Oleh Nazat Fitriah
Wartawan TVRI Kalimantan Selatan dengan penugasan ke Sumatra Utara
(Catatan penulis: “Waktu dapat telepon dari Mbak Indri yang mengabarkan saya jadi salah satu peserta travel fellowship LPDS, saya rasanya tak percaya. Saya yang sedang di tengah-tengah wawancara dengan seorang pejabat, mendadak jadi tak bisa konsentrasi lagi saking senangnya. Saya sangat bersyukur mendapat kesempatan kedua mengikuti program LPDS, setelah tahun 2012 mengikuti workshop Meliput Perubahan Iklim di Banjarmasin. Bersyukur bertemu mentor-mentor yang hebat, diberi materi-materi berbobot, memperoleh pengalaman meliput di daerah ketiga yang memberi pelajaran luar biasa, serta berkenalan dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia. Semoga masih akan ada lagi kesempatan ketiga, keempat, dan seterusnya.”)
Rasa kelatnya yang khas telah membawanya dari dataran tinggi Simalungun melanglang buana ke sejumlah negara di Eropa. Kekuatan rasa ini bahkan menjadi legenda yang telah berusia sepuluh abad. Namun, kini ia telah kehilangan identitasnya, sehingga mulai ditinggalkan penikmatnya.
Turunnya pamor teh sumatra ang dihasilkan dari areal perkebunan teh legendaris di dataran tinggi Simalungun adalah satu fenomena. Beralihnya fungsi sebagian luasan kebun teh tersebut menjadi lahan sawit di saat berbarengan merupakan fenomena lain. Namun, keduanya saling berkaitan, yakni sama-sama potret yang menggambarkan isu perubahan iklim lokal di Sumatra Utara.
“Itu jelas dampak dari pemanasan global,” cetus Zahari Zen, seorang pakar lingkungan Sumut.
Di ketinggian yang sama, pucuk-pucuk teh itu tak lagi menghasilkan rasa sebaik pada masa jayanya. Yang membuat perbedaan ini adalah kondisi suhu yang tak lagi sesejuk sebelumnya. Bukti lain adanya perubahan iklim di daerah dataran tinggi tersebut yakni sawit mampu tumbuh dengan baik. Tak heran, luasan kebun teh di dataran tinggi Simalungun terus menyusut, sementara kebun sawit di Sumut kian ekspansif, termasuk merambah ke perkebunan teh.
Jika pada tahun 2000 masih ada 8.475 hektare kebun teh, dalam lima tahun sudah terpangkas sekitar 3.000 hektare. Data terakhir tahun 2009 mencatat luasan kebun teh yang ada tinggal 4.595 hektare, sisanya sudah jadi kebun sawit. Sementara luasan kebun sawit di Sumut yang tahun 2006 terdata 956.000 hektare, tahun 2010 telah menembus satu juta hektare.
Secara nilai ekonomi, konversi kebun teh jadi kebun sawit barangkali jadi solusi. Di tengah harga jual teh Sumatra yang merosot, keuntungan dari sawit sangat menggiurkan. Bahkan, nilai tukar petani (NTP) sawit paling tinggi. Sedangkan indeks pertanian juga turun. Maka tak heran jika masyarakat juga ramai-ramai menjual lahan mereka ke perusahaan sawit, atau mengonversi sendiri fungsi lahan persawahannya menjadi kebun sawit.
Namun, dari sisi ekologis, sektor perkebunan sawit di Sumut belum sepenuhnya menerapkan prinsip berkelanjutan. Tidak hanya merusak lingkungan, tapi juga menyumbang kenaikan suhu bumi.
“Banyak tempat yang tidak cocok ditanam sawit dipaksakan dibuka untuk ditanam sawit. Padahal, lahan yang sudah dibuka untuk sawit tidak bisa dikembalikan lagi seperti semula. Belum lagi sungai-sungai yang sudah rusak oleh tambang, terutama saat kemarau, ditambah lagi sawit,” tukas Zahari.
Sementara itu, data Pemerintah Provinsi Sumut menyebut alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit yang masif dan aktivitas perkebunan sawit itu sendiri sebagai salah satu sumber utama penghasilan di sektor kehutanan dan pertanian.
Aktivitas pengolahan tandan buah segar (TBS) oleh 135 pabrik kelapa sawit (PKS) dengan kapasitas 4.985 ton per jam menghasilkan limbah padat sebanyak 23 persen dan limbah cair 0,6meter kubik per ton. Kedua jenis limbah ini baru dari proses pengolahan. Pada tahap penanaman, sawit membutuhkan banyak jenis pupuk kimia untuk merangsang pertumbuhan dan produktifitasnya, kata Hidayati, Ketua HarianDewan Nasional Perubahan Iklim DaerahSumut.
Pupuk anorganik, khususnya urea, adalah sumber emisi GRK. Sumber emisi GRK lainnya dari aktivitas perkebunan sawit adalah konversi lahan dengan cara-cara penebangan liar dan pembakaran hutan. Ini merupakan sumber emisi gas rumah kaca (GRK), tambah Hidayati, yang juga menjabat Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Sumut, mengutip dokumen Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) Sumut 2010-2012.
Akademisi Universitas Sumatra Utara Diana Khalil menambahkan, dampak lingkungan dari perkebunan sawit yang tidak ramah lingkungan tidak instan, sehingga isu ini tidak menarik.
“Masyarakat tidak berangkat dari isu lingkungan yang merupakan isu jangka panjang. Mereka hanya berpikir jangka pendek, yakni keuntungan ekonomi,” ujarnya.
Pakar lingkungan Zahari Zen melihat dampak perubahan iklim di Sumut sudah nyata. Ancaman kepunahan keanekaragaman hayati seperti teh sumatra yang legendaris itu hanyalah salah satu contoh. Fakta-fakta lain juga banyak berbicara, seperti bencana alam yang kian intens, pulau yang hilang, hingga menurunnya produktivitas pertanian.
Sementara Ketua DNPI Sumut Hidayati mengatakan, pemerintah daerah menunjukkan perhatian terhadap isu perubahan iklim melalui penyusunan RAD-GRK, Dokumen ini memuat pemetaan sumber-sumber emisi GRK beserta upaya mitigasi dan adaptasi. Target akhir penurunan emisi sebesar 63 juta ton Co2 ekivalen atau 24,8 persen pada tahun 2020, sedikit di bawah target nasional 26 persen. CO2 atau karbon dioksida adalah gas rumah kaca utama).
Mengenai mitigasi, usaha menurunkan emisi gas rumah kaca, Hidayati menyebut sejumlah upaya. “Khusus mitigasi terkait budidaya kelapa sawit, ada beberapa aksi mitigasi yang dilakukan, seperti pembukaan lahan tanpa teknik bakar dan pemanfaatan limbah padat sawit untuk kompos,” bebernya. (*)
Published in