Belajar padam api dari Jumpun Pambelom

Laporan Sumarlin, Zonasultra, Kendari, Sulawesi Tenggara
Penulis adalah peserta lokakarya LPDS Meliput Perubahan Iklim dengan tugas kunjungan kawasan di Kalimantan Tengah Feb 2016

Tak kala kebanyakan remaja seusianya masih terlelap tidur di keheningan malam, pemuda 16 tahun itu justru bertaruh nyawa di hutan.

“Saya merasakan sedikit was-was,” ujarnya.

Sejak jam tiga dini hari, Daniel bersama 4 rekannya telah siaga di salah satu lokasi dalam hutan, karena sudah mendapat informasi awal. Itulah sepenggal pengalaman Daniel, tamatan SMA, saat api mulai menjilat pepohonan di Jumpun Pambelom akhir 2015. Jini kawasan hutan gambut milik perorangan di Km 30,5 arah ke selatan dari Palangka Raya, ibukota provinsi Kalimantan Tengah. Letaknya di Desa Tumbang Nusa, Kabupaten Pulangpisau.

Berbekal sebuah mesin pompa air lengkap dengan selang yang sudah siap di pinggir sumur, Daniel bersama empat rekannya bersiaga menyambut kedatangan kobaran api yang semakin besar karena melahap pepohonan kering yang dilewatinya dan semakin mendekat kawasan hutan milik pribadi Jumpun Pambelom. Kawasan seluas 10 hektare ini milik  Januminro Bunsal dan dikelola bersama 15 warga sekitar.

Jumpun Pambelom itu  bahasa Dayak yang bermakna hutan sebagai sumber kehidupan.

Awalnya kawasan ini adalah lahan eks Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Setelah tidak aktif, lahan ini masuk dalam program Pengmbangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektare yang dicanangkan pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto 1995.

PLG adalah proyek raksasa guna mengalihgunakan lahan gambut menjadi sawah agar Indonesia mencapai swasembasa beras. Proyek gagal. Gambut basah dikeringka lewat drainase jejaring 4.000 km kanal. Gambut menjadi kering dan rentan terbakar. Sejak 1997 kebakaran terjadi setiap tahun  karena gambut kering yang kemudian dibersihkan untuk menjadi lahan perkebunan sawit atau pohon akasia untuk bubuk kertas.

Kondisi hutan yang rusak dan terlantar oleh Januminro dibeli dan dikelola dengan baik, sehingga menjadi hutan sekunder dengan berbagai potensi flora dan fauna di dalamnya.

Daniel merupakan salah seorang warga Desa Tumbang Nusa yang sudah sekitar lima bulan terakhir ikut bergabung di hutan gambut tanah ini. Daniel juga dipilih sebagai personil Tim Serbu Api (TSA).

Di bawah komando Pak Janu sapaan Januminro, Daniel bersama tiga rekannya dengan sigap mulai menyirami pohon yang belum dilahap si jago merah.

“Kami mulai menyirami pohon yang belum terbakar, agar bisa menghalangi api agar tidak menyeberang,” kata Pak Janu.

Teknik pemadaman api seperti ini dilakukan agar api tidak menjalar ke wilayah lain yang masih hijau dan lebih mudah dipadamkan. Agar pemadaman lebih efektif, ia, menuturkan umumnya pemadaman dilakukan pada malam hari.

Hasilnya pun cukup menggembirakan. Sekira lima hari bekerja, TSA dan warga sekitar bisa mempertahankan areal hutan seluas 10 hektare dari jilatan si jago merah sekitar Agustus   2015 saat kebakaran dahsyat di Kalimantan Tengah mulai terjadi.

Ketika lahan dan hutan gambut di sekitar Jumpun Pambelom rusak akibat kebakaran, hutan tanah milik ini, justru hijau dan asri berkat kerja keras Januminro bersama timnya.

TSA merupakan sebuah tim pemadam kebakaran yang dibentuk beranggotakan minimal lima orang. TSA bertugas memadamkan api saat kebakaran hutan dan lahan gambut terjadi. Untuk memadamkan api TSA memanfaatkan sumur bor yang sudah tersedia di Jumpun Pambelom.

Kerja Pak Janu dan warga untuk memadamkan api dengan fasilitas sumur bor tidak terjadi begitu saja. Upaya ini dimulai saat  Januminro   membuat kebun bibit di lahan seluas empat hektare milikinya.

“Untuk menyiram bibit, saya membuat sumur bor,” ujarnya.

Penambahan jumlah kebun bibit seiring dengan bertambahnya jumlah sumur bor di lahan milik Pak Janu dan warga Desa Tumbang Nusa dan Desa Taruna di Kabupaten Pulang Pisau.

“Saat ini kami memiliki sebanyak 89 unit sumur bor, baik yang berasal dari swadaya maupun bantuan UNDP dan bank BNI. Ada yang umurnya sudah 15 tahun tapi masih mengeluarkan air”, ucap penerima Kalpataru 2015 ini.

Sumur bor, menurut Pak Janu, cukup efektif mengatasi kebakaran gambut yang terjadi tahun 2015.

Kata dia, pembuatan sumur bor cukup terjangkau, karena biaya pembuatannya sekira Rp1,5 juta untuk satu unit. Sedangkan untuk mesin pompa sendiri masih membutuhkan anggaran Rp4 juta-Rp5 juta tergantung merk dan kapasitas pompa.

Pembuatan satu unit sumur bor di lahan gambut, tambahnya, menghabiskan waktu sekitar dua jam dengan kedalaman antara 16 hingga 25 meter. Sumur bor yang dibuat di lahan gambut memiliki umur yang cukup panjang dengan jumlah persediaan air lebih banyak.

 

“Jarak antara sumur bor itu sekitar 200 meter, 1 sumur bor maksimal bisa memadamkan api hingga radius 400 meter,” ungkap Janu.

Ia mengusulkan pembuatan sumur bor dalam jumlah banyak sebagai solusi untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan gambut yang rutin terjadi setiap tahun.

Dibandingkan dengan pembuatan kanal, sumur bor memiliki beberapa kelebihan diantaranya, pembuatan kanal bisa merusak permukaan gambut dan memungkinkan kandungan airnya berkurang bahkan habis saat musim kemarau sehingga rawan terbakar.

Sebaliknya, sumur bor tidak merusak permukaan dan persediaan air terjaga meskipun musim kemarau. Sebelum menggunakan sumur bor, Januminro bersama warga pernah memanfaatkan kanal untuk membantu proses pemadaman api dengan metode sekat kanal. Upaya itu ditinggalkan karena tidak efektif.  Saat dibutuhkan untuk memadamkan api saat musim kemarau, cadangan air di sekat kanal itu kering.

Ia menambahkan, untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan di lahan gambut, pembukaan lahan dengan cara membakar harus melalui tahapan izin dan pengawasan dari instansi terkait.

“Dulu waktu saya masih Kepala Dinas Kehutanan (Kabupaten Pulangpisau), saya sampaikan ke warga yang mau membuka lahan dengan cara membakar melapor kepada kami agar bisa diawasi sehingga tidak meluas ke lahan lain,” ungkap Kepala Badan Kesatuan Bangsa Kota Palangka Raya ini.

Published in ClimateReporter