Kota Seribu Sungai di Hari Air

Oleh Timoteus Marten, Redaktur, Tabloid Jubi, Jayapura, dengan penugasan ke Kalimantan Selatan Maret 2014

SABTU bulan Maret langit Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, agak cerah. Tak seperti sehari sebelumnya, kota ini diguyur hujan sepanjang hari. Kini di sini hujan seharian berarti harus waspada.
Di kompleks Universitas Lambung Mangkurat (Unlam) Banjarmasin, Jalan Brigjen Hasan Basri, Paris mengorek-ngorek sampah, lumpur, dan mencabut rumput liar  sekitar parit sebagai bentuk kewaspadaan.

“Oh, ini hari Air Sedunia, 22 Maret,” kata Paris Maulana, Koordinator Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Fisipioner, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lambung Mangkurat (FISIP Unlam) Banjarmasin.
Mereka melakukan kerja bakti di sekitar kampus Unlam untuk merefleksikan hari Air  dengan melibatkan Dinas Sumber Daya Air dan Drainase.

Puluhan anggota dari dinas itu dikerahkan untuk bekerja bersama sejumlah anggota Mapala Fisipioner yang membersihkan parit, daerah genangan air, lumpur, dan mengangkut sampah.

“Kami mengajak masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai dan sembarang tempat. Air sekarang sudah berubah karena kerusakan lingkungan,” ujar Paris.

Ia mengingatkan warga untuk mewaspadai datangnya bencana banjir karena kini hujan seharian sudah mengakibatkan sungai meluap.

Menurut dia, kondisi sekarang di kota ini kontras dengan julukan “Kota Seribu Sungai” sebab banyak sungai yang ditimbun, tercemar hingga mengakibatkan banjir. Julukan tersebut hanya sebuah nostalgia beberapa tahun silam. Rumah toko (ruko) berdiri megah di sepanjang tepian Sungai Barito dan Martapura.

Ia menyatakan bahwa berdirinya ruko yang nyaris sejajar dengan eksosistem air tersebut sebagai dampak dari pembangunan.  “Jika tak segera diatasi akan berdampak pada bahaya banjir besar-besaran”.
Bayangkan saja, jika hujan sehari, menyusul banjir. Tak hanya itu, penumpukan sampah tersebar di beberapa titik. “Banyak sungai yang mati. Seribu ruko sekarang. Dan seribu sampah,” kata Paris.

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No.35 tahun 1991 tentang sungai menyebutkan, sungai adalah tempat atau wadah serta jaringan pengaliran air.  Bantaran sungai sebagai lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sungai hingga kaki tanggul sebelah dalam. 

Disebutkan, pendangkalan sungai disebabkan karena kurangnya kesadaran warga.

Sumber yang diperoleh menyebutkan, Sungai Barito merupakan sungai selebar lebih dari 500 meter. Dan Sungai Martapura serta Sungai Alalak, hanya selebar di atas 25 meter hingga 500 meter. Ada juga Sungai Andai, Sungai Duyung, Sungai Kuin dan Sungai Awang. Sedangkan sungai kecil dengan lebar tidak lebih dari 25 meter sekitar 77 sungai, seperti Sungai Guring, Sungai Keramat, Sungai Kuripan, dan Sungai Tatas.

Transportasi air merupakan transportasi andalan warga di kota ini sejak dulu. Bahkan, banyak sungai besar yang dijadikan jalur utama. “Belakangan terjadi penimbunan sungai. Dulu ada 117 sungai. Sekarang tidak sampai 70 karena dibuat ruko, dan lain-lain,” kata Dwito Septiyandi, Ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Selatan.

 

Published in ClimateReporter