Suwido H. Limin, Wakil Ketua Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah: “Kekuasaan MenyampingkanAdat, Berdampak Kehancuran Hutan”

Oleh Desi Safnita Saifan, Koresponden Kompas.com di Aceh dengan penugasan ke Palangkaraya
Maret 2014

 

SEPOTONG demi sepotong pernyataan keras mengalir deras dari mulutnya seibarat luapan Sungai Kahayan yang diguyur hujan semalaman. “REDD+ menimbulkan konflik secara vertikal dan horizontal, padahal nilai ekonomisnya sama sekali tidak ada,” tukas Suwido H. Limin, Wakil Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah.

Ia berang. Bagaimana tidak, strategi daerah terkait REDD+ sudah digodok sebelumnya, hasil dari rangkaian pertemuan banyak pihak yang diinisiasi oleh pemerintah daerah setempat. Namun, pemerintah pusat tidak menggubris, malah menyambut rangkaian program Kedutaan Norwegia untuk menggelontorkan bantuan percepatan program REDD+ khususnya di Kalimantan Tengah. Alhasil, hingga detik ini, Suwido belum melihat aksi menggigit dari program dimaksud.

Sosok lelaki yang akrab disapa Wido ini menyadari dirinya banyak dimusuhi orang, apalagi menyangkut hutan Kalimantan. Ia tak sungkan membeberkan apa saja yang diyakininya tidak berpihak kepada masyarakat. Baginya, jangan mempersulit yang tidak sulit alias sederhana, mengingat hutan merupakan rumah utama masyarakat Kalimantan khususnya Kalimantan Tengah.

 

Wido lahir di Desa Bawan, Kecamatan Banamatingang, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah, 24 Mei 1955. Putera Dayak ini menyelesaikan sekolahnya di Kalteng dan S1 di Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, dan S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB). Lantas, Negeri Sakura, Jepang, dipilihnya guna melanjutkan studi S2 dan S3 di Hokkaido. Di sana disertasinya tentang Pengelolaan dan Penyelamatan Gambut Tropikal, membawa banyak perubahan yang ia rasakan dalam menyimak saksama kondisi kekinian di kampung kelahirannya, Kalimantan.

Aktif mengajar sebagai dosen di Fakultas Pertanian, Universitas Palangkaraya (Unpar), Wido dikenal luas sebagai peneliti pada Centre for International Cooperation in Sustainable Management of Tropical Peatland (CIMTROP) di universitas terbesar di Kalimantan Tengah tersebut. Banyak tulisan telah ia hasilkan yang intinya mengajak seluruh elemen, baik masyarakat ataupun pemerintah untuk sama-sama menjaga kelestarian alam dan hutan Kalimantan. “Jangan tergiur oleh iming-iming bantuan uang, tetapi menjual harga diri kita sebagai orang Dayak,” kata bapak tiga putra ini menerangkan.

Jangan kaget, sedikit saja menyinggung hutan Kalimantan, libido lelaki ini langsung naik. Ia bangkit, mencak-mencak serta meraih beberapa buku, bahkan selembar surat yang katanya baru dua minggu lalu ia kirim ke Kedutaan Norwegia di Jakarta mengenai proyek REDD+ di Kalimantan Tengah.

Masih terkait hutan, kata dia, proyek REDD+ tak lebih hanya memperkaya pihak-pihak tertentu karena dihabiskan untuk perjalanan dinas, workshop dan kunjungan ke sana-sini. “Selebihnya, saya belum melihat ada aksi terkait penyelamatan hutan yang dilakukan, malah bumi kian rusak akibat kebijakan ini dan itu,” ungkap suami Ir. Agustina ini.

Sesaat ia menarik napas panjang,  sesekali ia bangkit mengambil brosur-brosur yang berhubungan dengan hasil penelitian yang dilakukannya, termasuk Strategi Daerah (Strada) yang telah ia susun bersama beberapa judul lain, terkait REDD+ di Kalteng.

“Lihat ini! Sudah kami buat, tapi seperti tak digubris pemerintah pusat. Kalau diprotes malah kami dianggap ancaman,” tambah Wido tinggi.

Selama ini diakuinya pihak REDD+ tidak pernah mengontak bahkan mengajak Dewan Adat Dayak sebagai perumus kegiatan mereka. Termasuk dipilihnya Kalteng sebagai proyek perintis REDD+ juga tidak melibatkan mereka dalam pertemuan,  baik sebelum atau sesudah proyek itu dijalankan. Padahal ia sebutkan, keberadaan Dewan Adat Dayak mewakili aspirasi masyarakat Kalteng secara keseluruhan yang seyogianya diakomodasi.

Lelaki yang tak rampung-rampung menyelesaikan bukunya tentang Perladangan Berpindah Suku Dayak, Kalimantan Tengah, ini mengaku ingat masa kecilnya yang gemar ikut ayahnya ke hutan. Padahal saat itu sang ayah berprofesi sebagai guru  yang tak mampu mengasapi dapur keluarga mereka. Alhasil, Wido kecil kerap ikut ke hutan membantu sang ayah menebang hutan untuk berbagai keperluan.

“Dulu pohon pun tak sembarang ditebang, diperhatikan, diteliti, cari petunjuk bahkan menunggu mimpi atau memberi sesaji baru kita bisa melakukannya. Saya juga tak lupa, pohon tertentu yang dianggap keramat juga tak bisa dilewati sembarangan, mesti mencari jalan alternatif agar tak melewatinya,” kenang lelaki yang hanya tidur enam jam selama sehari semalam itu.

Namun, hal-hal itu diabaikan oleh masyarakat saat ini seiring perkembangan zaman yang tak lagi ramah lingkungan. Hal itu yang pada akhirnya menggiring putra-putranya untuk mencintai hutan dengan menimba ilmu yang terkonsentrasi pada penyelamatan lingkungan.

Terbukti, dua dari tiga putranya kini mengenyam pendidikan S2 dan S3 di Hokkaido, Jepang, sama sepertinya dulu. Sedang si bungsu, Zevy Augrind Limin, ia percayakan mengambil studi di IPB, Bogor.

Published in ClimateReporter