Terkikisnya Permadani Gambut Kerajaan Siak

Oleh Hardaningtyas, Wartawan Rajaampatpos.com, Sorong, Papua Barat, peserta MDK II (Meliput Daerah Ketiga), dengan penugasan ke Riau Agustus 2014

 

RASA penasaran tentang lahan gambut membuat langkah tak bisa terhenti begitu saja di Pekanbaru, Ibu Kota Provinsi Riau. Permadani gambut di Kabupaten Siak yang terkenal tingkat kedalaman dan terluas di dunia ini, seolah melambai meminta hendak dikunjungi untuk diketahui keberadaannya.
Siak, sebuah kabupaten kecil di sebelah timur Pekanbaru, dulunya merupakan sebuah kerajaan besar yang akhirnya tenggelam oleh masa dan peradaban modern.

Pemandangan ibu kota kabupaten terlihat asri dan bersih. Di sinilah permadani gambut tersimpan dan jadi rebutan. Beberapa pihak menyayangkan permadani Siak perlahan mulai terkikis habis hingga 70 persen dari seluruh kawasan hutan gambut, demikian ahli konsrvasi gambut di  Universitas Riau, Dr. Haris Gunawan.

Di atas tanah gambut  sebagian besar kini telah dipenuhi rimbunnya sawit  dan Hutan Tanam Industri (HTI). Perjalanan antara Pekanbaru dan Siak diwarnai kabut asap tipis, tetapi cukup menghalangi pandangan. Bila kabut pagi begitu menyegarkan paru-paru, berbeda dengan kabut asap di Riau yang menyesakkan dada.

Kabut itu berasal dari asap kebakaran hutan, bukan dari alam yang berkarya. Begitu juga saat perjalanan pulang, jarak pandang hanya 1 meter karena tertutup kabut yang tebal. Asap kebakaran hutan dan lahan gambut ini melepaskan gas karbon dioksida.

Pengumpulan gas karbon di atmosfir menghambat panas matahari untuk terpantul. Hal ini menyebabkan pemanasan global yang pada gilirannya mengakibtakan perubahaniklim dan ragam dampaknya.

“Untuk penyelamatan lahan gambut ini, kami sudah mencoba melakukan eksperimen di Bengkalis dan Bukitbatu. Tidak menutup kemungkinan, dalam waktu dekat kami akan mengadakan eksperimen di Siak,“ kata Direktur Pusat Studi Bencana dan Direktur Pusat Studi Gambut Tropis Universitas Riau, Dr. Haris Gunawan.

Ia bersama tim tengah melakukan penelitian kedalaman gambut di Siak yang diperkirakan mencapai 18–23 meter. Kata Haris,  jika dalam penelitian benar  kedalaman gambut di Siak  tersebut termasuk kategori terdalam di dunia.” Akan tetapi, sangat disayangkan lahan gambut di Siak sebagian besar sudah dirambah perusahaan sawit dan HTI. Itulah mengapa ada beberapa dampak lingkungan akibat menipisnya lahan gambut. Seperti pencemaran air sungai dan kebakaran hutan,“ bebernya.

Saat ini dibantu oleh para mahasiswa Universitas Riau dan mahasiswa Jepang, Haris tengah melakukan eksperimen. Kata dia, untuk melembabkan kembali lahan gambut yang telah kering dan rusak maka kanal di sepanjang pinggiran pohon sawit disekat.

Permukaan air naik dan air ini diserap lahan kiri-kanan kanal. Lahan menjadi lembab karenanya dan mampu memulihkan gambut. Semula jejaring kanal dibangun untuk mengeringkan gambut yang kaya air. Gambut dikeringkan dan  dibakar investor supaya lahan beralih menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pemulihan gambut dengan kandungan air  ini dilakukan sebagai pengaman terhadap kebakaran hutan lahan gambut. Riau dilanda kebakaran besar-besaran Februari –Maret 2014 karena niat beberapa pihak mngkonversi gambut menjadi perkebunan sawit dan pohon akasia dengan pembakaran gambut.

Haris mengatakan bahwa lahan yang dijadikan eskperimen sekat kanal itu berada di Bukitbatu dan Bengkalis. “Untuk sementara ini lahan sawit yang dijadikan eksperimen seluas 2 hektare. Tidak menutup kemungkinan tahun ini akan meningkat hingga 60 hektare. Lahan eksperimen ini semuanya menggunakan perkebunan sawit masyarakat, bukan perkebunan sawit yang dimiliki oleh perusahaan, “ tandasnya.

Dalam melaksanakan program penyelamatan permadani gambut di Siak, saat ini masih dilakukan penelitian tingkat kedalaman dan kerusakan gambut. Setelah bisa diprediksi berapa tingkat kedalamannya, maka akan dilakukan eskperimen penyelamatan lahan seperti di Bengkalis.

Kepedulian Haris untuk menyelamatkan kawasan gambut di Kabupaten Siak dan Bengkalis mendapatkan dukungan yang besar dari perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) Sinar Mas. Dukungan itu berbentuk program yang dilakukan PT Sinar Mas perusahaan kertas dan pulp untuk menggunakan 30% kawasan gambut yang dikelola perusahaan sebagai kawasan cagar biosfer Giam Siak Kecil yang berada di Bukitbatu.

Alam menjadi saksi bisu, cagar biosfer tersebut paling tidak mampu menjaga ekosistem flora fauna kawasan gambut yang kian hari semakin punah.

Dari pengakuan Nurul Huda, manager Viar Sinar Mas didampimgi Yuyu Arlan, manager konservasi cagar biosfer, cagar biosfer Giam Siak Kecil itu  seluas 700.000 hektare.

“Perusahaan HTI sangat peduli menyelamatkan kawasan gambut sebab bila kawasan gambut digunakan secara sembarangan tanpa dikontrol maka akan berdampak pada lingkungan sekitarnya. Gambut akan semakin terkikis habis dan flora fauna seperti beberapa spesies burung, ikan, buaya, dan lain-lain khas penghuni hutan gambut sudah punah,“ beber Nurul Huda.

Ia juga menjelaskan ada pembagian tiga zona dalam pengelolaan cagar alam biosfer Giam Siak Kecil ini. Tiga zona yang dimaksud adalah zona inti yang pengelolaannya langsung diawasi oleh balai konservasi Kementerian Kehutanan, zona penyangga diawasi oleh perusahaan Sinar Mas dan zona transisi, kawasan di luar cagar alam yang pengawasannya dilakukan oleh masyarakat adat setempat.

Dalam kawasan hutan konservasi cagar alam biosfer ini, perusahaan juga melakukan penanaman kembali tanaman hutan selain akasia dan tanaman HTI lainnya. Gunanya untuk menyeimbangkan kawasan cagar alam biosfer tersebut. Selain itu, masyarakat sekitar cagar alam dan kawasan HTI juga diajak untuk turut serta dalam penyelamatan cagar alam biosfer.

Bukan hanya di Siak, di Kabupaten Kerinci pun demikian. Kerinci yang juga kawasan lahan gambut, saat ini juga gencar menyelamatkan dan melindungi flora fauna hutan gambut. Khususnya di Kerinci, sudah dibentuk Taman Nasional Tesso Nilo yang di dalamnya terdapat habitat gajah yang cukup terlatih untuk membantu menghela gajah liar.

Menurut Eni Aini, Kabid Pengawasan Konservasi tersebut, dalam rangka menjaga kawasan taman nasional ini, mereka bekerja sama dengan perusahaan HTI yang beroperasi dan berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo.

Dengan adanya komitmen yang dilakukan perusahaan maupun lembaga yang peduli akan lingkungan secara otomatis permadani gambut di Siak akan tetap tebal. Seperti permadani sang raja yang hidup pada masanya, dan kini tinggal kenangan yang terpangkas oleh kerontangnya lahan yang kerap kali mengalami kebakaran.

(Catatan penulis; Pekanbaru, Riau, tak pernah kusangka bisa menginjak bumi gambut yang memanas ini sebelumnya. Di sini kutemukan persaudaraan yang tulus dari orang-orang yang berhasil ditemui. Bukan hanya itu, sepenggal pengalaman menulis perubahan iklim dan pengalaman menyusuri lahan gambut yang telah menjadi perkebunan sawit,menjadi sebuah catatan tersendiri yang tidak bisa dilupakan. Ditambah dengan sobat dari Pekanbaru yang kebetulan bertukar dikirim ke Sorong. Saling menjajaki untuk menambah wawasan dan silahturahmi.

Saya merasa bangga bisa mengikuti MDK II peliputan perubahan iklim yang dikirim ke beberapa daerah ketiga. Dengan mengikuti kegiatan ini, saya bisa mendapat pengalaman baru dan tali persaudaraan yang akan tetap kami junjung walau telah kembali ke daerah masing-masing. Peserta MDK II, jalinan silahturahmimu tak lekang oleh jarak dan waktu. Terimakasih untuk LPDS yang telah mengundang kami untuk turut serta dalam kegiatan ini.)

 

Published in ClimateReporter