Laporan Hairil Hiar, Liputan6.com, Ternate, 11 Agustus 2016
Penulis adalah peserta Lokakarya Wartawan Meliput Perubahan Iklim, Hotel Bela International, Kota Ternate, Maluku Utara, 26-27 Juli 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr Soetomo dan Kedutaan Norwegia
ClimateReporter, Kota Ternate – Pemanasan global melelehkan es di kutub utara dan selatan. Es mencair menyebabkan permukaan laut naik.
“Dampak ini walau perlahan, tapi pasti,” kata Edy Hatary, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemulihan Dampak Lingkungan, BLH Kota Ternate.
Dampak perubahan iklim di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara, sudah terasa, mengakibatkan abrasi di beberapa pesisir pantai. Kota berbentuk bulat kerucut itu memiliki luas wilayah 547,736 km dan didominasi gunung berapi aktif Gamalama. Orang dapat bermobil mengelilingi pulau penghasil cengkih ini dalam dua jam.
“Sejak 1948-1980an, jarak pemukiman warga masih 100 meter dari bibir pantai, namun saat ini telah sampai di belakang rumah warga,” kisah Edy.
Menurut Edy, kawasan pesisir pantai terdampak perubahan iklim, antaranya Kelurahan Kastela dan Kelurahan Afe Taduma Dorpedu (Aftador), Kecamatan Ternate Pulau, Kelurahan Bastiong dan Benteng Kalamata, Kecamatan Ternate Selatan, Kelurahan Dufa-Dufa dan Kelurahan Akehuda, Kecamatan Ternate Utara.
“Kawasan-kawasan tersebut saat ini hempasan ombak telah sampai di belakang rumah warga pesisir pantai. Selain itu, Kota Ternate juga rawan banjir, bahkan dilanda awan panas, dan lahar dingin, menyebabkan kekeringan,” kata dia.
Pejabat BLH itu mengungkapkan dampak kekeringan sangat terasa di antara 2010-2015. Kebakaran hutan mengakibatkan gangguan pola tanam mengancam keamanan pangan masyarakat setempat.
“Kekeringan jenis ini dapat menimbulkan kelaparan yang meluas dan menurunnya kualitas kesehatan manusia dan hewan,” ujar dia.
Dia mengatakan, dalam menghadapi dampak pemanasan global, Pemerintah Kota (Pemkot) Ternate telah melaksanakan penyelarasan strategi nasional untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Untuk mitigasi, kata dia, pemkot berupaya mereduksi emisi gas rumah kaca dan intensitas energi dari pertumbuhan ekonomi.
Sementara agenda adaptasi, pemkot telah mengembangkan pola pembangunan yang tahan terhadap dampak perubahan iklim dan gangguan anomali cuaca yang terjadi saat ini dan antisipasi dampaknya ke depan.
Menurut dia, langkah yang dilakukan itu, yakni penghijauan daerah pesisir pantai, pembangunan taman kawasan pesisir, pembangunan hutan kota, pengelolaan terumbu karang, dan pengelolaan kawasan barangka (kali mati).
Berdasarkan pengamatan terhadap beberapa upaya mitigasi dan adaptasi pemkot Ternate, sebagaimana diuraikan Edy Hatary, tindakan spesifik mengurangi resiko abrasi belum ditemukan. Di sebagian kawasan pesisir pantai tidak ditemukan hutan mangrove. Ketiadaan barisan bakau ini menjadikan rumah-rumah warga pesisir makin terancam.
Kondisi tersebut bisa ditemukan di beberapa kelurahan, yaitu Kelurahan Kastela, Kecamatan Ternate Pulau, dan Kelurahan Mangga Dua, Kecamatan Ternate Selatan. Begitu pula pada Kelurahan Dufa-Dufa dan Akehuda, Kecamatan Ternate Utara.
Khusus pada kegiatan adaptasi, pembuatan hutan kota telah dilakukan di kawasan pesisir dekat dengan pusat pemerintahan dan perbelanjaan kota, yaitu di antara Ternate Utara dan Ternate Selatan.
Selain itu, ditemukan sepanjang pesisir pantai kota setempat terdapat pembangunan tanggul penahan ombak, yang terbuat dari campuran batu, pasir, dan semen. Tanggul ini di wilayah terdampak dan pemukiman warga Kecamatan Pulau.
Tanam mangrove
Ketua Pusat Studi Kebencanaan Universitas Khairun (Unkhair) Ternate Ridwan Lesi mengatakan wilayah pesisir pantai Kota Ternate sebagian besar telah mengalami perubahan fisik yang drastis berupa pergeseran garis pantai dari waktu ke waktu.
Dia mengatakan di Kota Ternate yang memiliki garis pantai 44 km telah terjadi perubahan iklim yang signifikan. Reklamasi dan eksploitasi pasir pantai merupakan dua faktor.
“Kondisi tersebut kita temukan di sepanjang pesisir Kota Ternate. Yang dominan, paling terasa itu, lebih disebabkan karena reklamasi dan eksploitasi tambang pasir pantai yang intensif dilakukan pemkot dan warga Ternate,” katanya.
Dosen Unkhair Ternate itu mengemukakan reklamasi dan eksploitasi tambang pasir itu akhirnya menyebabkan abrasi dan terumbu karang rusak.
“Selain itu hutan mangrove ditimbun dan digantikan jalan dan bangunan,” ujarnya.
Dia mengemukakan perusakan pantai yang ditimbulkan manusia secara tidak langsung dalam jangka panjang akan merusak wilayah pesisir dan merugikan, seperti rusaknya pemukiman masyarakat dan rusaknya lahan perkebunan.
Meskipun begitu, kata dia, di beberapa pesisir seperti Kelurahan Kastela dan Kelurahan Mangga Dua sendiri pernah dilakukan penanaman hutan mangrove. Ini dikerjakan Dinas Perikanan Kota Ternate bekerjasama dengan masyarakat setempat pada 2001. Di sepanjang garis pantai itu 10.000 pohon mangrove ditanam.
“Sayangnya penanaman mangrove ini mengalami kegagalan disebabkan oleh tidak adanya perawatan dinas terkait dan masyarakat. Selain itu, dinamika gelombang dan arus wilayah pesisir akibat reklamasi berakibat kerusakan tanaman itu,” jelasnya.
Dia mengatakan langkah yang harus ditempuh Pemkot Ternate bukan hanya membangun tanggul semata. Namun harus mengedukasikan masyarakat.
Menurut dia, kegiatan adaptasi yang dilakukan Pemkot Ternate sudah efektif, namun hanya bersifat struktural, dan secara kultural (masyarakat) belum sama sekali.
“Jadi yang perlu diubah itu pola pikir masyarakat, sehingga strategi adaptasi itu bukan hanya melihat dari bangun infrastruktur, bangun talud (tanggul), tapi masyarakat itu harus paham bahwa mereka saat ini mengalami perubahan itu,” tegasnya.
“Saya kira seperti itu, masyarakat perlu diberikan pemahaman, harus diberikan imbauan, misalnya warga pesisir setempat dalam membangun rumah harus meninggikan fondasi, sehingga tidak tergenangi air yang masuk,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, abrasi bukan hanya dijawab dengan pembangunan tanggul, tapi harus dilakukan penanaman mangrove. Yang berikut di Kota Ternate, kata dia, masih banyak penambang pasir di pantai, yang juga menimbulkan abrasi.
“Misalnya di Akehuda itu kan dahulu orang bisa rekreasi di situ, tapi sekarang tidak bisa lagi karena banyak orang tambang pasir di situ. Nah, ini perlu penanganan dengan bukan hanya talud tapi pola pikir masyarakat harus dibenahi kemudian harus dipikirkan alternatif mata pencaharian warga penambang itu,” imbuhnya.
Adaptasi belum maksimal
Kepala BLH Kota Ternate Sofyan Wahab megakui upaya-upaya yang dilakukan dalam adaptasi perubahan iklim di wilayah pesisir pantai Ternate belum maksimal. Menurut dia, pemkot masih sebatas pada pembangunan tanggul penahan ombak.
Selain itu, hal penting lainnya, seperti penanaman hutan mangrove. Menurut dia, penanaman mangrove baru terpikirkan pada tahun ini di masa periodenya menjabat. Olehnya itu, kata dia, pihaknya akan mengusulkan bibit mangrove pada APBD 2017.
Dia mengatakan ribuan pohon mangrove yang pernah ditanami gagal diakibatkan kondisi iklim pada saat penanaman, kala itu. Iklim saat itu, sambung dia, mempengaruhi ribuan pohon mangrove yang sudah ditanam dan kemudian mati.
“Iklim yang dimaksudkan itu, pertama, saat penanaman terdapat musim ombak. Kedua, karena lahan pesisir tidak cocok dengan jenis mangrove yang ditanam. Untuk wilayah pesisir Ternate pada mangrove yang cocok itu bruguiera gymnorrhiza. Karena jenis mangrove ini bisa tumbuh di batu karang, pasir murni dan pasir bercampur lumut dan tanah. Jadi ke depan kita akan perhitungkan itu,” jelasnya.
Dia menjelaskan prinsip BLH Kota Ternate bahwa penanaman mangrove sangat penting untuk tahun-tahun ke depan, karena melalui upaya pembangunan tanggul dan sebagainya, sudah dilakukan hampir di seluruh kawasan pesisir terdampak abrasi.
“Bagi kita mangrove itu lebih penting. Karena selain menahan laju abrasi, dan gempuran ombak, mangrove juga bisa meredam gas CO2. Karena itu pilihan penanaman mangrove itu akan menjadi prioritas tahun mendatang,” imbuhnya.
Selain itu, kata dia, upaya menanam mangrove sebelumnya dilakukan melalui pihak ketiga atau tangan rekanan pelaksana atau kontraktor. Sehingga, menurut dia, kedepan akan dilakukan sendiri oleh instansi terkait maupun BLH.
“Ini supaya masyarakat pesisir setempat bisa ikut serta. Karena yang nanti merasakan dan menikmati adanya hutan mangrove itu adalah masyarakat. Dengan melibatkan langsung masyarakat dalam menanam mangrove sekaligus sebagai langkah edukasi kita bahwa saat ini masyarakat telah terdampak perubahan iklim, yang menyebabkan abrasi di wilayah pesisir-pesisir kampung mereka,” ujarnya.
Dia mengatakan masyarakat pada intinya belum tahu penyebab apa sampai timbul abrasi, kenapa sampai garis pantai tergerus dari waktu ke waktu. Olehnya itu, kata dia, ke depan akan dilakukan kampanye dan sosialisasi perubahan iklim ini.
Dia mengatakan, pada 2015, BLH pernah mengusulkan adanya penanaman hutan mangrove itu.
“Sebenarnya, jujur saja, ini pernah diusulkan pada 2015. Hanya saja karena di kita (pemkot Ternate) terkadang muncul egoisme SKPD. Sehingga kadang dianggap persoalan seperti ini (tanam mangrove) bukan kewenangan kita,” katanya.
Langkah Adaptif
Sofyan Wahab memastikan pada 2017 BLH akan melakukan berbagai langkah adaptif terhadap abrasi pesisir pantai melalui sosialisasi-sosialisasi tentang perubahan iklim, kampanye, dan mengusulkan penanaman bibit mengrove di wilayah pesisir.
“Tentang bagaimana masyarakat bisa adaptasi dengan perubahan iklim, selain upaya-upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah. Karena jujur saja, hal-hal bersifat edukasi seperti ini penting dalam hal pemahaman kepada masyarakat. Mudah-mudahan pada 2017 kita masuk, baik melalui kampanye-kampanye perubahan iklim, kemudian bagaimana mempercepat regulasi terkait dengan tambang batuan nonlogam yang dahulu dikenal dengan Galian C dan lain-lain,” imbuhnya.
Tertib Tambang
Dari data yang ada di BLH itu, kata dia, khusus pada penambang pasir di Ternate, itu ilegal karena tidak diberi izin.
“Ini yang jadi problem, kemudian BLH harus memikirkan bagaimana agar ada penertiban terhadap penambang itu,” sambungnya.
Selain itu, dia menambahkan terdapat upaya penghentian reklamasi pantai oleh pemkot saat ini sudah mulai dilakukan. Menurut dia, hampir di semua daerah melakukan reklamasi pantai karena berkaitan dengan kebutuhan lahan yang minim.
“Bagi pemkot sebelumnya reklamasi ini sangat penting karena daerah Ternate memiliki lahan terbatas. Di mana daerah ini kemiringan lima derajat ada di wilayah pesisir dan selebihnya 30 derajat ke atas. Karena itu pemkot berpikir bahwa untuk kepentingan memperluas akses jasa dan perdagangan ya pilihannya itu, reklamasi.
“Namun tahun ini sudah mulai dikurangi karena itu hanya dilakukan pada beberapa tahun kemarin. Dengan upaya penghentian reklamasi, pemkot sudah ada alternatif akses jasa dan perdagangan, melalui pembangunan infrastruktur di wilayah selatan Ternate yang masih luas daratan,” jelasnya.
Editor: Warief Djajanto Basorie
Published in