Atasi Kerusakan Hutan dengan Ajukan Hutan Desa

 

Sarifah Latowa
Wartawan Harian Luwuk Post
di Palu, Sulawesi Tengah, peserta MDK III Agustus 2015 dengan penugasan ke Aceh

Catatan penulis: Mandapat beasiswa meliput daerah ketiga (MDK) ke-III dari LembagaPers Dr. Soetomo (LPDS) bekerjasama dengan Kedutaan Kerajaan Norwegia merupakan kebanggaan tersendiri bagi diri saya dan bagi keluarga besar saya tentunya.

Karena meliput di luar daerah yang belum pernah saya jamah merupakan tantangan tersendiri bagi diri saya dan tidak semua wartawan di Indonesia mendapat kesempatan yang sama seperti ini.

Oleh karena itu saya sangat bersyukur dan berterima kasih kepada LPDS danKedutaan Kerajaan Norwegia yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk bias menginjakkan kaki di kota SerambiMekah.

 

Semoga masih ada kesempatan yang sama diberikan oleh LPDS kepada saya. Selain itu saya juga berterimakasih kepada LPDS karena dalam mengikut ikegiatan selama10 hari ini, saya dan semua peserta mendapatkan ilmu yang begitu bermanfaat. 

 

Batu giok bagi masyarakat Aceh adalah anugerah, tetapi juga musibah. Di Aceh ada  20 hektar hutan lindung akibat penambangan batu giok, kata DirekturWALHI Aceh, Muhammad Nur.

Menurut M. Nur, penambangan batu giok terus dilakukan karena selain memiliki nilai ekonomi yang tinggi juga menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat.

Namun, yang sangat disayangkan M. Nur, penambangan batu giok menggunakan alat berat jenis excavator sehingga merusak sungai di kaki Gunung Singgah Mata, Kecamatan Beutong, Kabupaten Nagan Raya.

Selain kerusakan akibat penambangan batu giok, hutan lindung di enam kabupaten di Aceh juga terdegradasi oleh perambahan kayu dan pembakaran hutan seluas 1.751 hektar. Jadi,  kerusakan hutan lindung di Aceh mencapai 36 kali luas Kota Bandaaceh.

Aceh adalah provinsi di Indonesia di ujung utara pulau Sumatra dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia.

BeberapaLembagaSuadayaMasyarakat(LSM) di Aceh telah melakukan berbagai macam strategi untuk menekan terjadinya kerusakan hutan di Aceh. WALHI, misalnya, saat ini tengah mendorong tiga desa di Kemukiman Lutueng, Kabupaten Pidie, untuk dijadikan hutan desa. Desa ini adalah Desa Lutueng, Blang Dalam, danDesa Mane yang terletak kurang lebih 150 km di sebelah timur Bandaaceh.

“Untuk mengajukan diri menjadi hutan desa, ketiga desa tersebut telah mempunyai Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD), memiliki kawasan hutan areal penggunaan lain, memiliki kawasan hutan lindung. Desa juga telah memiliki rencana kerja umum Hutan Desa yang juga bagian dari syarat pengusulan Areal Kerja Hutan Desa,” kata M. Nur sambil sesekali menyeruput segelas kopi hitam.

Lebih jauh ia menjelaskan, pengajuan hutan desa dilakukan dengan pola menggali dan pendokumentasian kembali kearifan lokal sebagai suatu peninggalan kebudayaan yang pernah ada dalam masyarakat Aceh tentang menjaga kelestarian hutan, dalam konteks Aceh disebut Sistem Adat Mukim.

Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum yang telah mengakar secara turun temurun dalam sistem sosial budaya masyarakat Aceh sesuai dengan kedudukan dan kewenangan mukim sebagai pemerintahan adat yang dibentuk dari beberapa gampong (desa).

Sejak jaman dahulu, masyarakat yang tergabung dalam satu pemukiman tersebut sangat patuh terhadap hukum adat mukim. Sebagai contoh, jika ada orang yang melakukan penebangan hutan di kawasan masyarakat adat mukim maka orang tersebut akan diserahkan kepada pengurus lembaga adat untuk diberikan sanksi.

Sementara itu,   Nasir, kepala divisi advokasi WALHI  menyatakan Hutan Desa secara umum adalah kawasan hutan yang berada dalam teritori desa yang penguasaannya oleh Negara, sedangkan kewenangan pengolahannya diberikan kepada masyarakat desa melalui Lembaga Pengelola Hutan Desa atau sejenisnya.

Dengan adanya hutan desa diharapkan masyarakat dapat menjadi kontrol dan membentuk kelas aksi sebagai upaya mengendalikan kerusakan hutan di sekitar tempat tinggal mereka.

“Kami berharap dengan adanya hutan desa masyarakat di sana dapat mengelola sumber daya alam, sesuai dengan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat mukim,” harapnya.

Untuk mendapatkan pembelajaran bersama, strategi kegiatan dilakukan melalui pendekatan sosial, seperti kegiatan survei, pengumpulan data kearifan lokal, peningkatan kapasitas masyarakat, penanaman pohon untuk kegiatan rehabilitasi hutan desa, diskusi dan penguatan kebijakan di tingkat mukim.

Melalui pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber daya hutan desa secara lestari maka pembangunan masyarakat desa akan mengarah pada perubahan yang signifikan.  Ini disebabkan meningkatnya kesejahteraan masyarakat desa dengan catatan pengelolaan hutan desa benar-benardikelola secara baik dan lestari oleh Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD).

Yang perlu diketahui secara tegas, hutan desa itu merupakan hutan negara yang dikelola oleh masyarakat lembaga desa, sehingga untuk menerapkan pengelolaan hutan desa harus berlandaskan aturan hukum Negara dan atau kebijakanpemerintah baik pusat maupun daerah.

Oleh karena itu hutan desa memiliki beberapa kriteria, diantaranya, kawasan hutan desa berada dalam kawasan hutan Negara seperti hutan lindung dan hutan produksi, belum dibebani hak pengelolaan atau izin pemanfaatan untuk bentuk pengelolaan lain, dan kawasan hutan berada dalam wilayah administrasi desa yang bersangkutan.

Dilihat dari ketersediaan ruang dan kawasan di Aceh, tentunya ini menjadi peluang bagi Pemerintah Aceh dalam mendorong dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Karena sesuai dengan Kepmenhutnomor: 941/MENHUT-II/2013 luas kawasan hutan dan perairan Aceh 3,6 juta ha (62,76%) dari total luas daratan Aceh 5,6 juta ha. Dan dari jumlah tersebut, kawasan Hutan Lindung memiliki luas 1,8 juta ha dan Hutan Produksi 714.093 ha.

Namun yang terjadi, sampai awal tahun 2015 pengembangan Hutan Desa baru dilakukan di tiga kabupaten di Aceh, yaitu Aceh Timur, Pidie Jaya, dan Pidie dengan total luas usulan 47.594 ha. (data Dinas Kehutanan Aceh: 2015).

“Hutan Lindung yang diusulkan menjadi areal kerja hutan desa memiliki potensi yang cukup baik untuk dikembangkan. Secara umum kondisi Hutan Desa yang berada di tiga desa tersebut merupakan kawasan perbukitan, lereng, dan pegunungan yang di dalamnya tersedia sejumlah sumber mata air berasal dari alur – alur kecil dan sungai,” tutupNasir.

Selain itu upaya yang dilakukan masyarakat untuk merehabilitasi kerusakan hutan mereka merencanakanakan mengembangkan beberapajenis tanaman lain yang juga memiliki nilai ekonomi dan konservasi melalui pemamfaatan hasil, baik kayu maupun non kayu.

 

Dalam pemilihan jenis tanaman, LPHD juga mempertimbangkan jangka waktu atau masa panen dari setiap jenis. Jangka waktu atau masa panen berkisar antara 3 – 10 tahun.

Published in ClimateReporter