Berkunjung ke LAHG Sebangau Kalimantan Tengah: Tiga Bidadari Hutan Gambut Berjuang Selamatkan Primata Langka

Laporan Veby Rikiyanto, Valoranews, Padang
Penulis adalah peserta lokakarya Meliput Perubahan Iklim LPDS dengan tugas kunjungan kawasan di Kalimantan Tengah Februari 2016

Dimuat Valoranews Kamis, 31-03-2016 | 11:56 WIB | Berita Ranah

Manager proyek MPI  Lembaga Pers Dr Soetomo Warief Djajanto Basorie menerangkan maksud  kedatangan rombongan kunjungan kawasan  meliput perubahan iklim pada tiga peneliti internasional di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau, Kalimantan Tengah 21 Feb 2016. Duduk dari kiri ke kanan: Cara Wilcox, Jenn Brousseau, dan Carolyn Thompson. Foto Veby Rikiyanto/valoranews)

VALORAnews – Perempuan bule berambut merah itu tampak kesal. Tiap sebentar dia melirik jam di tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul 09.30 WIT. Menghilangkan gelisah, dia melongok keluar jendela camp. Sejenak dia bangkit dari duduknya dan berdiri di depan pintu, sembari tangannya menampung air hujan.

Hujan yang turun sejak pagi, tampak membuat jadwalnya hari itu terganggu. Karena, disaat jam seperti sekarang ini, dia biasanya sudah mengumpulkan banyak data untuk penelitiannya. Namanya Carolyn Thompson. Dia seorang peneliti di Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) Sebangau, Kalimantan Tengah. Objek penelitiannya adalah gibbons (hylobates albibarbis sp) atau bagi masyarakat setempat disebut owa-owa.

Awalnya dia sedikit keberatan ketika rombongan wartawan peserta lokakarya LPDS ingin berbincang-bincang. “Saya harus kerja,” jawabnya pendek.

Lokakarya tentang perubahan iklim ini, diselenggarakan oleh Lembaga Pers Dr Soetomo bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia pada 20-24 Februari 2016. Pesertanya, utusan dari 10 media terpilih dari seluruh Indonesia. 

Setelah dijelaskan maksud kedatangan oleh ketua rombongan, akhirnya dia dan dua temannya mau juga menerima kami. Atau entah karena hujan belum juga reda, yang menghambat langkah mereka.

Melihat penampilan keseharian wanita modern ini, siapapun akan sangsi. Apakah benar dia seorang peneliti. Selain berwajah cantik, kulit putih dan hidung mancung khas Eropa, dandanannya pun lebih mirip anak gaul. Rambut dicat separuh merah, kuku dihias warna-warni dengan lengan bertato.

Saat diajak berdialog, dengan bahasa Inggris tentunya, Carolyn malah menjawab dengan bahasa Indonesia cukup fasih. Selain bahasa Indonesianya lancar, Carolyn ternyata juga pribadi yang enak diajak diskusi.

“Saya dari Inggris. Saya di sini, sudah dua tahun meneliti gibbon. Kamu tahu gibbon,” celotehnya ramah.

Pengalaman beraktivitas di sebuah NGO yang juga concern dengan primata, membuat pembicaraan kami tentang monyet jadi makin dalam. Caz, begitu nama panggilan Carolyn, sedang studi lanjutan primata.

Tiap hari, sekitar pukul 04.00, dia sudah jalan ke hutan di sekitar LAHG guna mengamati dan mencatat tingkah laku satwa gibbon. Ditingkahi menjawab pertanyaan rekan peserta workshop LPDS, Caz menuturkan soal ketertarikannya pada hewan mamalia itu.

“Sekitar 1993, ketika masih berumur tujuh tahun, kakek membawa saya ke Philipina. Di sana banyak mamalia diperdagangkan secara bebas,” ungkap Caz.
Saat itu, terang Caz, kakeknya menyelamatkan seekor monyet dari perdagangan gelap.

“Sejak saat itu, saya juga berniat untuk ikut menyelamatkan hewan mamalia ini dari perdagangan gelap,” terang lulusan Bachelor in Life Science (BSc) diOpen University, Inggris itu.

Ketertarikannya dengan monyet ini, juga berlanjut pada studi. Carolyn tercatat sebagai mahasiswa S2 di Primate Biology, Behaviour and Conservation, Roehampton, London. Dia pun bertekad melanjutkan studi hingga mendapat gelar PhD di University College London.

“Saya mau kumpul uang dulu, biar bisa masuk ke University of Roehampton di Inggris. Ini kampus terkenal,” terangnya.

“Bulan depan saya mau ke Vietnam. Di sana juga ada jenis monyet langka, cao vit gibbon. Mau meneliti juga di sana,” kata cewek yang hobi travelling ini soal keinginannya yang lain.

Tak ingin hidup normal seperti remaja lainnya? Carolyn tersenyum penuh arti. Menurut dia, sejak kecil dia sudah biasa hidup berpindah-pindah, mengikuti ayahnya yang bekerja di British Petroleum, sebuah perusahaan minyak besar asal Inggris.

Mengapa tidak mengikuti jejak ayahnya bekerja di dunia perminyakan yang secara ekonomi jauh lebih baik? Carolyn memberi jawaban penuh makna.

“Saya tidak mau melihat hewan-hewan ini punah dan generasi kita berikutnya hanya akan lihat fotonya saja. Pasti kita yang akan disalahkan,” tegasnya sembari memperlihatkan beberapa foto gibbons hasil jepretannya selama meneliti.

Saat digoda, apakah tidak merasa kehilangan masa muda, dimana di saat anak muda seusianya menghabiskan waktu dengan hang out ke mall ataupun tempat hiburan, menonton live music maupun party di club, dia malah bersemedi di dalam hutan bersama monyet-monyet liar.

Dengan senyum manis, Carolyn menjawab: “Saya punya DJ sendiri. Tiap hari dengar musik dari DJ di sini. Suara puluhan binatang hutan itu adalah live music saya. Lihat gibbons lompat dari satu pohon ke pohon lain. Itu lah dance party saya.”

“Dua kali sebulan saya pergi keluar camp. Selain buat beli kebutuhan, juga pastinya buat hang out juga. Saya seperti common girl lainnya, ha…ha…ha….”

Saat hujan mulai berhenti, Carolyn beserta dua rekannya, tampak langsung bergegas untuk melanjutkan penelitiannya lagi. Begitulah ketiga remaja ini. Di usia remajanya, telah menunjukkan kepedulian terhadap kelangsungan hidup primata langka. Sementara, sebagian kita malah merusaknya, dengan cara tak bertanggungjawab pula. (vri)

Copyright © 2015 – valora.co.id – All rights reserved

Published in ClimateReporter