Balada Penghalau Api

Oleh Aries Munandar, Koresponden Harian Media Indonesia, Pontianak,
Peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau

Pengorbanan terus dilakoni walaupun hanya diganjar dua lembar pecahan Rp100 ribu setiap bulan.

Bencana pasti mendatangkan penderitaan. Korban dan kerugian pun kerap tak terbilang. Namun bencana juga tak jarang melahirkan sebuah cerita kepahlawanan. Mereka yang menyelamatkan para korban, juga yang meredam amukan petaka.

Begitu pula yang terjadi di Riau saat bencana asap Februari-Maret 2014. Adalah sekelompok warga yang mengabdikan diri sebagai anggota masyarakat peduli api (MPA). MPA merupakan kelompok relawan yang membantu menanggulangi kebakaran hutan dan lahan. Anggota mereka direkrut dari warga desa setempat.

Saat ini tak kurang ada 1.164 MPA di Riau. Mereka tersebar di sejumlah desa rawan kebakaran lahan. Satu di antaranya berada di Desa Sepahat, Kecamatan Bukitbatu, Kabupaten Bengkalis.
MPA Desa Sepahat dirintis sekira enam tahun lalu. Mereka bermarkas di Posko Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadaman Kebakaran (BPBD-Damkar) Kabupaten Bengkalis. Lokasinya persis di pinggir Jalan Lintas Sungaipakning-Dumai.

Bangunan bercat hijau dengan lantai keramik putih itu terlihat baru. Papan namanya bahkan masih bersandar di dinding ruang depan, belum dipasang selayaknya penanda posko. “Dulu gedungnya tidak seperti ini. Belum sebagus ini,” ujar Ketua Regu I MPA Desa Sepahat, Abubakar. 

MPA Desa Sepahat beranggotakan 10 relawan yang dibagi dalam dua regu. Setiap regu bekerja bergiliran berdasarkan sistem sif atau piket. Sif pertama pukul 07.00 hingga 18.00 WIB, dan sif kedua pukul 18.00 hingga 07.00 WIB.

Para relawan ini sering kali dituntut bekerja melampaui jam piket. Kondisi ini biasa terjadi saat puncak musim kebakaran lahan seperti pada Januari-Maret lalu. “Kami bekerja nonstop 24 jam (sehari). Setelah piket kami membantu regu lain di sif berikutnya,” kata Ketua Regu II, Burhanuddin.

MPA Desa Sepahat bertindak sebagai pasukan pencegah dan pemadaman dini kebakaran lahan. Mereka menempatkan beberapa petugas di menara yang berada di pelataran belakang posko untuk memantau kebakaran lahan.

Para petugas jaga di menara setinggi 32 meter itu mengandalkan mata telanjang untuk memantau kebakaran lahan. Paling jauh jangkauan pandangan mereka hanya sekira lima kilometer. “ (Jangkauannya) sejauh mata memandang,” ujar Burhanuddin.

Jika terpantau kebakaran, mereka dan petugas lain langsung bergegas menuju lokasi untuk memadamkan api. Jaraknya sering kali lebih jauh dari perkiraan petugas pemantau. Bisa puluhan hingga seratusan kilometer dari posko. Lokasi kebakaran juga sering susah ditempuh karena tak ada akses jalan memadai.

Armada pemadam pun harus terseok-seok menembus lokasi. Medan itu terlalu berat untuk dilalui sebuah sepeda motor bebek yang menyeret gerobak berisikan pompa air. Beban kerja relawan semakin bertambah saat mereka tak menemukan sumber air di lokasi. “Selang (pompa air) juga banyak yang bocor,” keluh Abubakar.

Keterbatasan personel dan peralatan membuat MPA Desa Sepahat hanya mampu mengatasi kebakaran kecil. Itu pun lokasinya tidak jauh dari posko. Jika kebakaran terus membesar, mereka harus menunggu bala bantuan dari armada pemadaman kebakaran yang bermarkas di Sungaipakning. Waktu tempuhnya bisa satu hingga dua jam perjalanan.

Keberadaan MPA Desa Sepahat juga tidak selalu didukung masyarakat. Ada yang tidak senang saat ditegur para relawan karena membakar lahan. Relawan dianggap mencampuri urusan orang lain. “Saya sering sedih diperlakukan seperti itu. Tapi, semuanya sudah saya niatkan untuk diiklaskan,” ucap Abubakar.

Pengorbanan demi pengorbanan terus dilakoni walaupun para relawan hanya diganjar dua lembar pecahan Rp100 ribu setiap bulan. Mereka bahkan tidak jarang berhutang untuk menutupi biaya operasional yang hanya dianggarkan Rp500 ribu sebulan.

Published in ClimateReporter