Laporan Mursalin, Hr Republika, biro Lampung
Penulis adalah peserta lokakarya LPDS Meliput Perubahan Iklim dengan tugas kunjungan kawasan di Sabangau, Kalimantan Tengah, Feb 2016
LAHG, Sabangau, Kalteng (Republika/ClimateReporter) – “Ktookkk.. ktookkkk.. ktokkk.. ktokkkk….,” suara mesin klotok (perahu) bergema di Dermaga Kereng Bangkirai, Sabangau, Kalimantan Tengah. Krisyoyo menimba air di dalam perahu yang tampak penuh. Panas terik dan atau hujan deras pun tak melunturkan keinginannya patroli ke pelosok hutan gambut memantau titik api.
Lelaki berusia 36 tahun tersebut saat bekerja mengandalkan klotok setiap hari. Perahu sepanjang lima meter berdiameter selebar orang dewasa, menjadi sahabatnya hilir mudik ke posko Laboratorium Alam Hutan Gambut (LAHG) di kawasan Hutan Taman Nasional Sabangau. Letak taman nasional di pinggir baratdaya
Menuju posko tersebut membutuhkan waktu tiga perempat jam di musim hujan. Ini karena rawa lahan gambut tergenang air memudahkan klotok masuk areal hutan. Bila kemarau, klotok tidak bisa menuju hutan lebih dalam. Pengunjung terpaksa berjalan kaki masuk ke dalam hutan gambut. LAHG berdiri 1993. Laboratorium alam ini dikelola peneliti Universitas Palangkaraya bekerja sama dengan Centre for International Cooperation in Sustanaible Management of Tropical Peatland (CIMTROP). LAHG menjalani penelitian lingkungan lahan gambut dan keanekaragaman hayati lainnya di wilayah 50 ribu hektare.Hamparan hutan gambut di wilayah LAHG masih terlihat rimbun. Kebakaran tahun 2015 membuat seperempat hutan gambutnya tidak bisa terselamatkan. Tim Serbu Api (TSA) berusaha memadamkan api dan menyiram hutan gambut, agar luasan hutan gambut terbakar tidak bertambah.
Di posko LAHG Kris tidak sendirian. Ada belasan orang beraktivitas di sana dengan bidang penelitian masing-masing. Fasilitas dalam LAHG terbilang lengkap. Listrik menyala 24 jam menggunakan generator. Peralatan penelitian lingkungan dan keanekaragaman hayati tersedia, termasuk fasilitas jaringan internet.
Kris memegang kendali TSA sebagai koordinator. Ia bergabung di sana sejak 2003. “Waktu itu TSA hanya tiga orang,” ujar Kris di Posko LAHG, Kereng Bangkirai, Sabangau, Kalteng.
Lelaki lulusan SMA tahun 1999 tersebut, harus berpacu menghadapi tantangan di dalam hutan. Praktik pembalakkan liar di Hutan Sabangau, menjadi kerja ekstranya saat awal bergabung dengan TSA. Dengan klotok, ia dan rekannya berpatroli ke berbagai pelosok hutan secara bergantian.
“Di dalah hutan, kami harus berhadapan dengan masyarakat bersenjata lengkap. Senjata kami cuma parang,” kata bapak dua anak itu mengisahkan perjalanan hidupnya sebagai TSA.
Arus keluar kayu log bernama Ramin gencar saat itu. Praktik pembalakan liar tersebut melibatkan masyarakat sekitar dan luar yang dimodali pengusaha kayu berkelas di Kalimantan. Setiap ada informasi dari masyarakat, Kris dan rekannya langsung menuju lokasi.
Namun herannya, ungkap dia, saat berada di lokasi, tidak terdengar mesin chainsaw. Tiba-tiba suara senyap di dalam hutan, seperti tidak ada aktivitas penebangan. TSA pun kehilangan jejak.
Ia menuturkan pekerja-pekerja pembalakan liar banyak direkrut dari warga luar kampungnya. Meski, ada beberapa warga kampungnya yang ikut-ikutan. Inilah yang menjadi niat sekaligus tantangan bagi Kris untuk membasmi praktik perusak lingkungan tersebut. Atas aktivitasnya, ia seringkali diancam akan ditembak dan dibunuh melalui pesan singkat telepon selulernya. Berkali-kali seruan jangan masuk lokasi ia terima di teleponnya.
Kris tak gentar sedikitpun. Ia berusaha membalas telepon tersebut. Sayangnya, nomor telepon seseorang tak dikenal tak kunjung aktif. Ia mendapat informasi dari nelayan, orang yang mengancamnya berasal dari kampungnya sendiri.
Tak berapa lama, ia mengontak pihak Polisi Kehutanan (Polhut). Dengan peralatan seadanya, timnya bersama beberapa polhut mendatangi kawasan yang mencurigakan tersebut. Namun, nihil. Semua aktivitas pembalakan liar sudah sepi. Mesin chainsaw pun tak terdengar.
Ancaman penembakan dan pembunuhan tersebut terus membekas di benak Kris. Agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, ia memberanikan diri mendatangi rumah orang yang mengancamnya tersebut.
Orang tersebut terkejut dengan kedatangan Kris. Bapak dua anak ini selalu bersikap biasa dan senyum saat berdialog dengan orang tersebut. “Sejak beberapa kali saya datangi rumahnya, orang tersebut berubah. Ia sadar. Dia tidak lagi menjalani praktik itu,” kata Kris.
Kehadiran LAHG, ungkap dia, praktik pembalakan liar terus berkurang sampai 80 persen.
Published in