Makassar (Fajar) – Seorang wartawan wajib memiliki kompetensi. Tanggung jawab informasi dan komunikasi massa berada di pundak wartawan. Apa dan bagaimana sistem kompetensi seorang wartawan? Simak wawancara reporter FAJAR Rosmini Hamid dengan Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Priyambodo RH, Rabu, 16 Maret!
Sebenarnya bagaimana wartawan harus menjalani prosesinya?
Dasar hukumnya ada pada UUD 45 pasal 28 F. Untuk jadi wartawan siapa saja bisa, melalui media apa pun, sarana apa pun. Silakan saja, siapa pun bisa jadi wartawan. Ketika ada seseorang yang mampu mengolah data dan fakta menjadi informasi yang bisa dipertanggungjawakan ke publik, maka dia wartawan.
Nah kemudian yang dipertanyakan biasanya wartawan itu bagaimana? Sebab media massa dan wartawan itu tanggung jawabnya pada publik. Dalam menjalani profesi kewartawanan setiap orang harus memiliki standar kompetensi.
Sebab nantinya akan tersaring secara alami oleh publik, mana wartawan kompoten dan tidak kompoten. Ini sudah menjadi pembicaraan sejak 2007 lalu. Nah inilah yang kami urus di LPDS, bagaimana melahirkan wartawan kompoten. Yang memiliki sertifikat lulus uji kompetensi.
Apakah semua wartawan harus melalui tahapan uji kompetensi?
Seharusnya demikian, sebab ini menyangkut kualitas dan tanggung jawab. Namun itu kembali pada pribadi dan juga perusahaan media masing-masing. Tidak ada sanksi secara hukum. Yang ada nantinya sanksi moral dari publik.
Sekarang masyarakat semakin cerdas, maka wartawan pun harus cerdas. Karena tanggung jawab wartawan pada publik. Jangan heran bila suatu saat ada nara sumber yang tidak mau diwawancarai karena dia tahu wartawannya tidak kompoten.
Lalu bagaimana memperoleh label kompeten bagi seorang wartawan?
Ada banyak pintu untuk mendapatkan sertifikat lulus uji kompetensi. Perusahaan pers tempat seorang wartawan bekerja harus memiliki akta notaris dan pengakuan dari Kementerian Hukum dan HAM. Redaksinya sudah memiliki sistem dan manajemen yang jelas. Utamanya memiliki litbang.
Kedua, organisasi profesi yang sudah lulus uji verifikasi. Saat ini di Indonesia baru tiga organisasi yang diketahui dewan pers, yakni Perhimpunan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). Pintu ketiga bisa melalui lembaga uji kompetensi seperti LPDS.
Pembekalan seperti apa yang mesti didapatkan seorang wartawan sebelum mengikuti tes lulus uji kompetensi?
Tidak ada standar baku. Untuk tahap awal menuju kompotensi, setiap organisasi pers tersebut telah diterapkan pelatihan kewartawanan, safari jurnalistik, bahkan ada pengujian calon anggota muda dan anggota biasa.
Komunitas pers kita juga mesti mawas diri. Apalagi konon katanya setelah reformasi, pers kebablasan. Sebetulnya bukan pers kebablasan, tetapi jangan-jangan ada pihak tertentu yang belum siap dengan kemerdekaan pers karena takut terganggu.
Kalau saya melihat ada dua kelompok yang paling sering mengadu pada pers dan palig sering ke dewan pers. Itu kelompok pengusaha dan penguasa, karena dia merasa punya power. Mereka merasa paling cepat terganggu atau kalau saya pakai istilah kupingnya terlalu tipis. Jadi mereka cepat tersinggung, mereka sering kali mengucap itu pers kebablasan, padahal kan ada hak jawab.
Apakah setiap wartawan yang mengikuti tes uji kompetensi harus memiliki strata pendidikan?
Standar kompetensi wartawan tidak pernah menyebutkan bahwa mereka harus strata satu dan sebagainya. Bebas. Sebab menjadi wartawan itu hak asasi. Tetapi dia harus terlatih untuk melakukan pekerjaan rutinnya. Untuk itu ada namanya jenjang kewartawanan.
Tahapan tesnya berlangsung secara alami. Bila seseorang itu memang memiliki keterampilan mengolah data dan fakta menjadi informasi yang penting bagi publik, maka dia bertahan. Namun jenjang pada profesi kewartanan itu tidaklah baku.
Prinsipnya yang kita tanaman pada masyarakat pers adalah fungsinya, bukan struktural. Bukan berarti kalau seorang wartawan sudah pada level redaktur atau pemimpin redaksi adalah wartawan senior atau utama. Belum tentu. Jangan-jangan wartawan yang masih di lapangan pun memiliki kemampuan senioritas yang tinggi.
Label madya dan utama tidak masalah. Yang penting dia tahu fungsinya. Kalau dia wartawan muda kegiatannya sehari-hari hanya sekadar meliput. Kalau dia wartawan madya dia sudah mulai mengoordinasi rekan kerjanya, buat perencanaan, dan sudah punya anak buah. Kalau wartawan utama dia sudah bisa mengambil kebijakan.
Bila demikian, seluruh wartawan pada jenjang apa saja bisa mendapatkan sertifikat lulus uji kompetensi?
Iya. Peserta uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat bisa diikuti semua lapisan wartawan di level apa saja. Negara yang cerdas membutuhkan wartawan yang cerdas dan media yang cerdas. Sebab media adalah perwakilan suara rakyat, suara publik.
Berbicara soal data, berapa banyak wartawan yang ada di Indonesia dan belum memiliki kompetensi?
Totalnya dari tiga organisasi pers yang ada sekitar 40 ribuan wartawan yang diakui sah di Indonesia dan belum mengikuti tes lulus uji kompotensi. Ini saya mengutip data Dewan Pers. Angka ini belum termasuk puluhan ribu wartawan yang berada dalam lembaga yang belum diketahui Dewan Pers dan tidak memiliki perusahaan yang jelas.
Inilah yang kami usahan, makanya kami terus melakukan sosialisasi tes uji kompetensi wartawan. Baik melalui dewan pers, LPDS, maupun di beberapa media massa dan organisasi pers lainnya. (mimi.naval@gmail.com)
Sumber: www.fajar.co.id / Jumat, 18 Maret 2011 | 22:42:39 WITA
http://www.fajar.co.id/read-20110317224239-wartawan-harus-memiliki-standar-kompetensi
Published in