yang diberi nama lapangan Arjuna di dekat Pemanukan, Jabar. Tidak lama setelah itu ditemukan lapangan minyak Jatibarang oleh Pertamina. Kini perusahaan minyak PERTAMINA ini tengah berbenah diri menuju perusahaan bertaraf internasional.

Pertumbuhan dan pengembangan lapangan migas di Indonesia mencapai puncaknya ketika produksi minyak Indonesia mencapai diatas satu setengah juta barel per hari yang dicapai pada tahun 1977. Arun LNG sebagai awal pemicu produksi Gas di Indonesia.  Produksi gas mulai menggeliat ketika gas mulai diperdagangkan dan mulai dipergunakan sebagai energi. Pada tahun 1972 ditemukan sumber gas alam lepas pantai di ladang North Sumatra Offshore (NSO) yang terletak di Selat Malaka pada jarak sekitar 107,6 km dari kilang PT Arun di Blang Lancang. Selanjutnya pada tahun 1998 dilakukan pembangunan proyek NSO “A” yang diliputi unit pengolahan gas untuk fasilitas lepas pantai (offshore) dan di PT Arun. Fasilitas ini dibangun untuk mengolah 450 MMSCFD gas alam dari lepas pantai sebagai tambahan bahan baku gas alam dari ladang arun di Lhoksukon yang semakin berkurang.

Tanggal 16 Maret 1974, PT Arun didirikan sebagai perusahaan operator. Perusahaan ini baru diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tanggal 19 September 1978 setelah berhasil mengekspor kondensat pertama ke Jepang (14 Oktober 1977). Produksi gas Indonesia terus meningkat hingga tahun 2000 ini dan masih menunjukkan produksi yang terus meningkat setelah gas dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri dengan pemipaan (pipe gas).

Penemuan lapangan gas terbesar di Indonesia diketemukan di Laut Natuna di Lapangan D-Alpha. Lapangan ini memiliki kandungan gas lebih dari 200 TCF, namun hampir 70% merupakan CO2. Total hydrocarbon (combustible) gas sekitar 40 TCF. Karena banyaknya porsi kandungan CO2 ini menjadikan pengembangan lapangan ini terus tertunda hingga saat ini. Penemuan lapangan-lapangan minyak semakin sulit dan gas di Indonesia ini membuat pengelolaan migas dengan PSC (Production Sharing Contract). PSC pertamakali diintroduce tahun 1965. Hingga saat ini PSC di Indonesia sudah melewati 3 generasi.

Generasi pertama (1965 – 1978) dimana cost recovery dibatasi sebesar 40%, bagian kontraktor adalah 35% bersih dan DMO tanpa grace period. Generasi kedua (1978 – 1988) dimana cost recovery tidak ada pembatasan, bagian kontraktor 15% bersih, investment credit sebesar 20% dan DMO dengan harga pasar untuk 5 tahun. Generasi ketiga (1988 – sekarang) dimana mulai dikenalkan adanya FTP (First Tranche Petroleum) yang besarnya 20% dari produksi gross serta DMO yang bervariasi antara harga ekspor. Perubahan Pengelolaan Migas Pasca Reformasi Setelah Reformasi politik terjadi di Indonesia tahun 1998, perubahan pengelolaan migas berubah menjadi sangat berbeda Pada tanggal 23 Nopember 2001 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, dimana yang menjadi dasar pertimbangan diundangkannya Undang-Undang tersebut adalah sudah tidak sesuainya lagi UU No. 44 Prp. Tahun 1960 dengan perkembangan usaha pertambangan migas baik dalam taraf nasional maupun internasional.

Perubahan yang terjadi pada UU Migas 22/2001. Yang paling utama dalam pembaharuan pengelolaan migas ini adalah pengalihan pengelolaan migas dalam Kuasa Pertambangan dari Perusahaan Negara PERTAMINA kepada pemerintah. Salah satu hal utama sebagai konsekuensi pengesahan UU 22/2001 ini adalah perlu dibentuknya BPMIGAS, BHMIGAS serta perubahan PERTAMINA menjadi persero. PERTAMINA bukan lagi sebagai perusahaan pengelola dan pemegang kuasa pertambangan. Dalam kegiatan hulu PERTAMINA akan menjadi perusahaan yang diberlakukan seperti perusahaan-perusahaan kontraktor. Dan akhirnya PERTAMINA juga mendandatangani KKKS dengan MIGAS pada tanggal 17 September 2005.

Dalam hal produksi nasional, BPMIGAS menjadi badan negara yang mengelola produksi atas bagihasil di lapangan-lapangan yang dikelola oleh kontraktor (KKKS). Eksplorasi sebagai satu-satunya cara meningkatkan produksi Penemuan-penemuan gas setelah tahun 1990 banyak dijumpai di Indonesia Timur. Tentu saja daerah ini sulit untuk dikembangkan dengan cepat. Juga setelah Lokakarya Jurnalistik tentang Migas untuk Wartawan di Jawa Timur 3 Desember 2011 Diselenggarakan oleh LPDS Bekerja sama dengan KKKS Cluster Bojonegoro & BPMIGAS Japalu. diundangkan UU Migas 22/2001 ini penemuan migas sangat menurun. Hanya penemuan lapangan-lapangan kecil yg dijumpai.

Di dalam pengusahaan migas usaha eksplorasi merupakan satu-satunya cara untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi. Permasalahan yang sering dijumpai dalam usaha penemuan minyak (eksplorasi) ini terutama tumpang tindih lahan, tumpang tindih aturan (ESDM – KEHUTANAN – PERIKANAN – KELAUTANPERHUBUNGAN), keterbatasan data, serta sulitnya akses dan minimnya infrastruktur

Lemahnya niat pemerintah dalam usaha peningkatan produksi dengan usaha eksplorasi ini tercermin pada minimnya dana Plow Back. Dari enerimaan Negara Dari Sektor Migas Sebesar 28% hanya diberikan Plow Back Migas 0,07% Dari Penerimaan Sektor ESDM Tahun 2011. Rata-rata perusahaan migas akan mengeluarkan 10-20% anggarannya untuk usaha eksplorasi (pencarian lapangan baru). Dengan cara investasi seperti inilah perusahaan dapat bertahan. Semestinya negara (pemerintah) juga melakukan usaha eksplorasi dengan memberikan belanja untuk penyediaan dan akuisisi data baru untuk melakukan penelitian serta perbaikan infrastruktur eksplorasi.

Dalam dunia migas data untuk kegiatan eksplorasi merupakan “soft infrastrcuture”. Pengambilan data baru yang diambil dari dana APBN perlu ditambah untuk menjamin ketersediaan energi migas dimasa mendatang.

Referensi :
– Teuku H. Moehammad Hasan (1985), “Sejarah Perjuangan Perminyakan Nasional. Penerbit : Yayasan Sari Pinang Sakti Jakarta.
– Adendum “Tinjauan Historis Yuridis Pengusahaan Pertambangan Migas di Indonesia”, oleh BPK. Diambil dari: (http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum/HisYuridis_usahamigas.pdf)
– Berbagai sumber lain di Internet.

Penulis:
Rovicky Dwi Putrohari, Presiden IAGI (2001-2014) telah berpengalaman lebih dari 24 tahun didunia eksplorasi dan produksi migas. Telah bekerja di banyak perusahaan diantaranya : HUDBAY, LASMO, KONDUR, SHELL-Brunei, TOTAL, MURPHY-Kuala Lumpur serta saat ini bekerja di HESS Ltd sebagai Geological Advisor. Bepengalaman dalam usaha eksplorasi migas di darat maupun di laut. Juga berpengalaman dalam usaha awal eksplorasi (New Venture), hingga pengembangan lapangan. Penulis juga pengelola Blog yang bernama “Dongeng Geologi” (http://www.rovicky.com dan http://rovicky.wordpress.com) membahas fenomena geologi dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam, mitigasi kebencanaan dan pelestarian lingkungan.

Tulisan ini menjadi bahan presentasi Lokakarya Jurnalistik tentang Migas untuk Wartawan di Jawa Timur 3 Desember 2011. Diselenggarakan oleh LPDS Bekerja sama dengan KKKS Cluster Bojonegoro & BPMIGAS Japalu.

Published in Inside Mining