www.radarsampit.net – Dari UKW Angkatan II Jawa Pos Grup (1)
Jawa Pos Grup kembali menggelar Uji Kompetensi Wartawan (UKW) angkatan II pada Minggu (20/5) hingga Rabu (23/5) lalu. Kegiatan ini bukan sebuah seremonial, melainkan ujian untuk mengukur tingkat kompetensi seorang wartawan terhadap pekerjaannya.
Suasana tegang sangat terasa begitu memasuki ruang pertemuan Hotel Ibis Mangga Dua Jakarta, tempat digelarnya UKW angkatan II Jawa Pos Grup. Dinginnya suhu ruangan tersebut tak juga mampu mencairkan suasana. Pun dengan beban di kepala yang sudah kami rasakan sejak beberapa hari sebelum UKW dimulai.
Jawa Pos Grup bekerjasama dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) kembali menggelar UKW untuk wartawan di lingkungan anak perusahaannya yang tersebar di seluruh Indonesia. Kali ini UKW diselenggarakan untuk tingkat Utama, yakni bagi mereka yang memegang jabatan pemimpin redaksi dan tingkat Madya untuk pemegang jabatan redaktur. UKW sendiri sebenarnya terbagi pada tiga tingkatan yakni wartawan muda, madya dan utama.
Radar Sampit kali ini mengirim dua orang utusan yakni saya dan Tono Triyanto untuk mengambil UKW tingkat Madya sesuai jabatan yang kami pegang. Kami berdua merasa beruntung karena berhasil lulus dalam UKW ini. Pemimpin Redaksi Radar Sampit, Ajid Kurniawan sebelumnya sudah lebih dulu menyandang predikat kompetensi tingkat Utama setelah berhasil lulus pada UKW angkatan I pada Januari lalu.
Namun untuk mencapai hasil itu, ternyata bukan perkara mudah. Ketegangan yang kami rasakan ternyata juga dirasakan seluruh peserta yang jumlahnya 42 orang. Bahkan, meski sadar bahwa UKW ini bukan sekadar seremonial, ternyata ada saja peserta yang memprotes sejumlah materi ujian yang menurutnya seharusnya bukan lagi diperuntukkan bagi wartawan tingkat Madya dan Utama.
“Kita ini diuji seolah-olah selama ini kita melakukan yang bukan pekerjaan atau profesi kita. Apalagi ini katanya nanti kita disuruh menghubungi narasumber segala, kalau teleponnya tidak diangkat maka nilai kita akan turun. Ini kan kurang pas karena urusan telepon-menelepon narasumber itu kan urusan wartawan, bukan lagi urusan seperti kita karena kita ini sudah lebih pada manajemen,” keluh seorang salah seorang pemimpin redaksi yang menjadi peserta saat sosialisasi sebelum UKW dimulai.
Namun apapun argumen yang disampaikan peserta, UKW tetap dijalankan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Alasannya, UKW penting melihat apakah seorang wartawan itu memiliki kompetensi terhadap profesi yang telah ditekuninya tersebut.
Enam penguji dengan yakin menjalankan tugas mereka menguji kompetensi para peserta. Mereka adalah Priyambodo RH yang merupakan Direktur Eksekutif LPDS, Petrus Suryadi Sutrisno, AA Ariwibowo, Kristanto Hartadi, Maria D. Andriana dan Warief Djayanto.
Priyambodo dalam pengantarnya menjelaskan, profesi wartawan sering tercoreng oleh orang-orang yang mengaku-ngaku sebagai wartawan. Untuk mengatasi orang-orang yang disebut dengan istilah abal-abal itulah diperlukan UKW karena di sini akan dibuktikan apakah seseorang benar-benar kompeten di profesi sebagai wartawan. UKW diharapkan bisa menjaring siapa saja yang benar-benar laik disebut wartawan karena telah menjalankan profesinya dengan benar. Alasan itu pula lah yang mewajibkan seluruh wartawan untuk mengikuti UKW.
“Jangan sebut mereka wartawan abal-abal karena mereka bukan wartawan. Seperti apa yang disampaikan tokoh-tokoh pers kita, kita tidak perlu menguras energi kita untuk mengurusi masalah abal-abal itu. Jadi lebih baik kita mengurusi orang-orang yang benar-benar menjalankan profesi ini, salah satunya melalui uji kompetensi. Kalau mereka abal-abal itu mau ikut, kita akan dukung karena nanti juga kelihatan apakah dia memiliki kompetensi atau tidak,” ujar Priyambodo meyakinkan.
Ternyata apa yang dikatakan para penguji itu tidak berlebihan. UKW benar-benar menguji sejauh mana kompetensi wartawan. Tidak ada jaminan peserta, termasuk para pemimpin redaksi, akan lulus UKW. Salah satu cara agar bisa lulus adalah membuktikan bahwa kita memang memiliki kompetensi.
Membuktikan kompetensi itu bukanlah perkara mudah, apalagi harus beradu argumen dengan para penguji yang sudah belasan tahun bahkan puluhan tahun berkecimpung di dunia kewartawanan. Ujian ini seakan menjadi cermin sejauh mana kemampuan yang kita miliki di bidang profesi ini. Jangankan wartawan muda, seorang pemimpin redaksi pun akan ketahuan sejauhmana kemampuannya di depan penguji.
Urusan nilai, jangan berpikir akan ada toleransi oleh penguji karena nilai yang mereka berikan sesuai dengan pandangan mereka terhadap kemampuan peserta membuktikan kompetensi melalui satu per satu jawaban, baik tertulis maupun saat ujian lisan. Jangan pula terlalu yakin bisa lulus karena sudah tak terhitung peserta yang akhirnya dinyatakan belum berkompeten karena nilai akhir di bawah standar, sehingga diwajibkan kembali mengikuti UKW.
Dalam UKW, seorang peserta akan dinyatakan lulus atau kompeten jika mendapatkan nilai minimal 70 dari tiap materi ujian. Jika ada satu saja yang nilainya di bawah 70, maka peserta tersebut dinyatakan belum berkompeten dan harus mengulang di kesempatan lainnya.
Jumlah dan jenis materi ujian tiap tingkatan berbeda-beda. Untuk tingkat Madya yang kami ikuti terdapat sembilan materi ujian. Yakni mengidentifikasi atau koordinasi liputan dan pemberitaan, analisis bahan liputan acara terjadwal, merancang liputan investigasi, menulis feature, menyunting berita, merancang isi rubrik, analisis pemberitaan dalam rapat redaksi, mengevaluasi hasil liputan atau pemberitaan serta membangun dan memelihara jejaring dan lobi.
Ujian yang dilakukan berupa ujian tertulis, lisan, simulasi dan praktik. Tujuannya untuk mengetahui kesadaran, pengetahuan dan kemampuan masing-masing peserta dalam menjalankan profesinya. Peserta tak bisa asal-asalan dalam tiap materi ujian karena semua akan kembali diuji secara lisan oleh penguji. Jika sembarangan, maka akan jelas terlihat dan nilai yang diberikan juga akan rendah. Kalau itu yang terjadi, maka siap-siap saja menerima hasil pahit dinyatakan belum kompeten.
Semua materi ujian sebenarnya sudah biasa kami jalankan sehari-hari di kantor. Namun karena di hadapan penguji dan dengan waktu yang terbatas, maka tentu semuanya terasa sangat berbeda. Belum lagi kekhawatiran memeroleh nilai anjlok yang selalu terus membayangi.
Bayangkan, untuk menulis feature, peserta hanya diberi waktu 25 menit, setelah sebelumnya diberi kesempatan selama 10 menit untuk melakukan wawancara. Yang menegangkan ketika materi ujian jejaring lobi, dimana tiap peserta harus membuktikan kemampuan akses dan lobi mereka terhadap narasumber.
Saat materi ujian jejaring lobi, peserta harus membuktikan jejaring mereka dengan menelepon narasumber yang mereka sebutkan dengan memberi referensi sebanyak lima orang narasumber yang akan dihubungi. Jika gagal karena tidak ada narasumber yang berhasil dihubungi, maka dipastikan peserta akan gagal.
Saya secara pribadi merasa bersyukur dan berterima kasih kepada Gubernur Kalteng, Agustin Teras Narang yang berkenan mengangkat telepon dari saya. Penguji pun akhirnya memberi poin nilai tinggi karena saya berhasil berbincang dengan orang nomor satu di Bumi Tambung Bungai. Penguji tampak yakin ketika mendengar suara percakapan kami yang mengalir lancar dan akrab.
“Jadi seorang redaktur maupun pemimpin redaksi, bukan berarti harus putus hubungan dengan narasumber karena sudah jarang ke lapangan. Sebaliknya, makin tinggi jabatan struktural maka jejaring lobi harus diperluas dan diperkuat,” kata Ariwibowo yang menjadi penguji saya. Penguji yang satu ini sangat teliti dalam setiap materi yang disampaikannya, sehingga tidak heran jika dia sangat teliti pula dalam memberi nilai.
Terlepas dari semua itu, banyak pelajaran berharga yang kami dapat untuk perbaikan dalam menjalankan tugas. Banyak pengalaman-pengalaman baru yang diberikan para penguji yang bisa dijadikan acuan menghadapi berbagai kendala dalam menjalankan profesi sebagai seorang wartawan.
Bagi perusahaan pers sendiri, UKW ini sangat bermanfaat untuk mengevaluasi sejauhmana kemampuan wartawan mereka. Tidak hanya itu, menurut informasi dari salah satu peserta asal Jakarta, kini tidak hanya narasumber yang sering menanyakan tentang kompetensi terhadap wartawan, bahkan sejumlah perusahaan mulai menanyakan masalah kompentensi ini sebelum mereka memutuskan untuk memasang iklan di media massa tersebut. (NORJANI, Sampit)
Sumber: www.radarsampit.net / Jumat, 25 Mei 2012 – 20:24:56 WIB
http://www.radarsampit.net/berita-1267-bukan-sekadar-menghindari-abalabal.html
Published in