Lahan Sejuta Masalah

Laporan Mursalin, Hr Republika, biro Lampung
Penulis adalah peserta lokakarya LPDS Meliput Perubahan Iklim dengan tugas kunjungan kawasan di Kalimantan Tengah Feb 2016

Palangka Raya, Republika/ClimateReporter –  Bumi Tambun Bungai, julukan Provinsi Kalteng, kian merana. Dua bocah menjadi korban kabut asap yang menyelimuti Kota Palangka Raya, tahun 2015. Ironisnya saat itu, menurut ketua Dewan Redaksi Harian Kalteng Post, Heronika, Dinas Kesehatan setempat malah membantahnya. Kematian dua bocah tersebut bukan karena kabut asap.

Heronika mengatakan kejadian terparah kebakaran hutan di Kalteng pernah ada tahun 2007. Kemudian berturut-turut kebakaran hutan terus terjadi pada 2008, 2010, dan terakhir 2015.

“Tahun 2007, kejadian serupa lebih parah. Saya tidak bisa jalan (saking tebalnya kabut asap),” kata Heron yang tahun 2015 berakhir menjabat Pemimpin Redaksi Kalteng Post.

“Kalteng terkepung api dan asap,” kata Kepala Dinas Kehutanan  Kalteng, Sipet Hermanto. Data Dishut Kalteng tahun 2015, luas wilayah sekitar 153.564 kilometer persegi, 12.7 juta ha kawasan hutan atau 82,45 persen dari luas provinsi. Dari jumlah itu, seluas tiga juta hektare merupakan lahan hutan gambut atau 19,60 persen dari luas hutan Kalteng.

Menurut Sipet, kerusakan hutan di Kalteng terjadi sejak adanya program pemerintah Orde Baru ketika membuka lahan satu juta hektare di lahan gambut untuk sawah pertanian, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 82 Tahun 1995. “PLG (Proyek Lahan Gambut) sejuta hektare di Kalimantan ini gagal,” kata Sipet Hermanto saat Lokakarya Meliput Perubahan Iklim,Sabtu 20 Feb 2016. Lokakarya wartawan ini diselenggarakan Lembaga Pers Dr Soetomo dengan kerjasama Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia.

Ia mengatakan pembukaan lahan sejuta hektare di lahan gambut menjadi lahan sejuta masalah. Kerusakan lahan gambut menjadi penyebab terganggunya ekosistem lingkungan, yang berdampak meningkatnya jumlah emisi karbon yang lepas.

Selain itu, ungkap dia, kerusakan lahan gambut berdampak pada kebakaran hutan, karena lahan gambut mengering, cadangan air di saat kemarau hilang, dan akhirnya mengganggu keanekaragaman hayati dan fauna yang ada.

Ia menyebutkan kerusakan hutan di lahan gambut semakin parah, karena terjadi tumpang tindih izin dari lembaga satu dengan lembaga lain. Hal itulah menambah daya dukung kerusakan hutan. Pada saat kebakaran hutan tahun 2015, ia menyebut sebanyak 21 ribu hektare lahan hutan gambut di Kalteng terbakar.

Menurut dia, konsep ke depan penanggulangan pascakebakaran lahan hutan gambut, yakni perlu kesiapsiagaan peralatan, jumlah personil, dan peran serta masyarakat. Kemudian, sisi alokasi anggaran untuk mendukung operasional di lapangan.

“Politik anggaran lebih mengutamakan pada saat bencana terjadi dibandingkan penanggulangan sebelum bencana datang,” ujar Sipet yang sudah menjabat kepala Dishut sejak Tahun 2010.

Kepada pemerintah pusat, ia berharap politik anggaran hendaknya dipersiapkan secara baik sebelum terjadinya bencana. Menurut dia, tidak perlu mendatangkan helikopter untuk mengebom api dengan bom air yang anggarannya miliaran rupiah, mendatangkan peralatan canggih lainnya, yang telah menelan biaya yang besar, namun kerjanya tidak efektif.

Selain itu, ia menyarankan perlunya melibatkan masyarakat dan lembaga adat setempat untuk berperan serta dalam penanggulangan bencana seperti kabut asap. Masyarakat perlu dilatih dan diberikan edukasi dengan mengalokasikan dana untuk sosialisasi dan pelatihan penanggulangan bencana kebakaran hutan dan kabut asap.

Darmae Nasir, salah seorang peneliti dan ahli lingkungan hidup dari Universitas Palangka Raya, mengatakan kabut asap yang terjadi di Kalteng tahun lalu sudah sangat parah. Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yang sudah 400 belum membuat pemerintah pusat bergeming.

Padahal, menurut Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, kategori dan rentang  ISPU normal atau baik 0-50, sedang 51-100, tidak sehat 101-199, dan sangat tidak sehat 200-299, dan termasuk kategori berbahaya yakni pada angka 300-500.

Ia berharap ke depan ada perubahan regulasi dari penanggulangan kepada pencegahan. Pencegahan ini, lanjut dia, tidak hanya melakuikan restorasi fisik, namun juga, sosial dan terlebih pada ekonomi kemasyarakatannya.

“Sejauh ini yang saya lihat hanya menekankan aspek fisik. Ini belum menyelesaikan masalah,” ujarnya.

Published in ClimateReporter