Terjepit di Antara Lahan Sawit

Oleh Zaki Setiawan
Koresponden Koran Sindo di Batam dengan penugasan ke Sumatra Selatan

(Catatan penulis: “Antusias dengan waktu terbatas. Tugas liputan daerah ketiga (LDK), sebagai program Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), adalah tantangan tersendiri. Daerah yang belum pernah saya jamah membuat saya kian semangat memetakan isu wilayah. Dengan waktu efektif tiga hari, akhirnya saya menyelesaikan tugas liputan, meski di hari terakhir baru kembali dari daerah transmigran. Saya bersyukur mendapat kesempatan, menjadi salah seorang peserta LDK. Terutama saat hasil liputan mendapat tanggapan. Di sinilah saya semakin memahami kualitas tulisan, perubahan iklim, dan saling belajar dengan wartawan-wartawan pilihan.”)

Bulir-bulir padi tercecer di areal sawah tadah hujan. Di satu sudut petak sawah Desa Nusantara, Sumatra Selatan, Imam Sukilan menjumput segenggam padi belum tergiling di antara tumpukan jerami yang mulai mengering.

“Hasil padi panen senggang di desa ini cukup untuk memenuhi keperluan pangan warga desa selama setahun,” ujar Ketua Forum Petani Nusantara Bersatu (FPNB) ini dengan senyum mengembang. 

Panen senggang adalah panen kali kedua, berjarak sekira dua bulan setelah panen raya dari tanaman padi yang sama. Setiap tahunnya desa lumbung padi ini mampu menyumbang hingga 4.800 ton cadangan beras untuk Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Hasil panen Desa Nusantara, kini terancam alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit.

Desa Nusantara, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten OKI, jaraknya 50 kilometer selatan Kota Palembang. Untuk mencapai desa ini hanya bisa ditempuh melalui jalur sungai dari Jembatan Ampera selama tiga jam perjalanan.

Dari delapan belas desa/kelurahan di Kecamatan Air Sugihan, tinggal Desa Nusantara yang enggan menyerahkan 1.200 hektare lahan pertanian kepada sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Selatan Agro Makmur Lestari (SAML). Imam menilai bahwa pengalihfungsian lahan pertanian menjadi perkebunan kelapa sawit akan mengurangi tingkat kesuburan tanah.

Kelapa sawit merupakan tanaman rakus air, sehingga akan menjadikan lahan sekitar gersang dan  dapat membuat hasil panen tidak maksimal. Keberadaan tanaman kelapa sawit mengancam hilangnya lumbung padi di desa berpenduduk sekira  600 kepala keluarga ini.

PT SAML mendapatkan izin prinsip Bupati OKI nomor 460/1998/BPN/26-27/2005 pada 2005 dan Hak Guna Usaha (HGU) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten OKI pada 2009. Izin prinsip dan HGU ini menjadi dasar perusahaan perkebunan tersebut untuk mengelola lahan 42.000 hektare di Kabupaten OKI, termasuk di Kecamatan Air Sugihan dan Desa Nusantara sebagai perkebunan sawit. Warga yang bersedia menyerahkan lahannya, mendapat uang ganti Rp1 juta per hektare.

Enggan menyerahkan lahan yang dibuka warga sejak 1981 melalui program transmigrasi untuk dikelola perusahaan, bukan tanpa pertimbangan. Desa terdekat, Kerta Mukti contohnya, hasil produksi sawah tadah hujan jauh merosot karena lahan sekitarnya menjadi perkebunan sawit. Jika di Desa Nusantara mampu menghasilkan tiga hingga empat ton beras per hektare, di Desa Kerta Mukti tidak sampai setengah ton beras.

“Saat Desa Nusantara panen raya, delapan ribu buruh derep didatangkan dari Jawa, Lampung, Bengkulu dan desa terdekat, termasuk warga dari Kerta Mukti,” ujarnya.

Wakil Ketua FPNB, Agus Sutriyo, menambahkan bahwa proses panjang dilalui warga Desa Nusantara untuk mempertahankan lahan pertanian mereka dari alih fungsi lahan. Mulai dari penghadangan alat berat yang diturunkan perusahaan untuk membuka jalur –jalan  sungai buatan menuju lahan—demo, hingga melayangkan surat protes kepada bupati dan gubernur.

“Semua jalan untuk mempertahankan lahan pertanian ditempuh warga secara damai, meski akhirnya kami diintimidasi karena dituduh mengelola lahan bukan milik sendiri,” ungkapnya.

Pada 23 April 2012 Bupati OKI, Ishak Hekki, melalui surat laporan bernomor 0318/III/2012 kepada Gubernur Sumatra Selatan, menuangkan keputusan terkait penyelesaian sengketa lahan. Di antaranya memutuskan agar perusahaan untuk sementara menghentikan penggarapan lahan yang dipermasalahkan. Masyarakat Desa Nusantara juga dilarang menambah lahan ataupun memasang patok baru, sampai adanya kesepakatan baru kedua belah pihak.

Keputusan Bupati OKI membuat warga Desa Nusantara untuk sementara merasa lega. Sementara karena pihak perusahaan akan menempuh proses hukum atas lahan yang dialokasikan penggarapannya. Lega, sebab sawah belum menjadi lahan perkebunan yang dapat mengancam keberlangsungan Desa Nusantara sebagai lumbung padi dan warga hanya akan menjadi kuli di bekas lahan sendiri.

“Bahkan tidak menutup kemungkinan, bencana kelaparan kembali melanda. Sebagaimana pada 1982 hingga 1992, saat muntaber, kekeringan dan kemarau panjang hingga mengakibatkan tewasnya 18 jiwa di Desa Nusantara,” beber Agus.

Selain ancaman alih fungsi lahan, warga Desa Nusantara juga mulai mengkhawatirkan terjadinya perubahan iklim, ditandai bertambah panjangnya musim kemarau dan curah hujan semakin pendek. Perubahan ini berdampak pada pola tanam petani dan menurunnya hasil panen padi, dari sebelumnya mencapai 4.800 ton menjadi 3.416 ton pada Januari 2014.

Mengantisipasi terus menurunnya hasil panen padi akibat curah hujan yang pendek, FPNB berencana membuat irigasi yang mampu menyimpan dan melepas air, sehingga debit air hujan di persawahan mudah disesuaikan dengan keperluan tanaman.
“Meski curah hujan pendek, saat turun hujan deras sekali dan membuat sawah tergenang. Dengan adanya irigasi, air yang menggenang bisa dibuang,” ujarnya.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Selatan, Hadi Jatmiko, mengatakan obral izin atau eksploitasi lahan berbuntut masalah, tidak hanya terjadi di Desa Nusantara. Walhi mencatat ada kurang lebih 50 perusahaan dengan izin lahan bermasalah, diterbitkan pemerintah di lahan yang sudah dimanfaatkan masyarakat.

“Setiap pengalokasian izin lahan baru ke perusahaan, selalu terjadi benturan hingga sengketa dengan masyarakat setempat. Di sini Walhi berperan untuk melakukan advokasi,” ujarnya.

Dalam pengalokasian izin lahan bagi perusahaan, Hadi menjelaskan bahwa pemerintah seharusnya lebih berpihak pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan, sehingga tidak terjadi alih fungsi yang dapat mengganggu kualitas lingkungan dan keseimbangan alam, serta mampu meningkatkan kesejahteraan petani guna ketahanan pangan.

Izin yang diberikan kepada perusahaan atas kawasan hutan, menurut dia, banyak menimbulkan terjadi bencana longsor dan banjir serta kemiskinan bagi masyarakat sekitar.

“Ini tidak akan terjadi jika pemerintah memiliki komitmen yang tinggi pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan rakyat,” katanya menegaskan.

Kepala Bagian Pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten OKI, Suhaimi,  mengakui bahwa persoalan lahan di Desa Nusantara hingga saat ini belum tuntas. Penolakan warga atas lahan yang HGU-nya diberikan kepada PT SAML tersebut menjadi perhatian dan prioritas BPN untuk segera diselesaikan. Data BPN hingga September 2013 menunjukkan bahwa baru 19 dari 49 kasus pertanahan di Sumsel yang telah diselesaikan melalui pernyataan, mediasi, dan hukum.

“Lahan (PT SAML) itu sudah ber-HGU. Kami akan mengundang kembali para pihak untuk membahas penyelesaian sengketa lahan Desa Nusantara,” ujar Suhaimi yang mengaku baru enam bulan menjabat sebagai Kepala Bagian Pertanahan.

Manager Lapangan PT SAML, Supardi,  menjelaskan bahwa penyelesaian sengketa lahan antara perusahaan dan warga Desa Nusantara akan dilanjutkan kembali melalui mediasi. Mediasi yang akan difasilitasi pemerintah daerah ini akan dilaksanakan usai pemilihan umum legislatif.

Sama seperti dalam penguasaan lahan oleh perusahaan di desa lainnya, PT SAML juga akan menerapkan aturan main yang sama. Di antaranya mengalokasikan 6,5 persen dari luas lahan yang dikelola perusahaan untuk diserahkan dan dikelola oleh masyarakat.

“Lahan-lahan tersebut harus kita dapatkan karena kami (perusahaan) sudah mendapatkan izin prinsip dan HGU,” ujarnya.

Selain akan mengalokasikan 6,5 persen lahan kepada warga, perusahaan juga memberikan kesempatan pekerjaan bagi warga. Perusahaan siap menerima warga sebagai tenaga kerja tanpa diskriminasi.

“Kami terbuka kalau soal pekerjaan, tidak pilih-pilih,” tegasnya. (*)

 

Published in ClimateReporter