peserta kunjungan kawasan ke Desa Tanjungleban, Riau, Juni 2014
Siang itu tak begitu terik. Angin semilir menggoyang daun dan ranting tanaman keras. Hamparan pohon tanaman keras yang menghijau mulai berdiri kokoh di areal lahan perkebunan bekas kebakaran tahun 2010 dan 2013. Satu dua sawit, saksi bisu kebakaran gambut masih bertahan hingga kini. Keberadaan pohon-pohon komersial di lahan itu seolah menepis, bahwa pemilik kebun pernah kecewa.
Kekecewaan Muhammad Nur, 46 tahun, pemilik lahan, beralasan. Lahan kebun karetnya terbakar empat tahun silam. “Bagaimana tidak kecewa, terbakar… ditanami… terbakar dan ditanami lagi,” kata ayah empat anak ini. Alhasil lahan yang terbakar pun dibiarkan dan semak belukar tumbuh bebas.
Dr. Haris Gunawan, Sekretaris Satgas Solusi Tuntas Bencana Asap (STBA) Universitas Riau, menyarankan agar M. Nur mengganti tanaman dengan jenis yang lebih cocok untuk ditanam di lahan gambut. Segendang sepenarian. M. Nur pun, warga Dusun Bakti, Desa Tanjungleban, Bukitbatu, Bengkalis, Riau, memberikan lampu hijau. Lalu, pada 2011 lahan tidur bekas kebakaran itu disulap menjadi kebun kayu. Kebun kayu, begitulah masyarakat Desa Tanjungleban, menabalkan areal plot percontohan tanaman gambut yang dinilai bisa mengembalikan lahan gambut ke ekosistemnya. Mengapa dinamakan kebun kayu? Karena pohon tanaman keras itu ditanam di kebun masyarakat.
Selain kembali ke ekosistemnya, juga diharapkan bisa menghambat tidak terjadinya kebakaran lahan gambut. Lalu, ditanamlah jelutung (Dyera costulata), meranti (Shorea sp), rami (Boehmeria nivea), geronggang (Cratoxylon arborescens), balam (Palaquium qutta), bintangur (Calopyllum spp). Tak hanya itu, tanaman buah-buahan ditanam sebagai tumpang sari, seperti durian, mangga, dan rambutan.
Setelah kebun kayu milik guru kelas V dan VI Sekolah Dasar Tanjungleban itu mulai tumbuh lebih tinggi dari orang dewasa mulailah yang lain meniru. Di antaranya Penghulu H. Atim yang berdiam di desa setempat, letaknya di jalan lintas Seipakning—Dumai, tertarik dan menawarkan lahan seluas 500 hektare yang letaknya tersebar di desa seluas 2.016 kilometer persegi. “Tanah itu punya pemerintah daerah. Hanya saja, dibolehkan untuk dikelola. Di mana hasilnya nanti diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat juga,” ujar kepala desa yang biasa dipanggil penghulu (kepala desa dalam bahasa Riau).
Haris Gunawan menambahkan, di Desa Bungaraya, Kota Siak, lahan gambut pernah disulap menjadi areal persawahan. “Memang gambutnya hanya 30—50 sentimeter dalamnya, sehingga bisa diolah menjadi sawah,” katanya lagi. Bahkan tahun 1990-an, Desa Bungaraya merupakan lumbung padi untuk memasok kebutuhan beras Provinsi Riau.
Kantong Air
Awal 2014 asap membumbung di atas Sumatera. Kebakaran lahan gambut di Riau, menciptakan kabut pekat bulan Maret 2014, mengakibatkan terganggunya penerbangan dan sekolah-sekolah ditutup. Tak hanya itu ada rumah warga dan gedung sekolah ikut terbakar. Kejadian tersebut merupakan potret buram dan ulangan peristiwa pertengahan 2013, ketika kabut asap yang tertiup angin menutupi Malaysia dan Singapura.
Pascakebakaran Februari – Maret 2014, usaha besar menghentikan kabut asap, mendapat banyak perhatian. Salah satunya Satgas STBA UR. Hanya saja tim ini sudah terlebih dahulu melakukan upaya antisipasi bencana kebakaran lahan yang menimbulkan asap dengan membuat sekat-sekat atau bendungan mini di parit-parit kebun warga. Serta membuatkan kantong-kantong air, agar gambut tetap lembab dan basah.
“Belum bisa saya simpulkan bahwa plot percontohan itu berhasil meredam tidak terbakarnya lahan,” kata Haris Gunawan, yang sudah 14 tahun, berkecimpung di lahan gambut termasuk di Desa Tanjungleban. Sekali lagi ditegaskannya, terlalu dini mengatakan lahan gambut yang di atasnya kebun kayu, tidak terbakar saat kebakaran tahun ini. Memang benar, kebakaran awal tahun ini kebun tetangga Nur terbakar yang jaraknya hanya 200 meter.
Diakuinya, pihak STBA akan melihat beberapa tahun ke depan, setelahnya dapat menyimpulkan. Apakah areal percontohan tersebut, tidak terbakar disebabkan gambutnya basah. Dan diharapkan dengan keberadaan pohon-pohon kayu, maka kanopi dari daun-daunnya akan menutupi permukaan gambut dari terik matahari. Akhirnya permukaan gambut menjadi lembab. Dengan sendirinya api pun tak bisa menjalar.
Kepala Desa H. Atim menjelaskan, melihat lahan gambut di areal percontohan selalu basah, maka pihaknya menyarankan kepada masyarakat agar membuat bendungan mini atau menyekat parit. Sekaligus menyiapkan kantong air. Penghulu pun berjanji akan membantu dana untuk pembuatan kantong air juga sekat parit.
Sementara itu, Jauhari Aman, warga setempat, mengakui menyekat parit dilakukan sendiri disebabkan keterbatasan dana. Ia membuat bendungan mini dengan menggunakan kantong pasir yang dibatasi gelondong kayu. “Pasir dan biaya angkut saja mencapai Rp4.4 juta,” ujar Heri, sapaan masyarakat kepadanya. Namun, Heri enggan mengungkapkan lebih banyak soal berapa biaya yang dihabiskan.
Ia menjelaskan pasir dimasukkan ke dalam karung yang jumlahnya lebih dari puluhan sesuai luas parit. Lalu kayu bulat berdiameter kecil ini ditancapkan di parit untuk menahan kantong pasir tadi. Kemudian, aku Heri, kantong-kantong pasir diatur di belakang kayu bulat tersebut, mencapai enam baris dengan sebelas tingkat.
Haris Gunawan, Dosen Lingkungan dan Lahan Basah Fakultas MIPA Jurusan Biologi Universitas Riau, mengatakan gambut di areal percontohan sudah mulai basah dengan ketersediaan kantong air dan tingginya air permukaan parit. Walau demikian, bukan berarti pihaknya tidak khawatir dengan masih diberlakukannya status siaga bencana kebakaran dan asap di Desa Tanjungleban ini hingga September. Berdegup-degup juga, katanya, mengakhiri pembicaraan.
Siang mulai beranjak. Awan hitam menggantung di atas Desa Tanjungleban. Angin tetap semilir. Hamparan kebun kayu mulai ketumpahan titik – titik air dari langit. Tarian daun dan ranting, semakin berirama. Kini pemilik kebun kayu tidak kecewa lagi. Lahan bekas kebakaran miliknya telah disulap menjadi kebun kayu. Pengharapannya agar anak cucu kelak tetap mengetahui seperti apa jenis tanaman hutan yang dulunya pernah tumbuh di desa tersebut mulai terwujud.*
Published in