Desi Safnita Saifan
Koresponden Kompas.com di Aceh dengan penugasan ke Kalimantan Tengah
(Catatan penulis: “Assalamualaikum wr wb. Sepuluh hari. Waktu singkat sebenarnya bagi saya untuk akrab dengan meliput perubahan iklim. Apalagi dalam waktu tersebut termasuk empat hari Meliput Daerah Ketiga (MDK) di satu provinsi yang sama sekali belum pernah dikunjungi. Namun, adaptasi cepat dibantu teman-teman daerah Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah, membantu kelancaran tugas-tugas saya. Bekal pengetahuan cukup juga saya simak dari dua instruktur berpengalaman yakni Mas Priyambodo dan Pak Warief. Alhasil, empat hari MDK tak menyisakan kendala berarti melainkan pengalaman bernilai tentang kearifan lokal masyarakat yang langka kita temui saat ini di belahan nusantara manapun. Harapan saya, tulisan-tulisan yang saya hasilkan selama MDK bisa menambah referensi pembaca khususnya tentang isu perubahan iklim di Palangkaraya, tanpa mengenyampingkan program REDD+ dengan proyek percontohnnya di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Terima kasih tak terhingga kepada Lembaga Pers Dr. Soetomo yang memberi kesempatan kepada saya untuk menjadi salah seorang peserta MDK Angkatan I. Semoga suatu saat mendapat peluang untuk program-program berkualitas lainnya. Waalaikusalam wr wb.”)
Brrrummm…brrrummm….brrrummm… Pekik menghentak-hentak perahu motor yang mondar-mandir melintasi arus Sungai Kahayan. Suara mesin itu dan gemeretak papan kayu rumah terapung bisingnya bukan main. Akan tetapi, aneh, hal itu tak dihiraukan oleh warga pemukiman padat penduduk di sepanjang sungai yang meliuk membelah Kota Palangkaraya.
Sejauh mata memandang, tampak barisan rumah lanting yang terapung terhampar di bantaran Sungai Kahayan, kawasan Flamboyan Bawah, Kecamatan Pahandut, Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Unik sekaligus menggelitik. Luar biasa keberanian penduduk bertahan. Seharian berkutat dengan derasnya aliran sungai, tidak sedikit pun membuat mereka bergidik.
“Sudah puluhan tahun kami di sini hingga beranak cucu, tak ada alasan untuk khawatir atau takut,” ungkap Muliasi, 35, pemilik warung kecil di bantaran sungai RT 3, RW 2.
Belum lagi riuh rendah setiap kendaraan melewati jalan kecil di depan rumah warga yang tak kalah hebohnya bersahutan dari kejauhan. Beberapa anak kecil tampak nyaman dan asyik bermain rumah-rumahan tanpa terusik oleh aktivitas warga saban harinya. Begitulah, dari waktu ke waktu roda kehidupan berputar di salah satu sudut Kota Palangkaraya.
Berdiri dari jarak sepuluh meter, bau amis tertangkap. Bukan ikan, amis tepi sungai ini berasal dari tumpukan sampah yang berdesakan di kepadatan rumah lanting dan bantaran Sungai Kahayan. Ada sampah plastik, limbah rumah tangga, hingga ranting pohon terombang-ambing enggan bersandar di satu tempat.
“Dibilang kebiasaan mungkin, iya, tapi bukan kami saja yang membuang sampah di sini, pedagang pasar besar juga buangnya ke mari,” ungkap Muliasih ikut menyalahkan kebiasaan warga pasar yang berjarak 2 km dari pemukiman mereka. Bukannya tak tahu dampak akibat kebiasaan membuang sampah ke sungai, Muliasih beralasan sejak turun-temurun mereka sudah melakukannya, tetapi tidak menimbulkan masalah.
Penyakit. Ya, baginya penyakit adalah masalah, sedangkan banjir hanya bencana alam yang menjadi takdir Yang Mahakuasa. Kendati mengakui setahun sekali menjadi daerah langganan banjir, sebelumnya bencana luapan air sungai akibat hujan terus-menerus menyambangi mereka lima tahun sekali. “Sekarang hampir tiap Desember banjir sampai segini,” tunjuknya pada teras rumah seukuran lutut orang dewasa.
Senada diungkapkan Nurbayan, 40, ibu empat anak. Ia mengakui kepadatan jumlah pendudu memengaruhi banyaknya sampah yang menggenangi aliran Sungai Kahayan. Tidak hanya berdampak pada banjir, kesulitan air bersih turut dirasakannya sejak tiga tahun terakhir. “Kalau dulu mengebor air bersih cukup sedalam enam meter. Saat ini lebih dari itu. Airnya juga masih keruh,” ungkap wanita bertubuh gempal itu.
Bukannya tak ingin pindah ke tempat lebih layak, minimnya penghasilan suami yang mengandalkan hidup sebagai teknisi servis elektronik, mengganjal harapannya untuk bisa memboyong keluarga. Padahal, kenyamanan dan ketenteraman hidup sudah jauh ia rasakan sejak banjir menjadi langganan warga bantaran Sungai Kahayan. Belum lagi kesulitan air bersih yang mau tidak mau, suka tidak suka, menambah pengeluaran ekonomi keluarga yang harus disiasatinya.
Setali tiga uang dengan warganya, Sekretaris RT 3 RW 2, Flamboyan Bawah, Kecamatan Pahandut, Kelurahan Langkai menanggapi komentar warganya dengan tawa dipaksakan. “Begitulah kondisi terkini kampung kami. Dulu sewaktu saya kecil, banjir menjadi hal ditunggu-tunggu bagi anak-anak yang ingin berenang sepuasnya. Sedang sekarang, dikhawatirkan,” sebut Sayu Licia, 24, menyebutkan banjir menjadi momok menakutkan bagi warga Flamboyan Bawah.
Bukannya tak pernah pihak perangkat desa mengadu pada pemerintah, tapi laporan-laporan mereka tak pernah ditindaklanjuti. Untuk sosialisasi pembuangan sampah saja seingatnya baru satu kali dilakukan dengan memberi bantuan keranjang sampah bagi warga tempatan. Namun, karena tidak ada sosialisasi lanjutan, lagi-lagi bak sampah teronggok di sudut pemukiman warga.
Amatan penulis, persepsi penduduk di bantaran Sungai Kahayan dipengaruhi oleh pengalaman mereka dalam menghadapi bencana, khususnya banjir. Warga mengerti tentang penyebab terjadinya banjir akibat ulah manusia membuang sampah sembarangan ditambah perilaku penambangan emas di hulu.
Praktis, terjadi perubahan iklim dan cuaca menandakan perubahan alam yang tak lagi ramah pada semesta. Musim tak lagi bisa diramal, khususnya musim hujan yang dulunya menyambangi rumah penduduk lima tahun sekali. Saat ini setiap tahun, tepatnya di penutup tahun.
Penduduk bantaran Sungai Kahayan pun mengaku seusai banjir berdampak pada kesehatan manusia, yakni timbulnya penyakit dari limbah yang menyebar. Korban banjir menyebabkan ia tidak dapat bekerja dengan segera sehingga pendapatan berkurang atau bahkan hilang selama ia tidak bekerja.
Perubahan iklim berakibat pada pengurangan ketersediaan pangan, pengurangan pendapatan, dan timbulnya penyakit. Namun, alasan untuk bertahan terpaksa dilakukan karena tidak memiliki lahan layak lain untuk ditinggali, meskipun dengan berbagai risiko yang ada atau melakukan migrasi. Jika mereka terus tetap bertahan, dalam jangka yang lama sesungguhnya mereka telah melakukan adaptasi. Sebaliknya mereka akan melakukan migrasi jika mereka tidak mampu lagi mendapat tekanan perubahan iklim.
Afandy, Deputi Direktur Bidang Internal Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Tengah, menengarai persoalan sampah, keruhnya airnya sungai dan langganan banjir di bantaran Sungai Kahayan, bermuara pada kemudahan izin yang diberikan pemerintah kepada perusahaan tambang di hulu. Ditambah komunikasi tidak harmonis antara Pemkot Palangkaraya dan Pemprov Kalimantan Tengah terkait tata ruang perkotaan, memicu persoalan buruk menimpa warga bantaran Sungai Kahayan.
“Kami akui sejauh ini kami belum turun langsung ke rumah-rumah lanting bantaran sungai. Kami masih sebatas mengadvokasi kepada pemerintah terkait kebijakan-kebijakan menyangkut hajat hidup mereka,” beber Afandy. Diakuinya ketidakberesan tata ruang memengaruhi kebijakan pemerintah terhadap mana yang harus dilindungi atau tidak.
“Lihat saja izin perkebunan dan tambang sampai 800 dikeluarkan tanpa melihat dampak kepada masyarakat,” katanya menandaskan.
Diakuinya, pencemaran air Sungai Kahayan bermuara pada penambang emas yang menggunakan bahan berbahaya mercury. Ribuan unit mesin dioperasikan hingga dapat diperkirakan pembuangan limbah mercury mencapai puluhan ton, ditambah sampah limbah rumah tangga yang memperparah pencemaran air sungai.
Sebaliknya, tudingan Walhi ini dianggap klise oleh pemerintah kota, dalam hal ini Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH), Rawang. Kata dia, persoalan sampah, pencemaran, dan banjir di pemukiman bantaran Sungai Kahayan, dapat terselesaikan dengan relokasi. “Ya relokasi solusinya. Apalagi kami (pemerintah) sudah merencanakan mengubah pemukiman padat itu menjadi jalur hijau untuk lokasi wisata di Palangkaraya,” jelasnya.
Terkait masalah sampah, pihaknya sudah melakukan sosialisasi kepada warga sekaligus menyerahkan bantuan tong-tong sampah yang bisa dimanfaatkan untuk membuang sampah. Selanjutnya pihak Dinas Kebersihan sendiri yang akan melakukan pengambilan sampah sebagaimana perumahan padat penduduk lain yang sudah disediakan tong-tong sampah. Rawang yakin, bila warga patuh dan memanfaatkannya, dampak bencana banjir dan pencemaran air akibat sampah tidak menjadi momok menakutkan warga rumah lanting di bantaran Sungai Kahayan.
Rawang mengaku sosialisasi jalur hijau sudah dilakukan walau tak segencar kampanye pemilu. “Kami terkendala dana untuk merelokasi warga ke tempat layak. Namun, pelan-pelan kami sudah memulai pembangunan untuk kawasan jalur hijau yang bisa disaksikan oleh masyarakat,” ungkapnya merujuk pada fondasi yang membelah jalan dua jalur dihiasi lampu warna-warni.
Rawang mengharapkan pengertian masyarakat akan ketidakmampuan pendanaan pemerintah untuk segera menuntaskan persoalan sampah dan banjir.
Mengemukanya pencemaran air Sungai Kahayan tersebut, secara teknis, dijelaskan Dr. Ir. Suwido H. Limin, MS, peneliti sekaligus pengajar pada Fakultas Pertanian Universitas Palangkaraya (Unpar). Menurut Suwido, solusinya bisa berupa antara lain cara menciptakan peraturan perundangan yang dapat merencanakan, mengatur, dan mengawasi segala macam kegiatan pertambangan, industri maupun teknologi, sehingga tidak terjadi pencemaran. Peraturan perundangan ini hendaknya dapat memberikan gambaran secara jelas tentang kegiatan tersebut yang meliputi AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan), pengaturan dan pengawasan kegiatan dan menanamkan perilaku disiplin.
Adapun penanggulangan secara teknis bersumber pada perlakuan industri, pertambangan atau kegiatan yang berhubungan dengan sungai terhadap cara pembuangannya, misalnya dengan mengubah proses, mengelola limbah, atau menambah alat bantu seperti Instalasi Pengolahan Air Bersih, dan lain-lain.
“Kita pun dapat memulai penanggulangannya dari diri sendiri dengan mengurangi produksi sampah yang kita hasilkan melalui daur ulang sampah sehingga pencemaran di Sungai Kahayan akan berkurang,” katanya menandaskan. (*)
Published in