Oleh Firmansyah, Koresponden Kompas.com, Kota Bengkulu,
peserta kunjungan kawasan ke Riau, Juni 2014
Pria ini jika dilihat dari perawakan cukup lemah dan seperti tak berdaya dan berwajah lemah lembut. Namun kesan itu akan berubah saat ia mulai berbicara soal lahan rawa gambut, terlebih rawa gambut yang rusak terbakar.
Ia akan berapi-api jika diberi kesempatan untuk berorasi soal gambut. Ia adalah Dr. Haris Gunawan, Sekretaris Satuan Tugas (Satgas) Solusi Tuntas Bencana Asap (STBA), Universitas Riau, ahli gambut yang mendedikasikan tidak kurang 11 tahun waktunya hanya untuk gambut.
“Selama ini saya mensunyikan diri berusaha berbuat bersama masyarakat untuk merehabilitasi kawasan gambut yang telah terbakar ditanami dengan pohon dan asri kembali,” katanya. Menurut dia, gambut di Riau sangat berpotensi menyimpan karbon dunia karena ada 4 juta hektare luas gambut di provinsi ini. Hampir separuh luas Riau adalah gambut.“Bayangkan jika gambut tetap dibiarkan baik berapa banyak karbon yang mampu disimpan dan dapat mengurangi laju pemanasan global yang terus terjadi saat ini,” kata dia pelan.
Pria ini terkesan sederhana, tak banyak bicara jika tak dimulai untuk berdiskusi, namun sedikit saja dipancing berbicara soal gambut maka mulutnya akan lancar berbicara tanpa bisa dihentikan. Saat ini ia dan beberapa komunitas masyarakat di Riau melakukan rehabilitiasi percontohan bagi gambut yang rusak terbakar.
“Ada 10 hektare kawasan gambut yang rusak terbakar kami lakukan rehabilitasi bersama masyarakat dengan menanami pohon keras dan banyak menyerap air, dan alhamdulillah tanaman tersebut saat ini telah mencapai ketinggian 2,5 meter,” ujarnya berbinar-binar.
Dari hasil “perjuangan sunyi” yang ia lakukan diam-diam bersama masyarakat selama ini ada beberapa pengalaman yang menurut dia menarik untuk dijadikan pelajaran dalam merehabilitasi kawasan gambut.
“Memang gambut jika sudah terbakar tidak akan dapat diperbaiki, namun setidaknya dengan menanami pohon kembali maka kawasan tersebut akan hijau dan dapat berdayaguna,” tuturnya.
Selain menanami kawasan gambut terbakar dengan tanaman sejenis medang, meranti kata dia, gambut juga sangat baik untuk ditanamai tanaman nanas dan lidah buaya karena struktur daunnya yang keras dan banyak mengandung air.
“Jika terjadi kebakaran, nanas dan tanaman kaktus sulit terbakar. Selain itu jarak tanam yang rapat membuat api susah untuk terus hidup dan membakar gambut. Ini pengalaman masyarakat,” jelasnya.
Artinya kawasan gambut yang ribuan hektare rusak tersebut jika dikelola dengan baik akan dapat menjadi sentra penghasil nanas. Sejauh ini katanya lagi telah ada beberapa investor yang bersedia membeli hasil nanas tersebut.
Ia juga katakan selama kebakaran lahan gambut di Riau Feb-Maret 2014, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memberitakan kerugian ditaksir lebih dari Rp 15 triliun, 58 ribu orang terserang ISPA, sekolah diliburkan, bandara lumpuh.
Selanjutnya 2.398 hektare cagar biosfer Giam Siak Kecil-Bukit Batu dan 21.914 hektare gambut kering di hampir keseluruhan wilayah Riau terbakar.
Sementara biaya operasional pemadaman menghabiskan lebih dari Rp 150 miliar dalam tiga minggu operasi tanggap darurat periode Februari hingga Maret 2014.
“Rp15 triliun itu bisa membangun banyak gedung sekolah,” kata dia pelan.
Sudah saatnya menurut dia memiliki rencana strategis bersama dalam upaya melindungi kawasan gambut baik yang belum terbakar dan yang telah rusak terbakar.
Haris Gunawan mengemukakan potret buram yang terakumulasi dari hitungan tahun dialami hampir seluruh masyarakat Riau di mana mereka menghirup pekat dan tebalnya asap sejak tahun 1994. Kejadian terparah pertama pada 1997 hingga tahun 2014 dengan situasi mencekam yang ditunjukkan oleh alat pemantau kualitas udara pada level berbahaya di Kota Pekanbaru periode Maret 2014.
“99 persen kebakaran lahan rawa gambut akibat ulah manusia baik secara perseorangan maupun korporasi. Pemerintah harus tegas mau diapakan bekas areal HPH dan HTI agar tidak terlantar dan dapat berpotensi terbakar jika tak ada yang merawat dengan melibatkan semua kelompok kepentingan,” sebut Haris.
Sejauh ini tidak kurang dari 500 hektare lahan bekas Hak Pengelolaan Hutan (HPH) telah diserahkan perusahaan ke pemerintah namun tak dirawat dan dikelola. Alhasil kerap memicu kebarakan karena tak ada yang merawat.
Ia menegaskan dedikasi hidupnya untuk perbaikan dan perlindungan gambut di Riau sebuah komitmen yang tak banyak orang untuk memilihnya.*
Published in