Mengait Derita Dampak Limbah Batam Ke Masyarakat

Fariana Ulfah
Reporter City Radio, Medan, dengan penugasan ke Batam

(Catatan penulis: “Testimoni saya selama di LPDS, saya mendapat banyak guru, ilmu, sahabat, teman, kerabat. Saya mendapat kesempatan ke Kepulauan Riau/Batam. Di sana saya dapat pelajaran berharga mengenai daerah baru, keadaan lingkungan dan adaptasi. Selain itu juga, saya mendapat hal baru bahwa saya harus lebih waspada. Namun, di LPDS saya mendapat pengalaman yang bagi saya tidak semua wartawan mendapat kesempatan yang sama dengan saya.”)

Tujuh tahun lamanya tinggal di perumahan Putri Hijau Daun, Kecamatan Sagulung, Kota Batam. Misra,56, beserta keluarga dan tetangganya menderita penyakit yang sama gatal di sekujur tubuh. Paha, betis, leher, dan punggung tak henti-henti minta digaruk. Akibatnya, kulit lelaki itu mengelupas. Bisul pun tumbuh. Bila benjolan itu pecah, bekasnya menjadi koreng yang gatalnya membuat bulu tubuh merinding. Beratapkan tepas dan setengah batu sepanjang rumah, demikianlah tempat tinggal  Misra.

Pandangan yang tak kalah menyentuh sanubari ketika mereka menggaruk tubuh kedua anaknya yang masih di bawah lima tahun tak kalah dengan orang tuanya.

“Krokkkk……krokkkk..krokkk….,” bunyi suara kuku yang menggaruk koreng yang konon katanya yang gatalnya mahadasyat.

Di perumahan itu, bukan hanya Misra dan keluarganya yang menderita gatal-gatal. Di Poliklinik Kulit Rumah Sakit Daerah Batam, ada 40-an tetangganya yang antre mencari obat pereda gatal.

”Sudah banyak warga menderita gara-gara limbah itu,” kata seorang dokter yang tak ingin identitasnya diketahui . Misra menduga derita yang dialaminya itu bersumber dari tumpukan tahi tembaga (copper slag) yang berasal dari industri pertambangan yang tak jauh dari kediamannya.

Poliklinik Kulit Rumah Sakit Daerah Batam menyatakan indikasi adanya
pencemaran sumur diperkuat hasil penelitian Balai Teknis Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular Kelas I Batam. Menurut lembaga ini, tingkat keasaman (pH) air sumur di sana hanya 5,2 alias di bawah ambang aman.

Tinggi rendahnya pH air sangat dipengaruhi oleh kandungan mineral lain yang terdapat dalam air. pH air standar adalah 5,5 s/d 8,5 . Air di bawah 5,5 disebut asam, sedangkan di atas 8,5 disebut basa.   Air yang layak dikonsumsi harus memiliki pH 7.

Limbah yang  menggunung di belakang Kantor Kecamatan Sagulung, 3.800 ton sampah impor itu—setara dengan 380 dump truck kapasitas 10 ton yang cuma seratusan meter dari rumahnya. Timbunan limbah impor ini termasuk yang terbesar di Batam sepanjang pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Jumlahnya bahkan jauh lebih banyak dibanding impor limbah yang dilakukan oleh industri A, industri elektronik,  pada 2004 lalu.  Ketika itu, A mengimpor 1.140 ton limbah yang disebut sebagai bahan organik untuk pupuk tanaman. Limbah dari Singapura itu akhirnya diputuskan untuk direekspor, tapi kasus hukumnya terhenti.

Hampir 10 tahun sudah Dendi Purnomo berusaha memajukan Batam. Tetapi, kegiatan nyata Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) Kota Batam ini belumlah berbuah manis. Peraturan Menteri No. 18 tahun 2009 pasal 8 tentang Asuransi Lingkungan menyebutkan diperlukannya asuransi untuk perusahaan yang kegiatan utamanya merupakan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) ataupun mengelola limbah B3 yang dihasilkan dari kegiatan industri sendiri pada umumnya.

Limbah ini harus diolah terlebih dahulu sebelum dibuang sehingga tidak menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup.

Limbah yang dihasilkan oleh suatu usaha atau kegiatan itu dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku suatu produk. Jika peraturan tersebut dilanggar maka  sanksi  tertulis dijatuhkan sampai dengan  pencabutan izin usaha.

Namun masih banyak ditemukannya limbah industri. Contoh kecil ialah  residu yang tidak dapat dimanfaatkan kembali, dan dibuang ke media lingkungan hidup. Contoh lain adalah bahan baku yang berbahaya dan beracun yang tidak digunakan lagi karena rusak, sisa kemasan, tumpahan, sisa proses, dan oli bekas kapal yang memerlukan penanganan dan pengolahan khusus.

“Pada tahun 2006 sekira 35,5%  limbah di kawasan Batam diolah oleh KPLI (Kawasan Pengolahan Limbah Industri) dan sekitar 65,5% diolah di kawasan luar Batam dengan pengelolaan sekitar 45 – 70 dolar Singapura per kuintal untuk biaya pengolahan hasil limbah. Pada tahun 2014 hingga tahun 2016  sekira 65,5% pengolahan limbah di kawasan Batam diolah oleh KPLI sekitar 35,5% diolah di kawasan luar Batam. Dengan pengelolaan sekira 30 hingga 55 dolar Singapura,” ujar Dendi saat ditemui di kantor Bapedal Kota Batam.

Hal yang sama juga ditemui di perairan sekitar Pulau Batam – Kepulauan Riau. Batam tergolong rentan dimasuki limbah karena posisinya yang terbuka dan berbatasan langsung dengan negara lain,” kata Dendi.

Salah satu kasus yang hingga kini belum tuntas adalah timbunan 3.800 ton ampas tembaga di samping Kantor Camat Sagulung, Batam, yang diimpor dari Korea Selatan sejak 2009. Pada kegiatan tersebut Bapedal menemukan bukti dua warga negara Korsel dan satu warga negara Indonesia menjadi tersangka. Hingga kini, pihak perusahaan bersikukuh limbah itu adalah pasir besi, bahan pembersih karat kapal, tambah Dendi yang mengenakan baju putih dan kopiah hitam. (*)

Published in ClimateReporter