Mencari Jati Diri Masyarakat Adat Papua

Oleh Rachmat Hidayat, LKBN ANTARA, Palangkaraya, peserta MDK II (Meliput Daerah Ketiga) dengan penugasan ke Papua Agustus 2014

“MASYARAKAT asli Papua hanya bisa protes dan kemudian diam,” kata Ketua Pemerintahan Dewan Adat Papua Sayid Fadhal Alhamid membuka pembicaraan terkait kondisi hutan yang mulai rusak akibat maraknya kegiatan perusahaan pertambangan dan perkebunan.

Keterbukaan investasi sangat penting untuk meningkatkan pembangunan dan perekonomian masyartakat khususnya daerah yang kaya akan sumber daya alam. Provinsi Papua merupakan sebuah daerah yang memiliki sumber daya alam melimpah namun juga banyak konflik yang terjadi di dalamnya, salah satunya adalah tuntutan pengakuan hak-hak masyarakat adat yang selama ini merasa seperti tidak diakui keberadaannya oleh pemerintah.

Ribuan mata bangsa asing banyak melirik provinsi yang kaya akan sumber daya alam, namun karena keterbukaan investasi tersebut masyarakat adat Papua harus membayar mahal mengingat hutan lebat menjadi gundul, kerusakan hutan terjadi secara besar-besaran oleh aktifitas perusahaan-perusahaan ketika melaksanakan pembukaan lahan untuk kegiatan pertambangan atau perkebunan.

Konflik terjadi diakibatkan maraknya pengrusakan lingkungan di hutan-hutan Papua yang diakui masyarakat setempat adalah hutan adat milik nenek moyangnya. Masyarakat adat yang selama ini hidup bergantung dengan sumber daya alam disana sekarang hidupnya merasa diasingkan, dimarjinalkan, karena aktifitas bangsa asing dalam mengeksploitasi kekayaan alam provinsi paling Timur di Indonesia itu.

Masyarakat adat Papua saat ini merasa harus mencari jati diri kembali, sehingga banyak berbagai pemikiran yang juga dicampuri dengan kepentingan tertentu membuat perpecahan di dalam masyarakat adat itu sendiri. Tidak salah ketika ada sebagian rakyat Papua yang ingin provinsinya merdeka dan melepaskan diri dari Indonesia karena tidak ada lagi kepercayaan terhadap pemerintahnya. 

Ketua Pemerintahan Dewan Adat Papua Sayid Fadhal Alhamid menilai permasalahan kerusakkan lingkungan di Papua akibat kesalahan dari pemerintah sendiri yang dengan mudahnya memberikan perizinan kepada investor bahkan tanpa memperhatikan keberadaan masyarakat adat.

“Selama ini masyarakat asli Papua hanya bisa protes dan kemudian diam ketika melihat hutan adat yang merupakan hak ulayat mereka dihancur, dibabat oleh perusahaan tanpa memberikan kompensasi yang layak,” ucap Fadhal.

Lucunya ungkap Fadhal, ketika kerusakan lingkungan sudah terjadi dimana-mana dan mengancam kehidupan umat manusia, khususnya terkait dengan isu perubahan iklim yang terjadi akibat deforestasi dan degradasi hutan, pemerintah mulai melakukan kampanye peduli lingkungan dengan berbagai program.

Didirikannya Dewan Adat Papua sendiri salah satu pemicunya adalah ingin menjaga hak-hak adat dan melestarikan hutan yang merupakan tempat bergantung hidup masyarakat asli Papua. Masyarakat setempat sudah terbiasa dengan berburu dan memanfaatkan hasil hutan demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Fadhal bersama dengan anggota Dewan Adat Papua lain menilai apabila pemerintah ingin serius memperbaiki dan melestarikan hutan atau alam, akui dulu hak ulayat atas tanah masyarakat adat.

“Selama ini hak ulayat atas tanah adat milik rakyat Papua seperti tidak pernah diakui oleh pemerintah, karena ketika perusahaan melakukan pembukaan lahan warga tidak pernah mendapatkan kompensasi atas itu. Ketika warga mulai melakukan aksi baru ada perhatian dari perusahaan, dan nilai yang diberikan sangat tidak sebanding dengan kerugian yang didapat,” ungkap Fadhal.

Papua sendiri saat ini sebetulnya memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang hak-hak ulayat dan tanah adat, namun dia menilai pemerintah daerah setempat tidak dapat mengimplementasikannya dengan benar. Peraturan Gubernur, Peraturan Wali Kota atau Bupati yang seharusnya menjadi pentunjuk teknis atas peraturan daerah tersebut juga tidak pernah dibuat.

Senada dengan pernyataan Dewan Adat Papua, Ketua Forum Peduli Port Numbay Green, Andre Liem merasa kondisi warga Papua hanya bisa menerima dan melihat ketika lingkungan adatnya dirusak dan dibabat habis oleh perusahaan tanpa mendapatkan kompensasi apabila tidak membuat kisruh situasi terlebih dahulu.

Kerusakan lingkungan akibat terjadinya eksploitasi sumber daya alam tersebut juga membawa dampak gesekan-gesekan sosial antara suku satu dengan suku yang lain.

Akibat tidak ada lagi pengakuan atas tanah adat dan hak ulayat, akhirnya semua orang memiliki kepentingan sendiri-sendiri dengan menggunakan berbagai macam cara untuk dapat merasakan hasil dari investasi yang ada yang sifatnya demi kepentingan kelompok bukan kepentingan bersama suku asli daerah itu.

“Masyarakat asli yang seharusnya mendapatkan keuntungan tiba-tiba termarjinalkan karena seiring waktu banyaknya pendatang dari luar yang juga ingin mendapatkan keuntungan atas keberadaan perusahaan di daerah tersebut,” jelas Andre.

Semakin bertambahnya kegiatan pengrusakan sumber daya alam tersebut juga berdampak penindasan terhadap warga suku asli yang seharusnya memiliki tanah adat atau hak ulayat itu.

Salah satunya ketika masyarakat berbicara dan melakukan aksi terhadap perusahaan, dengan mudahnya para pengusaha tersebut membayar preman atau aparat untuk mengintimidasi para warga suku asli yang kemudiam diam tidak berkutik.

Karena permasalahan-permasalahan itu masyarakat sendiri akhirnya merasa bahwa pemerintah tidak pernah memperhatikan bagaimana akibat dari pengrusakan lingkungan tersebut membawa dampak-dampak negatif untuk warga suku asli Papua.

Berkenaan dengan permasalahan perubahan iklim, warga Papua tentu saja siap untuk menjaga dan melestarikan hutan sepanjang Negara atau pemerintah mengakui hak-hak ulayat atas tanas adat dari masyarakat itu sendiri.

Selama ini pemerintah tidak bisa memberikan jaminan atau pengakuan atas hak ulayat suku asli Papua, sehingga ia menilai kerusakan lingkungan itu terjadi karena ulah dari pemerintah sendiri yang selama ini kurang perduli terhadap aktifitas yang dilakukan oleh investor.

“Masyarakat adat selama ini selalu berjuang sendiri untuk memperjuangkan atas hak-hak ulayat mereka, pemerintah seakan-akan hanya setengah hati membantu mengatasi masalah tersebut,” ujarnya.

Masyarakat pedalaman yang tergabung dalam Forum Peduli Port Numbay Green selama ini selalu mendorong pemerintah untuk dapat mengeluarkan sebuah aturan tegas terkait dengan pengakuan hak ulayat dan tanah adat.

Program pemerintah seperti penanaman satu miliar pohon tersebut tidak akan terlihat hasilnya apabila perizinan untuk perkebunan dan pertambangan juga tetap diterbitkan yang kemudian perusahaan tetap melaksanakan perusakan lingkungan.

Solusi bagaimana cara melestarikan hutan di Papua saat ini adalah pemerintah harus memberikan serta mengakui hak-hak ulayat dan tanah adat untuk suku asli yang ada.

Kemudian tidak menerbitkan lagi perizinan pertambangan dan perkebunan, cabut perizinan yang sudah mati dan sampai sekarang tidak melaksanakan aktifitas.

“Sudah saatnya pemerintah bertindak tegas terhadap para investor, dan jangan mudah memberikan perizinan. Lakukan penertiban dan denda semua perusahaan yang tidak melaksanakan reklamasi pertambangan karena hal itu sudah diatur undang-undang,” jelas Andre.

Pemerintah apabila rakyat jelata yang melakukan kesalahan selalu menindak tegas dengan efek jera yang luar biasa, namun berbanding terbalik ketika perusahaan yang melakukan pelanggaran seakan-akan paratur negara ini hanya tutup mata.

Perhatikan berbagai macam konflik yang terjadi di kawasan PT Freeport, tidak hanya masyarakat adat yang kehilangan hak ulayatnya bahkan sampai merenggut nyawa yang jumlahnya tidak sedikit. Sebetulnya itu baru sedikit yang terpublikasi, masih banyak masalah di perusahaan perkebunan atau pertambangan lain namun tidak mencuat ke tingkat nasional.

“Sekarang saatnya pemerintah mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk dapat menjaga dan mengelola lingkungan demi kepentingan universal, tidak hanya suku tertentu dalam mencegah terjadinya perubahan iklim di muka bumi,” demikian Andre Liem mengutarakan harapannya.*

 

(Catatan penulis: Pengalaman adalah ilmu yang paling berharga. Melalui lokakarya Meliput Daerah Ketiga yang diselenggarakan LPDS saya diberikan pengalaman luar biasa dalam menggali dan mengolah informasi menjadi sebuah karya jurnalistik. Khususnya berkaitan dengan isu perubahan iklim, selain mendapatkan pengetahuan baru saya juga mendapatkan sembilan sahabat dari Aceh sampai Papua.

Lokakarya yang langsung menerjunkan peserta ke daerah tidak pernah terbayangkan tersebut merupakan sebuah terobosan luar biasa dilakukan LPDS untuk memberikan dan meningkatkan kemampuan insting seorang jurnalis dalam menggali serta mencari informasi.

Saya berharap lokakarya terus berlanjut, karena masih banyak kawan-kawan daerah yang memerlukan agar dapat mendapatkan pengalaman tidak terlupakan sepanjang hidupnya.)

Published in ClimateReporter