Profesi tanpa filiosofi akan hampa, hanya sekadar jadi pekerja.”
Jakarta (ANTARA News) – “Wartawan harus terdidik secara baik. Well educated.” Kalimat dwi bahasa ini bakal tak terucap lagi dari sang empunya. Sabam Pandapotan Siagian wafat di Rumah Sakit Siloam Semanggi Jakarta, Jumat (3/6), setelah sekian lama mengalami gagal ginjal.
Pak Sabam atau Excellency Siagian, demikian sapaan akrabnya di kalangan pers dan diplomat, tidak pernah bosan menyampaikan nasehat itu dalam berbagai kesempatan berbincang dengan sejawat jurnalisme, terutama wartawan lebih muda. Baginya bukan sekadar pendapat biasa, namun cermin perjalanan hidup yang dilalui.
Pria kelahiran Jakarta, 4 Mei 1932, tersebut memang dikenal sebagai salah seorang wartawan terdidik yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Cermat dalam bicara dan menulis adalah salah satu cirinya.
Sabam menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Istimewa berbahasa Belanda pada 1952, kemudian menimba ilmu ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia FH UI), Akademi Dinas Luar Negeri (ADLN) hingga Universitas Vanderbilt Nashville dan Nieman Fellow for Journalism di Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS).
“Sekolah dan jangan pernah berhenti belajar sangat penting bagi wartawan. Namun, bersikap terdidik dalam bermasyarakat jauh lebih penting lagi. Wartawan adalah profesi yang harus menjadi satu referensi untuk kepentingan orang banyak,” ujarnya saat menerima Medali Emas Spirit Jurnalisme dari komunitas Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2013 di Manado, Sulawesi Utara.
Satu malam sebelum acara puncak HPN 2013, Pak Sabam mengikuti rapat pengurus Yayasan Sekolah Jurnalisme Indonesia (SJI) yang juga didirikannya bersama sejumlah tokoh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sejak 2010. Seusai rapat, ia meluangkan waktu untuk kongko-kongko dengan sejumlah wartawan.
Jelang waktu kian larut malam, Pak Sabam menikmati minuman anggur (wine) Cabernet Sauvignon dari Australia yang dibawa salah seorang juniornya lantaran paham kegemaran sang senior akan sajian berkualitas.
Ia pun berujar, “Good quality. Saya menikmati dunia jurnalisme ibarat minum wine ini. Harus mencapai kesempurnaan saat berkebun anggur, kemudian mengolah menjadi minuman berkualitas, dan ada pula etiket sajian hingga cara mengonsumsinya.”
Lantas ikhwal Cabernet Sauvignon pun dituturkannya. Kebun anggurnya terpilih dari sebagian wilayah di Kalifornia (AS) dan lokasi terbaik berada di Leeuwin Estate, Margaret River, Australia Barat.
“Kebun anggur sama dengan perguruan tinggi. Tukang kebun adalah dosen dan pohon anggur adalah mahasiswa, sedangkan tanah yang subur adalah kampusnya,” ujar Sabam, yang fasih bercerita mengenai Negeri Kangguru lantaran menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Australia periode 1991-1994.
Ia menilai, sarjana ibarat buah anggur hasil perkebunan yang diolah petani. Hanya kebun anggur subur, bibit pilihan dan petani baik yang mampu menghasilkan buah anggur berkualitas.
“Hanya anggur pilihan yang bisa menjadi bahan baku wine berkualitas. Pabrik wine tentu saja sama dengan industri kerja bagi sarjana berprestasi. Anggur busuk pastilah tersingkir karena akan mencemari yang berkualitas,” ujarnya.
Kontributor Radio Australia (Australian Broadcasting Company/ABC) di New York (AS) pada 1969-1973 itu mengemukakan, pabrik minuman anggur sebagai industri secara umum tidak berbeda dengan perusahaan pers, yang banyak mengandalkan unit produksi, pemasaran dan keuangan, tanpa melupakan pentingnya administrasi.
“Setahu saya, pabrik wine yang terkenal kualitasnya dikelola oleh kalangan yang memang paham kebun anggur hingga produk dan sajiannya. Perusahaan pers yang baik juga biasanya didirikan, ditata dan punya komando yang jelas memproduksi hingga menyajikan berita berkualitas buat masyarakat,” katanya.
Sabam yang pernah memimpin harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan dan The Jakarta Post berpendapat, di tengah industri maupun kepentingan masyarakat, wartawan menjadi tertempa untuk mengamati, memahami, mengerti, bahkan memaklumi berbagai hal.
“Pembuat wine dan wartawan juga harus skeptis, karena mereka melayani publik yang punya banyak selera dan tingkat kecerdasan. Ini bukan arogan, tapi profesional. Diplomasi pun saya alami seperti ini. Kita berhadapan dengan tatanan komunikasi verbal dan non-verbal yang membutuhkan kompetensi. Ada etika, pengetahuan dan keterampilan tanpa batas dalam menjalani ini,” ujarnya.
Mengapa Sabam Siagian menyukai Cabernet Sauvignon? “Ini wine aroma dan rasanya penuh pahit getir, seperti profesi kita. Sering disebut fruit-driven style. Ada cita rasa buah, tanic, dan kualitas terbaiknya bila campuran rasa ini semakin tua. Profesi wartawan yang kita jalani hingga tua juga seperti ini.”
Sambil senyum tersungging di bibir, ia pun menimpali, “Kita harus maknai profesi dengan menangkap filosofi kehidupan. Profesi tanpa filiosofi akan hampa, hanya sekadar jadi pekerja.”
Manakala gagal ginjal mendera dan harus menjalani perawatan cuci darah (hemodialisis), Pak Sabam masih berkelakar, “Dokter sudah melarang saya mengonsumsi wine, bukan melarang meminumnya. Kalau cuma melarang minum, saya tentunya boleh memesan wine dalam infus.”
(Priyambodo RH)
COPYRIGHT © ANTARA 2016
Published in