Transkrip Seri Lokakarya Media Massa Hari Pertama, 21 Juli 2010
“Bahasa Jurnalistik: Menghindari Perkembangan Akronim dan Singkatan“
SESI PRESENTASI
Anton M. Moeliono (Pembicara):
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Salam sejahtera. Titik. “Salam sejahtera” jangan dikatakan “untuk kita semua.” Sebab, “salam sejahtera” itu untuk orang lain, bukan kepada diri kita. Ini kesalahan. Bagaimana kita mau menyalami diri kita sendiri? Ini bukan kritik terhadap pendahulu saya, tapi marilah kita beri teladan bagaimana kita memakai bahasa dengan bernalar. Bernalar itu ciri khas manusia jika dibandingkan secara biologis dengan hewan. Hewan tidak bernalar.
Manusia yang istimewa adalah wartawan, insan pers. Mengapa saya sebut manusia istimewa? Karena pengaruhnya luar biasa terhadap perkembangan dan pemakaian bahasa.
Pokok singkatan atau akronim sangat teknis, dan itu akan diuraikan nanti secara mendalam. Saya ingin lebih ke umum, agar kita memahami mengapa singkatan atau akronim di Indonesia membanjiri kosa kata bahasa Indonesia.
Kita tahu—dan itu saya kemukakan di dalam ringkasan ceramah saya—bahwa bahasa merupakan ungkapan dan cerminan kehidupan budaya dalam arti yang luas. Dapat juga dikatakan bahwa perubahan bahasa mencerminkan perubahan budaya dalam berbagai segi. Bahasa memberikan gambaran orang yang memakai bahasa itu. Karena orang Indonesia tidak terlalu mementingkan ketepatan waktu maka ada ungkapan “jam karet.” Bagi kita jangka waktu itu tidak linier. Time is money tidak berlaku. Kita ini bangsa petani, bangsa agraria, berfilsafat dan mengambil kesimpulan: waktu itu ada di musim hujan, musim
kemarau. Oleh karena kita bersikap budaya bahwa waktu tidak penting menjadi masa lampau, masa kini, dan masa akan datang, maka kita tidak mengenal tenses. Bagi kita, apakah makan itu kemarin atau besok, tetap makan. Itu bukan berarti saya tidak bisa membedakan makan kemarin dan makan yang akan datang tetapi tidak perlu diungkapkan secara bahasa perbedaan makan kemarin dan makan besok. Berbeda dengan bahasa inggris: I eat; I have eaten; I will eat. Itu contoh bagaimana bahasa merupakan cerminan atau gambaran dari budaya.
Saya usulkan agar kita selanjutnya berbicara tentang budaya, sedangkan kebudayaan adalah abstraksi, sebagaimana kita berbicara tentang bangsa dan abstraksinya “kebangsaan,” sebagaimana kita berbicara tentang masyarakat dan kemasyarakatan. Ini saja sudah menjadi contoh yang baik bagaimana wartawan atau media dapat mendidik, ikut mencerdaskan kehidupan masyarakat. Mengapa diperlukan pencerdasan masyarakat?
Jika kita menaruh kepedulian terhadap bangsa kita, kita amat prihatin melihat bagaimana bangsa Indonesia—walaupun ada reformasi, walaupun ada Presiden SBY, walaupun ada Anies Baswedan—kita majunya tertatih-tatih. Sedangkan jika kita lihat bangsa yang serumpun atau sebenua, ambil Malaysia, Singapura, Korea Selatan, maka ada sebabnya mengapa kita ini tidak maju-maju. Itu disebabkan oleh tidak berkembangnya, tidak bertambah cerdasnya SDM (sumber daya manusia).
Mungkin hal ini perlu dikemukakan dalam karangan-karangan Anda bahwa mutu SDM Indonesia sangat menyedihkan. Ada keniraksaraan yang sekarang masih disebut kebutahurufan—sebenarnya tidak buta terhadap huruf tapi tidak mengenal atau tidak punya aksara. Kelebihan niraksara itu ialah bahwa orang yang niraksara disebut niraksarawan. Orang yang buta huruf mau disebut apa? Butahurufwan atau pembutahuruf? Di dalam pemakaian bahasa hendaknya kita ikuti suatu sistem yang teratur. Kita tidak sadar bahwa bahasa makin teratur makin mudah dipelajari. Jadi, tidak menguntungkan jika kita masih percaya pada mitos bahwa awalan “ter” misalnya mempunyai arti “sudah”, “terkena”, “tidak sengaja”, dan sebagainya. Bagaimana orang dapat mempelajari bahasa Indonesia jika awalan “ter” ada contoh “sampai tertolak”. Kalau nanti peserta di sini ada yang pergi ke Bandung dan sampai di Bandung mengatakan “saya kemarin terbandung pukul 10,” tentu itu sudah tidak dapat diterapkan.
Saya sebenarnya ingin menempatkan akronim sebagai akibat dari sikap bahasa, khususnya sikap bahasa Indonesia. Sebentar lagi perlu ada catatan latar belakang SDM Indonesia. Dalam Sensus Penduduk 1990, bahasa Indonesia dipakai sebagai bahasa sehari-hari hanya oleh 15 persen penduduk—itu didapat sebagai angka BPS (Badan Pusat Statistik). Dua puluh tahun kemudian diperkirakan hanya 18 persen bangsa Indonesia memakai bahasa Indonesia sehari-hari. Saya kira akibatnya, jika orang berpendapat bahwa kemajuan perkembangan bahasa janganlah diserahkan kepada Pusat Bahasa tapi biarlah masyarakat yang menentukan, masyarakat yang mana yang harus menentukan kemajuan bahasa Indonesia? Apakah yang 18 persen? Lalu, yang paham bahasa Indonesia tetapi tidak memakainya sebagai bahasa sehari-hari itu 75 persen. Sedangkan yang tak paham bahasa Indonesia masih 13 persen. Jadi, alangkah baiknya jika angka-angka ini dimasyarakatkan. Wartawan harus jadi guru masyarakat. Saya senang jika wartawan dijuluki pencerah masyarakat.
Ciri khas SDM itu antara lain digambarkan oleh taraf pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari. Yang mengenal huruf Latin sekarang diperkirakan 80 persen. Dua persen belum mengenal aksara lain (lebih tepat dipakai istilah “aksara” daripada “huruf”. Karena, “aksara” sudah mencakup “huruf”, tapi “huruf” tidak mencakupi “aksara”. Sedangkan keniraksaraan—walaupun ada birokrat di Kementerian Pendidikan Nasional yang berani mengatakan kita sudah lepas dari keniraksaraan—ternyata di dalam sensus masih ada tiga belas persen yang tidak dapat membaca atau menulis. 13 persen dari katakanlah 200 juta orang Indonesia berarti masih ada 30 juta yang hidup tanpa
kemampuan membaca atau menulis. Tidak dapat membaca atau menulis berarti tidak dapat memperoleh informasi tambahan yang bermanfaat untuk kemajuan sendiri sehingga segala-galanya harus dipercayainya.
Itulah yang melambangkan proses kemajuan bangsa kita ini. Kita ribut tentang masalah yang bukan-bukan. Korupsi hanya satu waktu didengungkan. Sekarang (masalah bank) Century hilang begitu saja. Siaran porno diheboh-hebohkan. Setiap hari ada siaran, ada artikel tentang porno, seakan-akan perbuatan yang mereka lakukan itu tidak pernah kita lakukan sendiri di ranjang (dan harus dibuktikan bahwa mereka memang berniat perbuatannya itu hendak dibuat untuk disiarkan. Kan tidak bisa dibuktikan bahwa perbuatan itu khusus dikerjakan untuk disiarkan). Seakan-akan dengan demikian hidup harus dihentikan dan lalu kita siang malam disuguhi, apalagi oleh media elektronik, tentang video porno itu. Atau kita diributkan karena kiblat berubah beberapa derajat. Apakah dengan demikian shalat kita itu tidak akan diterima oleh Yang Maha Kuasa kalau sedikit berubah daripada yang asli? Kita tidak maju-maju karena kita tidak diajarkan bernalar.
Sekarang tentang kemajuan perkembangan jiwa kita. Masyarakat harus disadarkan setiap hari—bukan karena pesohor ini berselingkuh dengan pesohor itu, atau kawin lagi, atau mempunyai anak haram. Saya berpikir-pikir, saya hidup dalam masyarakat yang dipenuhi dengan banyak barang yang kotor, terbelakang, tidak menguntungkan. Untung sekali media cetak tidak separah media elektronik. Tetapi, apakah manfaatnya kalau yang digambarkan hanya banjir, tanah longsor, kereta api keluar dari rel? Apakah hidup di Indonesia hanya terdiri atas kenestapaan dan kesengsaraan hidup saja? Lalu ada siaran berisik-berisik tentang selebritas. Biarkan. Tetapi apakah itu harus menjadi pengetahuan bagi kita semua maka kita menjadi manusia yang lebih baik? Sudah pernah dihitung, berapa banyak stasiun televisi Indonesia yang meracuni masyarakat dengan informasi yang tidak baik?
Kita berbangga-bangga bahwa kita ini masyarakat yang majemuk, harus memberi penghormatan kepada budaya daerah, dan sebagainya.
Tetapi, apakah kita pernah memikirkan bagaimana memprioritaskan persatuan budaya? Dengan berpecah-pecah kita akan mempertahankan ikatan emosional kita pada budaya daerah yang lebih kuat, kental, daripada ikatan emosional kita pada keindonesiaan. Buktinya begini: jika saya bertanya kepada Anda, laki-laki atau perempuan, pernahkah Anda menjadi anak Batak? Bangga menjadi anak Sunda? Jawabnya: Tentu saja. Saya asli Batak, Sunda, atau Minang. Sekarang Anda bangga tidak menjadi orang Indonesia? Pikir-pikir dulu.
Tidak bangga terhadap bangsa Indonesia imbasnya juga terhadap bahasa Indonesia. Saya yakin, peningkatan taraf SDM itu lewat bahasa yang menentukan dan ditentukan oleh media pers. Saya tidak sependapat ada mitos yang mengatakan “bahasa koran merusak bahasa.” Apanya yang dirusak? Bahwa wartawan perlu memelihara kepandaiannya berbahasa, itu benar. Saya kira tidak merusak, tetapi memberi alternatif yang keliru. Nanti kita tunjukkan beberapa hal yang dapat diperbaiki.
Indonesia walaupun disebut negara demokrasi, mungkin lebih tepat menyatakan bahwa Indonesia itu negara birokrasi. Sebab, walaupun gaji PNS tidak seberapa, yang menyebabkan banyak korupsi di antara birokrasi, ternyata PNS yang lulusan sekolah dasar 14 persen. Itu saya jabarkan dari sensus 1990. Yang lulus SLTP 10 persen. Yang banyak itu SLTA: 58 persen. Jadi, kita punya orang-orang yang terkembang, terpelajar, berpengalaman, diatur oleh birokrat yang pada umumnya hanya lulus sekolah menengah atas—dan karena birokrasi, maka mereka yang paling berkuasa. Yang sarjana muda 10 persen dan yang lulus universitas 8 persen. Jadi, jika anda kebetulan menjadi sarjana, bisa menempatkan gelar di belakang, di muka, atau di tengah, itu berarti Anda terpilih. Tetapi apa artinya 8 persen?
Presiden Obama menjanjikan dalam kampanye pemilihannya akan berusaha dalam kepresidenannya agar semua warga negara Amerika Serikat diberi peluang sampai akhir pendidikan. Semuanya sarjana muda. Di Indonesia, siapa yang dalam kampanyenya mencoba untuk menjanjikan agar semua rakyat Indonesia sekurang-kurangnya menjadi
lulusan SLTA? Tujuh puluh persen dari penduduk kita hanya berijazah SD atau kurang, dan yang lulusan universitas hanya 1,8 persen. Gambar ini menjelaskan mengapa kita tertatih-tatih untuk maju. Bukan semata sensasi korupsi atau perselingkuhan, sebab itu tidak menghambat kemajuan, tapi hakikatnya SDM Indonesia tidak dapat diandalkan.
Beralih ke kenyataan sekarang, media massa menyalurkan informasi baik dari dunia lama, dunia masa kini, maupun dunia akan datang sebagaimana digelombangkan oleh budaya kita. Suka tidak suka, mau tidak mau, budaya kita pun dimasuki dan dibanjiri oleh ilmu dan teknologi mutakhir. Sekarang siswa SD pun sudah mengenal ponsel. Saya mohon kerja sama Anda, bagaimana mencerdaskan masyarakat kita. Mengapa Indonesia menjadi satu-satunya bangsa yang bersikeras memakai singkatan “HP”? Di seluruh dunia tidak ada yang memakai kata “HP”. Ada yang menerjemahkannya menjadi “telepon genggam”. Semua macam telepon digenggam, baik yang berkabel maupun nirkabel. Jadi, yang lazim adalah “telepon selular” atau “ponsel.” Hal ini saja mengisyaratkan betapa sulitnya manusia Indonesia berubah untuk kebaikan.
Pers dapat berpengaruh untuk mendidik warga masyarakat siap sedia untuk berubah. Bukankah itu juga yang dijadikan pedoman Obama dalam pemilihan presiden: yes we can. Kita memang harus memiliki tekad untuk mau berubah dan mau mengubah situasi. Itu contoh dari kelambanan mentalitas Indonesia yang mestinya dapat diatasi oleh media pers.
Mengapa media pers memiliki fungsi yang menentukan dan krusial? Krusial di sini dipakai dalam arti yang sebenarnya. Anggota putra putri kita yang terbaik di DPR rupanya tidak paham bahasa Inggris dan sampai hari ini memakai istilah “krusial” untuk “pasal yang masih diperdebatkan atau belum diputuskan”. Padahal “krusial” berarti “menentukan”. Krusial berasal dari cross/silang: “Saya ada di titik silang”. Titik silang itu menentukan: jika dipilih titik A saya akan ke sana, jika dipilih jalan B saya akan ke sana. Misalnya, di dalam masalah polisi bercelengan gendut itu, sikap presiden menentukan. Turun tangan atau tidak? Kalau turun tangan menjadi begini, kalau tidak begini. Sikap itu menjadi “krusial”, bukan berarti “masih belum bisa diputuskan”. Wartawan terpanggil untuk mengoreksi pemakaian bahasa yang masih keliru.
Wartawan pun bertanggung jawab memberi informasi yang benar. Baru-baru ini ada masalah Bank Century. Waktu itu setiap hari saya baca: Bank Century mendapat bailout, lalu diikuti tanda kurung “dana talangan.” Itu artinya wartawan yang bersangkutan tidak pernah membuka kamus. Bailout makna sebenarnya ialah “dana penyelamatan:” Keadaan keuangannya sudah begitu kritis, diinjeksi dengan bantuan uang untuk menghindari kebangkrutan. Itu bailout, bukan “talangan.” Tetapi, kita seakan-akan dibuat percaya bahwa bailout itu “dana talangan”. Di sini terlihat akibat dari informasi yang keliru.
Mengapa media pers bisa menyesatkan dan tidak mencerdaskan? Karena di dalam konstelasi masyarakat, surat kabar, majalah, televisi, membanjiri jalan pikiran orang setiap hari. Setelah kita mendapat ijazah SMA, masuk ke universitas, atau mulai bekerja, kita tidak lagi bergaul atau berkomunikasi dengan sumber informasi. Yang menjadi sumber informasi ialah wartawan yang menyalurkannya lewat surat kabar. Di sini pers memiliki fungsi pencerdas bangsa yang lebih menentukan. Pers sekaligus menjadi pencari berita dan menjadi guru bahasa. Guru bahasa tidak dalam arti bersertifikat atau mempunyai ijazah kebahasaan, tetapi memiliki kepedulian yang akhirnya mencerahkan pikiran warga masyarakat.
Saya berbicara dengan Pak Asmadi (pengajar LPDS dari Forum Bahasa Media Massa). Beliau mengusulkan bagaimana jika saya membuka blog dan di dalamnya memuat “pojok bahasa”. Sebab, dengan demikian, dengan kerja sama dari Pusat Bahasa, semua konsep baru dari budaya yang mutakhir akan diolah, apakah kita akan menyerapnya dengan mengubah ejaan atau lafalnya atau mencari padanan secara bahasa Indonesia. Apakah whistle blower itu dipahami orang jika diterjemahkan menjadi “peniup peluit”. Hal semacam ini
dapat disalurkan melalui blog. Saya menyediakan diri untuk menjadi narasumber dan Anda akan menyebarkannya di dalam media massa. Kita harus menjadi lebih cermat, lebih teliti, dan hanya dengan cara itu kita bisa maju.
Kita harus berhenti untuk berupaya sama dengan bangsa Jepang atau Korea. Mereka itu homogen, kita tidak homogen. Jika kita mencari model bagaimana harus berkembang ialah satu masyarakat yang majemuk dan jelas menggambarkan kemajuan. Betapa pentingnya bahasa Indonesia. Pertanyaan mendasar: setuju bahasa daerah harus didorong dan dimajukan? Mempelajari bahasa daerah untuk tujuan apa?
Rita Sri Hastuti (Moderator):
Pak Anton tadi sudah memberikan gambaran, tujuannya untuk memberikan alasan kenapa sekarang masyarakat lebih suka memakai akronim.
Uu Suhardi (Pembicara):
Akronim itu sangat enak untuk main-main. Misalnya akronim “romantis” (rokok, makan, tidur gratis), “sayu” (sayang uang), “syadu” (sayang duit), “gatot” (gagal total), “internet” (indomie telur kornet), dan “kopasus” (kopi pakai susu atau kopi-paste ubah sedikit). Ada juga akronim yang keluarnya dari lembaga resmi tapi kesannya main-main, misalnya, “balon” (bakal calon), “raskin” (beras miskin), “rasdi” (beras bersubsidi). Kemudian “markus” (makelar kasus)-pun bisa masuk kategori main-main, tapi main-mainnya kurang ajar karena memakai tokoh agama. Dari Polri muncul “cakus” untuk “calo kasus”, sedang dari Kejaksaan ada “cakil” (calo keliling).
Anonim ada yang main-main, tapi ada juga yang serius untuk nama-nama lembaga. Di Indonesia hampir semua lembaga punya akronim untuk namanya. Ada Bapepam, Bappenas, Depkominfo, Kemenag, Kemenkes. Ada pula yang singkatannya non-akronim, misalnya, BPK, BPKP, KPK, KY, MA, MK, dan seterusnya. Belum lagi nama-nama di kepolisian dan militer banyak sekali yang memakai akronim.
Akronim awalnya juga untuk kata sandi. Kata “markus” mungkin awalnya dari kata sandi kepolisian untuk menyebut seseorang yang berprofesi sebagai makelar untuk kasus. Namun, kata ini kemudian diketahui umum dan bukan sandi lagi.
Salah satu kalangan yang produktif membuat akronim itu militer dan kepolisian. Ada alutsista, buser, curanmor, miras, sajam, senpi, arhanud, armabar, armatim, akabri, akmil, akpol, kodam, koplat, koptu, kopur, koramil, korem, kores, dan banyak lagi. Mungkin bisa beribu-ribu nama.
Segi positifnya, akronim membentuk kata baru, biasanya di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Akronim ada juga yang dikeluarkan Pusat Bahasa: online menjadi “daring,” offline menjadi “luring”. Menurut saya ini agak lucu. Daring itu mengingatkan saya kepada warung mie, yang artinya “dada kering.” Entah mengapa itu dipakai untuk padanan online.
Bagaimana dengan Tempo? Tempo ingin tulisannya dibaca dan dipahami oleh sebanyak-banyaknya orang mulai profesor sampai orang yang tidak lulus sekolah dasar. Karena itu, Tempo selalu berusaha menyajikan tulisan dengan bahasa yang lancar, enak dibaca, dan dapat dimengerti oleh siapa pun. Tentu saja usaha ini tidak selalu berhasil.
Akronim cenderung hanya dimengerti oleh kalangan tertentu. Akronim itu seperti jargon. Karena itu, Tempo menolak akronim. Bahkan tidak hanya akronim, singkatan yang bukan akronim pun kami menyatakan penolakan kecuali singkatan itu untuk nama diri, lembaga, seperti KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). “Gempur” banyak sekali dipakai untuk akronim: Gerakan Mahasiswa Peduli Negeri, Gerakan Mahasiswa Peduli Uang Rakyat, Gerakan Mahasiswa Pendukung Reformasi, Gerakan Masyarakat
Peduli Kepulauan Riau, Gerakan Masyarakat untuk Perubahan di Bumi Pasaman Barat, Gerakan Membangun Perekonomian Ummat yang Religius. Semuanya menggunakan kata “Gempur”, mungkin ada 20 sampai 30.
Tempo selalu menyebutkan nama tempat dan nama diri dengan lengkap. Singkatan nama diri dipakai jika nama itu muncul berulang-ulang dan bertebaran dalam satu tulisan, tapi nama itu ditulis lengkap ketika muncul pertama kali. Nama diri yang sudah sering muncul dan diasumsikan sudah dikenal pembaca tidak perlu diikuti dengan singkatannya dalam tanda kurung. Misalnya, di awal ditulis “Dewan Perwakilan Rakyat”, selanjutnya di tulis “DPR”, dan di awal tadi tidak perlu ditulis “DPR” dalam tanda kurung. Kami menganggap pembaca sudah cukup tahu bahwa DPR itu mengacu pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Sekali lagi, Tempo menolak akronim. Daripada memakai akronim lebih baik terus membenahi tata bahasa di Tempo, antara lain, misalnya, membuang kata-kata mubazir seperti “agar”, “dari”, “dengan”, “kepada”, “oleh”, “untuk”. “Oleh karena itu”, “akan tetapi”, “berjanji untuk”, dan “berjanji akan”, “sementara itu”, “dalam pada itu”, dan “selain itu” tidak lagi ditemui di Tempo.
Contohnya, “Fraksi PDIP meminta kepada pemerintah agar serius menangani jumlah angkatan kerja yang selalu bertambah.” Kata kepada dan agar bisa dibuang sehingga menjadi “Fraksi PDIP meminta pemerintah serius menangani jumlah angkatan kerja yang selalu bertambah.” Contoh lain, “Bush meminta kepada AS agar menganekaragamkan sumber-sumber energinya.” Dibuang kata-kata mubazirnya menjadi “Bush meminta AS menganekaragamkan sumber-sumber energinya.”
Di satu sisi kalimat-kalimat di atas berusaha tampil ringkas dengan singkatan, tapi di sisi lain boros kata. Mudah-mudahan di Tempo tidak ditemukan kalimat seperti itu. Di Tempo juga tidak akan ditemukan akronim pemdes, pemkot, pemkab, pemprov, pilkada, pilkadal, pemilukada, pemilukadal, pileg, pilpres, pilgub, pilbup, pilkades, pilkawe, pilkaret, pilwalkot, pilwakot, apalagi pentilkecakot (penjaga tilpun kecamatan kota). Anda juga tidak akan menemukan singkatan, misalnya, DPP, DPW, DPC, apalagi CPD. CPD itu capek deh. Juga tidak akan ada buser, curanmor, miras, sajam, senpi, sikon, apalagi sikon*** dan si******panjang (situasi, kondisi, toleransi, jangkauan, dan pandangan). Itu semua main-main.
Sebagai penutup, mari kita sepakat, akronim itu cenderung bikin bingung, bahkan pembaca atau pendengar bisa terkecoh atau tertipu. Kalau anda baca judul makalah saya “Sinonim,” padahal kita sedang bicara akronim. Sebenarnya judul “Sinonim” itu akronim dari “Silakan Menolak Akronim.”
Rita Sri Hastuti (Moderator):
Tadi sudah kita dengar sikap majalah Tempo dalam menghadapi akronim. Tentu tujuannya agar pembaca merasa nikmat saat membaca. Bayangkan kalau akronim-akronim itu dibacakan, tentu akan langsung masuk ke telinga kita. Berbeda kalau kita membaca karena masih bisa kita hindari. Ketika kita mendengar di radio atau televisi ada sekian banyak akronim, tentunya capek deh. Bagaimana sikap SCTV?
Mauluddin Anwar (Pembicara):
Saya ingin sharing pengalaman di Liputan 6 dan tentu saja kami berharap ada masukan untuk perbaikan agar akronim dan singkatan tidak lagi banyak digunakan di televisi, termasuk di Liputan 6 SCTV.
Saya beri judul makalah saya “Negeri Berjuta Akronim”. Andil petinggi negara sangat besar dalam pembuatan akronim dan singkatan. Kita tahu Bung Karno bisa disebut bapaknya akronim Indonesia: ada Trikora, Dwikora, dan lain-lain. Ini hanya untuk menunjukkan mengapa di negara kita orang begitu gampang membikin akronim atau singkatan
karena Bapak Bangsa sendiri sudah menciptakan itu sehingga membuat media ikut berbangga menciptakan akronim yang sebenarnya sering membuat salah kaprah.
Tidak hanya Bung Karno, tapi juga diteruskan juga di masa Orde Baru. Soeharto membikin Golkar, Petrus—yang sempat diprotes oleh orang Kristen karena itu adalah nama seorang yang suci. Kemudian muncul “markus” yang juga diprotes lagi oleh orang Kristen. Akhirnya diusulkan tidak menggunakan nama “markus” dan seorang Jaksa Agung Hendarman Supandji menyebutnya “cakil” (calo keliling). Kapolri mengusulkan “cakus” (calo kasus) agar tidak digunakan “markus”. Itu salah kaprah yang makin salah. Mengapa tidak dipakai saja “makelar kasus”.
Ini menunjukkan para petinggi negara kita senang sekali menciptakan singkatan dan akronim yang akhirnya kita ikut-ikutan. Presiden SBY bahkan senang namanya dipakai singkatan. Dia bahkan lebih familier disebut SBY daripada Susilo Bambang Yudhoyono. Itu yang saya sebut mewabah ke semua kalangan dan media pun ikut melahirkan akronim, bukan hanya menggunakan.
Di masa Orde Baru ada “pungutan liar” yang kemudian digunakan oleh media sebagai “pungli”. Di masa perang Irak melawan Amerika muncul istilah “rudal” (peluru kendali). Sekarang ada istilah “ponsel” yang sering dipakai oleh anak muda dan media ikut-ikutan. “Moge” (motor gede) juga diciptakan oleh media, terutama media yang berkecimpung di bidang infotainmen atau gaya hidup. Televisi pun kadang-kadang ikut menggunakan “moge”.
Di program televisi ada “buser” (buru sergap), “tikam” (tindak kriminal), “TKP”. Bahkan inisial wartawan juga menggunakan singkatan: Goenawan Mohamad (GM), Karny Ilyas (KI). Di semua koran, untuk tulisan nama di bawah, seperti Kompas, ada penulis besarnya yang ditulis nama lengkap tetapi untuk reporter yang memberikan kontribusi untuk tulisan itu hanya dituliskan nama singkatan atau mungkin akronimnya. Jadi, di dunia pers sendiri sudah sangat lazim digunakan kata-katasingkatan atau akronim.
Mengapa muncul akronim dan singkatan? Menurut saya, karena budaya ingin gampang dan instan. Daripada susah bilang Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan maka digunakan saja Menkopolhukam. Epoleksosbudhankamnas terasa lebih singkat daripada menyebutkan “Ekonomi, Politik, Sosial, Budaya, Pertahanan, dan Keamanan”. Apalagi untuk televisi, lebih susah. Karenanya, budaya gampang dan membuat orang enak mengucapkan itulah salah satu yang membuat begitu banyak akronim dan singkatan di Indonesia.
Itu pun dibakukan dalam sebuah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Sudah ada pedoman bakunya, tahun 1987, tentang Pedoman Baku Ejaan yang Disempurnakan. Tetapi, masih ada hal-hal yang kadang-kadang tidak konsisten dari pedoman baku yang sudah diciptakan. Intinya adalah begitu gampangnya orang, bahkan media, untuk menciptakan istilah baru termasuk dalam akronim dan singkatan. Misalnya, sering kita dengar “miras” yang diambil dari huruf awal “minuman” dan huruf akhir dari “keras”. Kalau mau konsisten, mengapa tidak “miker”? kemudian ada “mitan” dari “minyak tanah”. Untuk “kepala sekolah” kadang dipakai “kepsek” kadang “kasek”. Ada juga “kades”, “kapolda”. Dari “ke” menjadi “ka”. Ini menunjukkan tidak konsisten dalam penggunaan.
Ada lagi pengertian yang berbeda-beda. PBB digunakan untuk “Pajak Bumi dan Bangunan”, “Partai Bulan Bintang”, “Perserikatan Bangsa -Bangsa”, dan macam-macam lagi. Ini membingungkan.
Bagaimana Liputan 6 SCTV dan televisi lain? Saya kira sama seperti Tempo. Menggunakan akronim dalam bahasa agamanya itu makruh, bahkan mendekati haram. Makruh itu kalau ditinggalkan mendapat pahala, kalau dikerjakan tidak berdosa, tapi tidak disukai. Kalau haram berarti tidak boleh sama sekali. Akronim dan singkatan-singkatan, untuk televisi, saya kategorikan makruh, bahkan mendekati haram. Walaupun pada kenyataannya masih banyak pelanggaran-pelanggaran yang dibuat oleh televisi. Inilah yang saya sebut sebaiknya menghindari penggunaan
akronim, apalagi dalam bahasa asing. Akronim dalam bahasa asing yang sering kita dengar dari televisi, misalnya, WHO. Itu pun tidak konsisten karena menuturkannya tidak dengan bahasa Inggris. Hal itu dilakukan televisi karena lebih suka mengambil bahasa yang enak didengar.
Bahasa jurnalistik di televisi harus bisa dipahami dari profesor sampai tukang sapu. Karena itu, ketika menggunakan akronim atau singkatan harus bisa dipahami bahkan oleh anak kecil. Di televisi jangan pernah menyebutkan satu singkatan atau akronim tanpa ada penjelasannya, termasuk yang dalam bahasa Indonesia. Misalnya Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum). Orang dewasa pun kadang-kadang tidak tahu apa itu Sisminbakum apabila tidak dibaca kepanjangannya. Karena itu, sebisa mungkin hindari penggunaan itu. Kalaupun terpaksa, penggunaannya harus disertai penjelasan kepanjangannya.
Kalaupun akan menggunakan akronim atau singkatan, sebisa mungkin hanya untuk judul berita yang biasa muncul di layar televisi. Di SCTV saat ini judul berita hanya maksimal empat kata. Karena itu, misalnya “Bantuan Langsung Tunai” boleh disingkat menjadi BLT; “Hak Asasi Manusia” menjadi HAM; “Menteri Agama” menjadi Menag. Dalam kondisi tertentu, apabila tempatnya masih cukup ditulis “Menteri Agama” dan tidak akan ditulis “Menag”. Sementara untuk narasi yang dibacakan oleh presenter atau reporter, tetap membaca kepanjangannya.
Berbeda dengan koran atau majalah, berita di televisi hanya sekelebat sifatnya. Untuk satu berita mengenai pemeriksaan Yusril Ihza Mahendra, misalnya, dengan kutipan pernyataan dari tiga orang, maksimal waktunya dua menit. Rata-rata berita di televisi hanya 1,5 menit. Kalau di koran bisa seperempat halaman. Karena itu, berita di televisi harus enak didengar, tidak boleh yang susah dipahami. Misalnya kata UKP3R (Unit Kerja Presiden untuk Percepatan Pembangunan Reformasi) tidak harus digunakan, kecuali terpaksa digunakan. Kalaupun digunakan hanya disebutkan sekali “Unit Kerja Presiden untuk Percepatan Pembangunan Reformasi”, setelah itu hanya disebut “Unit Kerja Presiden”. Celakanya, bagi orang yang baru menyalakan televisi dan melihat acara sudah di tengah berita, sungguh “berbahaya” ketika kita hanya menyebutkan “Unit Kerja Presiden”. Tapi, daripada menyebutkan UKP3R lebih baik menyebut “Unit Kerja Presiden.”
Penyebutan singkatan untuk berita televisi, seperti MK, MA, KPK, sebisa mungkin hanya sekali di depan. Tidak usah diulang-ulang lagi, kecuali yang sudah sangat familiar, misalnya Polri, DPR. Di televisi tidak ada kesempatan kedua bagi pendengar untuk mendengarkan berita kita yang baru saja berlangsung—kecuali kalau misalnya membuka di website. Berbeda dengan di koran, ketika ditulis “UKP3R” orang bisa melihat lagi tulisan di atasnya untuk mengetahui apa kepanjangannya.
Akronim di televisi hanya untuk yang lazim dan umum, seperti “KPK”. Celakanya, seperti “PPP” seharusnya disebut “P-P-P”, tapi sebagian besar orang lebih familier dengan sebutan “P tiga” dari pada disebut “P-P-P”. Karena itu, untuk di televisi akan lebih bagus yang dibaca adalah “P tiga”. Penulis berita televisi harus tahu yang lebih familiar di telinga pemirsa dan itulah yang akan ditulis dalam naskah.
Akronim di televisi hanya untuk yang mudah didengar dan diucapkan. “UKP3R” atau “Epoleksosbudhamkamnas” sudah tidak boleh lagi digunakan. Karena itu, yang asing pun berusaha untuk diindonesiakan. Contohnya—meskipun ini sangat rancu—di akhir program berita presenter menyatakan “silakan membuka www.liputan6.com” (“www” dibaca dengan bahasa Indonesia, “com” dibaca dengan bahasa Inggris). Tidak mungkin dibaca seluruhnya dalam bahasa Indonesia. Kata-kata itu sudah digunakan secara umum sehingga televisi pun ikut membakukannya.
Kalau bisa televisi harus menggunakan istilah lain yang bukan akronim atau singkatan. Dari dulu orang lebih kenal “pom bensin” daripada “SPBU” yang dipakai pemerintah. Karena itu, televisi lebih baik tetap menggunakan “pom bensin” meskipun mengindikasikan hanya satu produk saja (bensin).
Ada problem yang setiap saat menjadi bahan diskusi; sebaiknya
akronim seperti apa dan mana yang digunakan. Misalnya, karena negeri kita negeri berjuta akronim, maka sangat gampang pejabat mengganti istilah yang sudah baku. Dulu “SMA”, kemudian karena Menteri Pendidikannya berganti maka berubah menjadi “SMU”. Tidak lama kemudian berubah lagi menjadi “SMA”. Bagi televisi, ini membingungkan dan menimbulkan perdebatan, singkatan mana yang mau dipakai. “Pilkada” baru lima tahun dipakai tiba-tiba DPR mengeluarkan “pemilukada”.
Kita ingin menyederhanakan bahasa, termasuk akronim dan singkatan. Tetapi, ada kekhawatiran di media, termasuk Liputan 6, bahwa kita tidak mematuhi dan mengikuti istilah resmi. Misalnya, Menteri Kehakiman berubah menjadi Menteri Hukum dan HAM yang disingkat Menkumham. Untuk penggunaan judul ada perdebatan: Daripada menulis “Menkumham”, lebih baik menulis “Menteri Hukum”. Orang juga tahu itu adalah Menteri Hukum dan HAM. Perdebatan ini belum selesai. Liputan 6 punya pedoman, tapi bisa berubah sesuai dengan perkembangan di masyarkat.
Media massa ikut dan turut bertanggung jawab terhadap penciptaan akronim dan istilah yang kadang-kadang rancu. Karena itu, meskipun tadi saya katakan mudah-mudahan akan menjadi haram hukumnya menggunakan akronim, namun apa boleh buat-karena kita masih senang dengan istilah dan singkatan maka media pun ikut terlibat dalam penciptaan dan bahkan sosialisasi akronim.
Rita Sri Hastuti (Moderator):
Media di Indonesia cukup gelisah dengan keberadaan akronim. Saya mengundang hadirin untuk menyampaikan pendapat atau bertanya.
SESI DIALOG
Ivan Lanin (Wikipedia Indonesia, Peserta):
Pembicara Mauluddin Anwar tadi menyatakan, akronim yang dipilih hanya yang lazim dan mudah untuk didengar atau diucapkan. Apa kriterianya?
Di makalah Pak Anton dinyatakan, untuk dapat diketahui khalayak umum, akronim perlu dibakukan. Yang ingin saya tanyakan, siapa yang berwenang untuk membakukan itu?
Melihat perkembangan akronim yang sangat pesat, selama ini rujukan kita dari kamus yang lima tahun sekali direvisi. Apakah nanti lembaga yang membakukan akronim bisa memfasilitasi kebutuhan masyarakat yang sangat cepat?
Arya Gunawan (UNESCO Jakarta, Peserta):
Saya tadi ikuti presentasi Pak Anton yang hampir tidak saya jumpai sedikitpun kesalahan atau kekeliruan dalam pengucapan. Saya kira memang ini empu kita yang kian langka jumlahnya, orang yang bersedia memberikan sepenuh perhatiannya untuk kemajuan perkembangan bahasa Indonesia.
Saya teringat, banyak orang yang menyebut bahwa para pendiri bangsa kita dulu berbicara dan menulis dengan sangat hati-hati dan mencerminkan kecintaan mereka yang penuh terhadap bahasa Indonesia. Misalnya, M Hatta merupakan salah satu penutur dan penulis sekaligus yang nyaris sulit kita jumpai kekeliruannya dalam praktik sehari-hari. Sebetulnya salah satu harapan terbesar yang kita miliki sekarang yang ingin kita sandarkan adalah kepada kawan-kawan media sebagai benteng terakhir. Semestinya salah satu fungsi terpenting media adalah menjaga perkembangan bahasa Indonesia. Tapi, justru di sini juga kita memiliki persoalan yang cukup serius karena secara
kasat mata, yang tampak sehari-hari dari produk berita televisi maupun media cetak atau online, dengan mudah kita bisa menjumpai kekeliruan penggunaan bahasa.
Profesor Anton menyebutkan peran penting media yang setiap hari bergelut dengan bahasa. Bahasa merupakan modal utama, senjata utama, bagi orang media. Tapi, pada sisi yang lain, saya agak meragukan apakah peran penting itu layak kita mandatkan atau amanahkan kepada kawan-kawan ini karena sebagian besar dari mereka justru tidak mempraktikkan cara berbahasa menulis yang benar. Saya tidak tahu bagaimana cara membenahi ini, apakah dengan pelatihan yang berlangsung rutin dan terus menurus khusus untuk bahasa Indonesia? Atau kita membenahi di sektor hulunya, yaitu di pendidikannya yang ideal dimulai di tingkat paling awal. Atau kalau itu sudah terlambat kita bisa mulai dari pendidikan tinggi, walaupun pendidikan tinggi kita menerima bahan baku yang tidak ideal karena dari SD sampai SMA tidak dibenahi dengan benar. Pertanyaan saya untuk Profesor Anton, bagaimana kita membenahi ini?
Saya ingin menanggapi apa yang disampaikan Bung Mauluddin Anwar bahwa satu penyebab utama dari kisruhnya situasi bahasa kita, secara spesifik pada penggunaan akronim, adalah karena budaya instan, ingin gampang, yang melekat pada orang-orang yang menggauli bahasa. Tapi saya kira ada penyebab lain yaitu tidak adanya lembaga yang punya wewenang dan kharismatik. Tidak ada lembaga otoritatif yang menjadi polisi, pengawal cara kita berbahasa, baik oral maupun tulisan. Kita memang punya Pusat Bahasa tetapi barang kali belum memainkan perannya secara maksimal. Saya tidak tahu apa yang bisa kita lakukan untuk menciptakan lembaga yang otoritatif tadi. Kalau sejauh ini lembaga tersebut tidak kita miliki, problem seperti ini akan terulang, akan terjadi tiga tahun lagi dan kita akan berdiskusi lagi dengan topik yang sama dan bahan-bahan yang nyaris sama. Berbeda dengan di negara lain, seperti Malaysia, yang punya Dewan Bahasa. Peran mereka sebagai polisi bahasa jauh lebih berperan dibanding dengan yang ada di Indonesia.
Betul-betul tidak ada perhatian dari pemerintah. Mungkin saja saya keliru tapi apa yang tampil di hadapan kita memperlihatkan tidak adanya perhatian yang sungguh-sungguh dan serius dari pemerintah. Bahkan mungkin kesadaran bahwa bahasa Indonesia sudah menjadi persoalan yang serius. Misalnya, sudah ada hasil yang buruk dari ujian akhir nasional Sekolah Menengah Atas beberapa waktu lalu. Itu sebenarnya lonceng yang berbunyi nyaring untuk menjadi pengingat, untuk menemukan kesadaran dan melakukan langkah nyata menghadapi situasi ini.
Semula saya memiliki harapan besar kepada Presiden SBY karena beliau pernah menerima anugerah sebagai tokoh masyarakat yang berbahasa dengan baik tahun 2003. Tapi, belakangan saya meragukan penghargaan tersebut apakah layak disematkan kepadanya karena belakangan kita jadi bingung: Presiden kita ini berbicara bahasa Indonesia yang baik atau kadang-kadang beliau dari negeri seberang. Begitu banyak kosa kata asing yang masuk dalam perbendaharaan kata beliau.
Khusus untuk akronim, memang sudah menjadi penyakit yang akut, yang barangkali penyembuhannya harus melalui operasi yang radikal. Saya tidak tahu dengan cara apa. Intinya, harus dilakukan sesuatu yang radikal untuk mencegah dia berkembang menjadi tidak menentu seperti sekarang. Bukan berarti akronim itu tidak baik dan tidak bermanfaat. Dia bisa memperkaya tapi tentu ada pedoman baku, ada konsistensi.
Terakhir, saya ingin bikin kuis, adakah yang tahu kepanjangan dari Ladiagalaska? Atau makhluk apakah Ladiagalaska? Apakah dia nama seorang perempuan cantik yang akan ikut kontes Putri Indonesia dua tahun mendatang?
Ladiagalaska itu singkatan dari Lautan Hindia Galau Alas Selat Malaka. Itu jalan yang akan dibangun menerabas sisi barat menuju sisi timur provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Salah satu penyebab munculnya akronim mungkin kegenitan kita untuk mencari istilah yang kelihatan cantik dikumandangkan tapi itu menambah timbunan limbah
akronim dalam kancah bahasa Indonesia kita.
Wieke Gur (www.bahasakita.com, Peserta):
Saya ingin menanggapi pemaparan Mauluddin Anwar mengenai budaya gampang dan instan yang melanda kita semua dalam pembuatan akronim. Pak Uu Suhardi juga menyebutkan bahwa beberapa akronim terpaksa diakomodasi ke dalam tulisan untuk dimengerti oleh khalayak ramai.
Mudah dimengerti itu sebenarnya relatif. Bagi warga Indonesia yang tinggal di luar negeri, apalagi para penutur asing, terus terang merasa sangat tertinggal dalam perkembangan akronim yang berjalan begitu cepat. Ditambah lagi penambahan kosa kata baru. Masalah-masalah itulah yang mendorong saya menggagas didirikannya bahasakita.com. Saya merasa warga Indonesia di luar negeri membutuhkan rujukan apa yang terjadi dan berkembang di dalam bahasa Indonesia.
Saya tadinya ingin memasukkan menu akronim dalam situs tersebut. Namun, karena perkembangannya cepat sehingga saya merasa kesulitan untuk mengikuti. Jadi, alangkah baiknya kalau ada semacam pembakuan mengenai akronim dan ada satu sumber dimana orang-orang Indonesia di luar negeri tetap bisa mengikuti perkembangan bahasa. Dan juga bagi para penutur asing mudah belajar bahasa Indonesia.
Di Australia sejak tahun 2001 peminat bahasa Indonesia turun drastis. Beberapa universitas menutup departemennya karena tidak ada lagi yang berminat belajar bahasa Indonesia. Ketika saya berkomunikasi dengan mereka, alasan utamanya, setelah mereka belajar bahasa Indonesia mereka tetap tidak mampu memahami bahasa Indonesia ketika berkunjung ke Indonesia karena ternyata ada bahasa formal, informal, dan gaul. Mereka tertukar-tukar menggunakan antara bahasa formal dan gaul. Yang sebenarnya terjadi, pembuat kurikulum di Australia adalah orang Australia. Mereka menganggap bahasa informal adalah bahasa gaul. Di dalam kurikulum bahasa Indonesia di sekolah dasar Australia, mereka memasukkan bahasa gaul ke dalam ujian nasional mereka. Di situlah saya tekankan kepada mereka bahwa bahasa gaul jangan dipelajari karena sifatnya musiman. Yang harus dipelajari adalah bahasa informal. Kalau dalam bahasa formal kita menggunakan “kan” kalau dalam bahasa informal sah-sah saja menggunakan “in”, contohnya “ambilkan” menjadi ‘ambilin.” Itulah yang digunakan kita sehari-hari.
Masalah-masalah seperti itu terjadi di luar negeri. Akhirnya mereka merasa bahasa Indonesia sangat kompleks, minat mereka untuk mempelajarinya turun. Lebih baik belajar bahasa China dan Spanyol yang jelas peraturannya. Dua bahasa itulah yang sekarang menjadi favorit di Australia. Ketika masalah ini saya bicarakan dengan Kedutaan Indonesia di Australia, mereka menganggap peminat bahasa Indonesia turun karena mereka tidak bisa datang ke Indonesia. Ada travel warning dari pemerintah Australia sehingga mereka tidak bisa praktik. Menurut saya, masalahnya lebih dari itu. Tidak hanya sekadar akronim yang membingungkan tetapi juga perkembangan kosakata yang terjadi di kita semua.
Pada perkembangannya, bahasakita.com dianggap mewakili Pusat Bahasa. Padahal berkali-kali saya tegasnya bahwa kami sebuah badan independen. Dua hari lalu kami menerima email dari salah satu ketua asosiasi guru bahasa Indonesia di Australia Barat yang bertanya: “mohon maaf ibu Mike, saya harus membuat kurikulum kelas 12 untuk bahan ujian. Kata apa yang harus saya ajarkan, “manula” atau “lansia”?
Saya sendiri tidak pernah berpikir bahwa itu akan menjadi masalah. Pertanyaan itu mengejutkan saya. Mana yang harus digunakan karena ketika saya cari di google, kedua-duanya masih ada. Tapi, mana sekarang yang harus digunakan atau diajarkan, terutama untuk penutur asing?
SESI TANGGAPAN PEMBICARA
Anton M Moeliono:
Saya senang dapat tanggapan yang begitu banyak. Saya kembali kepada dalil saya: kita ini negara birokrat. Kita menjadi mangsa birokrat. Apapun yang kita putuskan dalam pertemuan ini tidak akan ada imbasnya bila birokrasi tidak akan mengubah sikap. Jadi, bagaimana kita akan menghindari penggunaan PPATK kalau itu dipakai oleh pejabat pemerintah?
Pers dapat berbuat sesuatu tapi tidak akan mungkin dapat menghilangkan akronim. Sebenarnya ini bukan dosa birokrasi saja. Hakikat bahasa nusantara memang cenderung untuk memegang kaedah dua suku. Ada untungnya ada ruginya.
Saya mulai dengan ruginya dulu. Kosa kata sehari-hari bahasa Inggris jika dibandingkan kosa kata sehari-hari bahasa Indonesia lebih unggul karena mereka memakai satu suku sedangkan kita harus menggunakan beberapa suku.
Penyakit yang muncul sejak kita merdeka, tadi dengan eloknya dikemukakan Pak Anwar, dimulai dari presiden pertama diikuti oleh rezim Orde Baru—waktu kelompok militer memiliki pengaruh yang luar biasa dalam kehidupan kita. Akronim memang diperlukan di dalam bahasa militer demi kerahasiaan, menghindari salah paham. Kebiasaan yang berlaku di militer itu kemudian menjadi penyakit menular, berjangkit ke masyarakat sipil. Dapat dipahami, demi kerahasiaan, militer memerlukan akronim sebagai bahasa sandi. Tetapi, dalam pada itu, dasar atau sikap bahasa nusantara itu menuju singkatan. Daripada berbicara “kantong kempes” lebih baik “tongpes.” Itu bukan lagi penyakit masa kini sehingga “guru” pun dianggap akronim yang berarti “digugu lan ditiru.”
Masalahnya kita tidak dapat memisahkan diri dari akronim. Tidak mungkin akronim ditinggalkan. Pertama, karena kuasa birokrasi. Kedua, karena memang kita senang pada akronim. Alasan yang ketiga, akronim diperlukan karena budaya mutakhir menghasilkan hal yang rumit, kompleks, majemuk, yang tidak mungkin dilambangkan dengan satu kata. Jika mungkin, bagaimana orang Inggris bisa menciptakan—dan ini militer lagi—kata “leser” menjadi “laser”. Kita mungkin tidak tahu lagi apa bentuk lengkapnya, akan tetapi kita akrab dengan satuan leksikal “laser”, dengan aslinya “redar” menjadi “radar.”
Bagi saya, akronim itu tidak perlu dianggap kuman yang membahayakan. Tetapi, tadi sudah saya dengar konsep pembakuan. Baku adalah ciri khas masyarakat modern. Jika ada lampu mati karena sudah tidak bisa menyinarkan cahaya, dengan mudah saya minta orang membeli yang baru di toko dan pasti akan menyala karena ukuran lampu itu dibakukan. Jika saya harus mengganti ban, tidak perlu saya mengukur sendiri. Jadi, untuk menghindari salah paham pemakaian akronim, perlu ada pembakuan.
Yang perlu dibakukan itu adalah kaedahnya, bukan bentuknya. Kaedah itu harus ditentukan oleh siapa? Jika Pusat Bahasa dewasa ini dianggap oleh masyarakat tidak mempunyai wibawa, tentukan saja sendiri. Misalnya, pers bersepakat untuk memakai daftar akronim yang ditentukan pemerintah. Dengan catatan, jika akronim dari pemerintah yang akan dipakai kita tidak bisa mengubahnya sendiri.
Salah satu hal yang disayangkan adalah birokrasi Indonesia senang sekali pada kelewahan (redandensi). Ingat bagaimana di masa kolonial dan masa awal republik Indonesia, kita kenal Departemen Keuangan, Departemen Perdagangan. Mengapa sekarang harus disebut Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia? Apakah Hak Asasi Manusia tidak dengan sendiri masuk di wilayah hukum? Mengapa harus dieksplisitkan “kelautan dan perikanan”? Departemen Keuangan menangani masalah keuangan, pajak, tetapi tidak diumumkan secara detail. Orang tahu Departemen Keuangan mengurus hal-hal seperti itu.
Penyakit untuk mengeksplikasi sampai ke unsur-unsurnya, itulah yang menjadi sebab kita terpaksa membuat akronim. Saya setuju sekali dengan pihak media yang beranggapan berikan saja nama singkat, diterangkan definisinya, apa fungsi operasionalnya, tidak perlu dilambangkan di dalam judulnya atau di nama resminya. Dan itu menjadi dorongan bagi media pers bersama-sama menentukan apakah untuk badan, nama, dan sebagainya perlu dipakai akronim yang dibakukan. Segala-galanya dijamin tidak akan ada masalah kalau dibakukan sebagaimana kita telah membakukan singkatan “a.n.”
Bagi saya, sebenarnya singkatan atau akronim tidak perlu dilebih-lebihkan. Itu bukanlah kesalahan media. Media perlu menyalurkan informasi. Sarang masalahnya ada di birokrasi bukan di media pers. Sekarang media pers dapat menguraikan masalahnya secara kritis.
Sangat baik apa yang dilakukan Tempo, memberi komentar atas apa yang berlaku di masyarakat. Kalau kita menderita akronomitis, jangan dibiarkan, harus dilawan. Mengapa harus disebut Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa karena akhirnya dengan disebut Pusat Bahasa juga jalan. Ini salah satu contoh yang paling jelas bahwa nama tidak perlu diuraikan secara secermat-cermatnya. Dan itu penyakit birokrasi. Selama birokrasi mempunyai kewenangan untuk mengaturnya, rasanya kita tidak akan dapat membahasnya. Jangan lupa keterangan saya tadi, birokrasi itu mayoritas lulusan SMA. Bagaimana mau berunding dengan mereka? Susah.
Itulah pentingnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini bukan pidato tapi benar-benar panggilan yang luhur. Bagaimana anda dengan pemakaian bahasa sehari-hari dapat membuat orang lebih cerdas. Bahasa Indonesia harus dicendekiakan, harus diintelektualisasi. Kita ini takut pada intelektualisasi. Kita lebih sering menganut pendapat emosional. Jika emosi mendorong kita untuk berunjukrasa, menghancurkan rumah ibadah misalnya, maka intelektualisasi menjadikan kita berpikir apa yang harus dijalankan.
Andaikata Pusat Bahasa dianggap tidak mampu, anda (pers) sendiri yang harus jalan. Masalahnya, bahasa harus dikembangkan oleh Pusat Bahasa tetapi bahasa itu bukan milik Pusat Bahasa. Wartawan di sini diharapkan betul-betul ingin menjalankan kaedah-kaedah bahasa.
Di dalam sistem persekolahan Australia diajarkan bahasa Mandarin dan Spanyol karena kaedahnya pasti. Begitu juga bahasa Indonesia akhirnya kita harus menuntut kaedahnya itu pasti. Kaedah yang pasti ialah kaedah yang memberi ketaatasasan, kekonsekuenan. Jangan sampai satu kaedah dapat ditafsirkan tiga-empat macam.
Sumber lainnya yang sulit diperbaiki yaitu pendidikan pengajar. Khususnya guru bahasa di Indonesia, baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris, sangat terabaikan. Jika kita menoleh secara historis dan tanpa mau tidak menghormati tokoh sejarah, maka sebenarnya yang bertanggung jawab atas kemunduran pendidikan di Indonesia adalah Muhammad Yamin. Muhammad Yamin waktu itu Menteri Pendidikan dan ikut menciptakan kursus-kursus A dan B. Dahulu saya mengikuti untuk diplomasi B atau A kemudian menjadi PTPG (Perguruan Tinggi Pendidikan Guru). PTPG memberi ijazah dan tidak memberi gelar. Lalu diusahakan ada satu lembaga yang memberi gelar sarjana. Dan kepala jurusan menjadi dekan. Dekan menjadi rektor. Kalau di IKIP dulu diajarkan 50 persen ilmu pendidikan, di antaranya filsafat pendidikan, psikologi perkembangan. Artinya, sekarang kita pun masih menderita akibat guru-guru yang tidak berkualifikasi, tidak memberikan semangat yang besar.
Saya mendapat informasi dari Badan Penelitian, Pengembangan Kementerian Pendidikan—sekarang masih disebut Balitbang—bahwa guru bahasa Inggris di sekolah-sekolah kita hanya 17 persen yang berkualifikasi. Bagaimana bisa mengharapkan peserta didik, yang setelah enam tahun mempelajari bahasa Inggris, dapat memakai bahasa Inggris? Bagaimana menjelaskan dalam ujian akhir nasional ada SMA yang 100 persen anak didiknya tidak lulus? Kalau 100 persen lulus itu lazim. Tapi, ini harus masuk catatan rekor: 100 persen tidak lulus. Sebabnya itu bahasa Indonesia dan Inggris.
Anak Indonesia mempunyai otak yang sebenarnya potensial, sama dengan anak Australia, Amerika, China. Itu dibuktikan oleh kelompok
yang dididik oleh Profesor Yohanes Surya dan bertarung di dalam olimpiade ilmu pengetahuan. Berapa banyak hadiah atau mendali emas, perak, dan perunggu dapat dibawa pulang? Mengapa tidak ada juara mengarang bahasa Indonesia atau Inggris secara internasional? Kita ini mau disebut seperti judul roman “salah asuhan”. Kita memang “salah asuhan” dalam bidang bahasa.
Di dalam ikhtisar saya ditulis bahasa akronim dan singkatan. Sehingga, bila anda temukan singkatan seperti “dst” walaupun terdiri atas tiga huruf tetapi karena dibakukan, semua orang akhirnya harus mempelajari artinya. Jika anda ditanya apa yang harus diajarkan “lansia” atau “manula”, anda bisa jawab dari keduanya tidak ada yang perlu diajarkan. Ajarkan saja “manusia lanjut usia.” Jangan ikut arus. Sebab, tidak ada hentinya nanti dan itu namanya pembodohan rakyat, bukan pencerdasan.
Saya betul-betul yakin bahwa jika kita dapat dicerdaskan, kita menjadi salah satu negara atau masyarakat yang besar. Dari 200 juta lebih masak tidak ada yang dapat memimpin, dengan meningkatkan taraf sumber daya manusia mulai dari awal.
Tadi ada yang bertanya, dari mana kita harus mulai? Mulainya itu adalah kita mengharapkan nanti tahun 2014 ada presiden dan menteri pendidikan yang mempunyai perhatian. Kita boleh saja menerima anggaran pendidikan 20 persen yang mendekati 100 triliun. Tetapi, apabila tidak mempunyai rencana, mau apa lagi? Mau dibagi-bagikan saja, bermutu tidak bermutu tidak diperhatikan yang penting uang habis? Kalau menteri pendidikan tidak mempunyai rencana, hanya didekte oleh bawahan-bawahannya, terjadilah seperti sekarang.
Apa yang hendak diperbaiki tentang rintisan sekolah berstandar internasional? Tanya kepada menteri pendidikan kita, itu bagus atau tidak bagus? Dia akan melihat ke direktur jenderal pendidikan tinggi apakah itu sesuai atau tidak? Jika menteri pendidikan kita dapat mempunyai program, tentu akan mulai dengan mengatakan akan memperbaiki sekolah dasar, lalu sekolah menengah, lalu universitas. Jangan seperti sekarang ramai-ramai membingungkan diri apakah kita sudah menjadi universitas berkelas dunia dan menempati kedudukan nomor lima atau sepuluh. Itu semua hanya meninabobokkan diri kita sendiri.
Kita tidak perlu dari satu ekstrim ke ekstrim lain. Masalah akronim itu akibat dari kerumitan kekomplekan budaya modern. Lihat saja pengaruh komputer dan internet, seperti “online” yang harus diartikan. Komputer dan internet ikut membantu pertumbuhan akronim-akronim yang baru di dalam bahasa. Masalahnya, apakah kita merasa terpanggil untuk mengompakkannya ke dalam bahasa kita?
Mana yang lebih lazim dipakai sampai sekarang, “download” atau “mengunduh”, “upload” atau “mengunggah”, “mouse” atau “tetikus.” Kalau “tetikus” seperti tikus, ditertawakan. Usaha untuk mengindonesiakan saja ditertawakan. Kita memang beranggapan tidak bisa lebih bagus dari bahasa Inggris.
Media pers memiliki kewenangan untuk juga mengembangkan peristilahan yang tidak bisa menjadikan monopoli Pusat Bahasa. Dari anda juga diharapkan daya cipta, misalnya bagaimana mengindonesiakan bailout. Bailout itu bukan “dana talangan” atau “tidak menalangi.” Inti makna bailout adalah penyelamatan dengan suntikan uang untuk menghindari kebangkrutan.
Inilah antara lain yang membawa ke permasalahan betapa pentingnya kamus untuk wartawan. Saya rasa kamus belum menjadi sahabat anda (wartawan). Sebab, andaikata jadi sahabat, tidak akan muncul kata yang di bahasa Indonesia modern itu menimbulkan pertanyaan. Untuk itulah dianjurkan sekurang-kurangnya di setiap kantor harus ada kamus bahasa Inggris dan kamus bahasa Indonesia. Jika tidak ingin memakai kamus bahasa Inggris yang monoligual, belilah kamus dwi bahasa: Inggris-Indonesia. Yang saya pakai sekarang ialah kamus Inggris-Melayu.
Mauluddin Anwar:
Pak Profesor (Anton M Moeliono) sudah luar biasa memberikan
pencerahan kepada kita, terutama media. Sesungguhnya saya ingin katakan betapa kita sering melakukan kesalahan dan salah kaprah dalam penggunaan bahasa yang mestinya baik dan benar, meskipun tidak ketinggalan zaman.
Saya setuju apa yang digelisahkan Mas Arya Gunawan. Tapi, yang paling merisaukan adalah bahasa anak-anak sekarang, terutama yang digunakan untuk SMS. Anak umur 12 tahun kadang-kadang menggunakan satu huruf “g” untuk bermacam istilah atau kemungkinan dalam berbahasa. Mau tidak mau itu pun akhirnya mempengaruhi bahasa gaulnya anak-anak dan juga masuk ke acara televisi. Anak-anak sekarang punya program di televisi. Bahkan infotainmen membawa kata-kata yang biasa digunakan anak muda, yang menurut saya sudah melangkah dari bahasa baku.
Bisa dibayangkan, kita sekarang sudah resah dengan begitu banyaknya bahasa, akronim, apalagi 10 atau 20 tahun yang akan datang. Setelah anak-anak tumbuh dan menjadi wartawan atau memimpin, betapa rusaknya bahasa mereka. Saya lebih konsen pada masalah itu daripada misalnya penggunaan istilah-istilah yang sebetulnya tidak lebih banyak digunakan. Timbul bahasa-bahasa baru yang digunakan anak-anak sekarang, terutama lewat SMS dan facebook.
Betul, sambil menunggu sikap pemerintah yang susah diharapkan, media juga harus punya komitmen sendiri bersama-sama. Harus ada komitmen dari masing-masing media, mungkin menolak kalau ada istilah-istilah yang tidak lazim dan dipaksakan oleh pemerintah. Kita tahu pemerintah pusat sampai ke daerah gampang sekali menggunakan istilah. Misalnya “Tangerang Beriman” (bersih, indah, aman). Itu penciptaan yang mempersulit pengertian kita.
Salah satu hal yang paling menerima dampak munculnya akronim adalah warga asing yang mempelajari bahasa Indonesia dan terutama warga negara Indonesia yang sudah lama tidak ke Indonesia. Itu yang pernah disampaikan Mas Farid, dalam sebuah kesempatan, bahwa munculnya akronim yang salah kaprah akan makin membingungkan warga negara asing untuk mempelajari bahasa Indonesia. Media cetak, misalnya, menyebut sebuah perusahaan dengan singkatan PT. ALS. Tapi, sehari kemudian media itu menggunakan singkatan yang sama untuk perusahaan lainnya. Belum lagi orang Indonesia suka berebut istilah. Misalnya, LSI saja ada: Lingkaran Survei Indonesia, Lembaga Survei Indonesia.
Memang sudah saatnya media ikut memperbaiki penggunaan bahasa. Sekarang di masing-masing media saya rasa sudah ada litbang yang menangani persoalan bahasa. Tapi, mungkin belum ada tindakan yang lebih galak. Kalau kita tidak bisa menunggu langkah dari pemerintah, mengapa media tidak menciptakan atau hanya menggunakan bahasa yang baku yang akan dipakai masyarakat.
Media tidak harus menggunakan banyak akronim. Misalnya di televisi, nama PT Salamah Arwana Lestari dalam kasus Susno Duadji tidak disebut PT SAL. Yang kita gunakan awalannya yaitu PT Salamah. Itu salah satu yang kita bakukan. Daripada menggunakan akronim lebih baik menggunakan kata pertama dari sebuah nama yang panjang. Sudah saatnya media ikut memperjuangkan bahasa kita agar tidak punah atau rusak seperti yang kita risaukan.
Mengenai kriteria akronim yang lazim dan mudah diucapkan, beberapa akronim sudah akrab di masyarakat, misalnya “KPK”. Komisi Yudisial belum cukup terkenal maka kita tidak akan gunakan “KY”. “KPK” selain enak didengar juga lazim digunakan, dan di SCTV diperbolehkan digunakan. Tetapi, misalnya “UKP3R” atau singkatan lain yang panjang dan susah menyebutkannya, maka biasanya ditinggalkan atau tidak dipakai.
Uu Suhardi:
Ada pertanyaan, bagaimana kita mengetahui akronim itu bisa dipahami pembaca? Justru kita tidak tahu makanya kami (Tempo) menolak akronim. Seperti “lansia” atau “manula” tidak kita pakai.
Kadang-kadang ada akronim yang lolos karena itu perkataan dari narasumber yang harus dilaporkan apa adanya.
Soal pembakuan kaedah akronim, seperti yang saya sampaikan, akronim itu banyak untuk main-main. Akronim juga menjadi kata sandi dan kalau dibakukan bukan rahasia lagi. Yang bisa dilakukan media adalah menolak akronim yang main-main.
SESI DIALOG
Eman Dapa Loka (Majalah Inspirasi, Peserta):
Beberapa waktu lalu ketika Paul, si gurita peramal, berhasil meramal bahwa Spanyol akan menang (dalam Sepakbola Piala Dunia), timbul berita-berita di Indonesia begini: “Si Paul berhasil meramal, dia mau digoreng.” Sering kali pers menggunakan kalimat pasif lalu membuat kalimatnya menjadi tidak jelas.
Saya mencoba menganalisanya, apakah karena ada keinginan dari wartawan untuk menyembunyikan subyek atau karena pengaruh bahasa daerah yang selalu menggunakan kalimat aktif?
Sepertinya tadi disepakati boleh menggunakan akronim tapi harus jelas aturannya atau dibakukan agar tidak menimbulkan kebingungan. Pertanyaan saya, baku seperti apa? Misalnya, kita mau gunakan “markus” atau “maksus”? Karena penggunakan “markus” merupakan bentuk kriminalisasi terhadap “Markus” yang orang suci itu.
Galih (Harian Kompas/Peserta):
Profesor Anton Moeliono mengatakan untuk menghindari kerancuan penggunaan akronim perlu ada pembakuan. Permasalahannya, pemakai bahasa Indonesia tidak mau atau tidak mau tahu sehingga mereka seenaknya menggunakan akronim. Tidak hanya akronim tetapi juga bahasa Indonesia yang lain. Misalnya penggunakan “merubah” yang seharusnya “mengubah”. Saya pernah tanyakan hal ini di sebuah kelas SMA. Hampir setengahnya mengatakan yang benar adalah “merubah”. Ketika saya jelaskan mereka kaget bahwa “merubah’ itu sama dengan “menjadi rubah.”
SMS ternyata berperan cukup besar dalam penggunaan dan pembuatan akronim karena hanya menyediakan sedikit karakter, sementara penulis SMS harus pandai mengatur. Misalnya ada “TTDJ” yang artinya “hati-hati di jalan.” “Jl Gatot Subroto pamer paha” artinya “padat merayap tanpa harapan.”
Kompas pernah menggunakan “Kepala Polri” alih-alih “Kapolri”. Alasannya untuk menghindari pemakaian singkatan dalam singkatan. Namun, sekarang mau tidak mau menggunakan “Kapolri” dengan alasan area judul yang sempit. “Kepala Polri” sudah tidak efisien dan masyarakat lebih mengetahui “Kapolri”.
Penamaan “KontraS”—kalau kita perhatikan huruf “S” di belakang nama itu huruf kapital. Mana yang akan kita ikuti, KontrasS dengan “S” kapital di belakang karena nama diri, atau hanya “K” yang besar? Sekarang memang ada organisasi atau lembaga yang suka membuat akronim dengan huruf kecil atau besar di tengah, seperti memang berantakan.
Apolo (Harian Kompas, Peserta):
Akronim tidak harus ditakuti. Kita perlu akronim. Kompas memang punya sikap: diharamkan menggunakan akronim untuk judul. Akronim tidak perlu ditakuti tapi tergantung bagaimana media massa bersikap, tidak serta merta mengikuti akronim yang muncul.
Lembaga apakah yang bertanggung jawab menegur media massa yang menggunakan akronim yang tidak taat asas atau kaedah yang ditetapkan?
Tempo, misalnya, mengharamkan akronim tapi bisa juga dikatakan sekali-kali menggunakan akronim, contohnya “DPR”. Mereka tidak
memberi kepanjangannya karena pembaca sudah tahu. Namun, ada pemikiran lain. Penyebutan “DPR” harus tetap diberi kepanjangannya dengan pemikiran entah berapa tahun kemudian, ketika ada orang membaca Tempo, sudah tidak tahu lagi apa yang dimaksud “DPR” kalau tidak diberi kepanjangannya.
Media massa bisa meredam akronim asal ada niat baik bersikap untuk menghambat penyebarannya secara terus menerus.
Yaya (Peserta):
Kementerian Aparatur Negara bekerjasama dengan Universitas Indonesia menyusun kerangka reformasi birokrasi. Pada bagian akhir perumusan, saya dilibatkan, dua tahun lalu. Masalah akronim dan singkatan masuk ke dalam bagian tata naskah dinas dalam reformasi birokrasi. Di dalam tata naskah dinas, atau saya menyebutnya ragam bahasa birokrasi, ada banyak penggunaan akronim seperti “a.n.” Ini betul-betul berkaitan dengan implementasi reformasi birokrasi. Waktu itu saya sangat setuju jika reformasi bahasa birokrasi menjadi bagian dari sasaran Menpan karena memang Pusat Bahasa berada di dalamnya. Waktu itu saya mendapat tugas dari Pusat Bahasa untuk bersama-sama dengan tim kecil.
Saya mendapat tugas untuk menyusun seluruh akronim yang ada di buku Depdikbud. Dan ternyata memang berkelimpah, sulit sekali dibakukan. Oleh karena itu, keputusannya adalah membuat pola yang dasarnya enak didengar. Waktu itu kami menyisipkan bahwa yang harus ditambahkan dalam pembentukan akronim bukan hanya keselarasan, kaedah, dan kelaziman dalam bunyi bahasa Indonesia tetapi juga tidak berkonotasi buruk. Sebab, terutama di daerah, akronim sedikit-dikit diplesetkan. Plesetannya porno. Karena itu, sekda (sekretariat daerah) diganti menjadi setda, sedangkan sekretarisnya menjadi sesda.
Saya mencoba menaatasaskan melalui ejaan yang disempurnakan (EYD) dan memang masih banyak kekurangan, belum tertampung semua. Karena itu, saya memaslahatkan kamus sebagai bagian dari penelitian saya untuk membuat pola-pola yang lebih manis, yang enak didengar tetapi tidak melanggar kaedah.
Saya sedih sekali mendengar “Bandara Suta” sebagai singkatan “Bandara Soekarno Hatta.” Soekarno Hatta kebanggaan kita sehingga bandara diberi nama itu. Tetapi, mengapa diakronimkan menjadi “Suta?” Sepertinya lebih beken tapi tidak positif.
Kondisi sosial kita memang sangat luar biasa. Dengan 760 lebih kultur bangsa, lewat yang disebut bahasa daerah, ikatan emosi sangat tinggi. Kondisi kebahasaan, umumnya memilih kata, banyak sekali yang ditautkan dengan emosi kultur. Karena itu, akronim atau singkatan tidak perlu diharamkan. Lagi pula mari kita hindarkan konsep atau istilah yang berkaitan dengan kaedah keagamaan. Kaedah agama jelas itu perintah yang Maha. Gunakan metafor yang lain, jangan menyebut haram dan halal. Saya merasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai Indonesia satu, ikut membudayakan kata “fitnah”: “Saudara, ini budaya fitnah”. Saya kira beliau bisa menghindarkan kata itu.
Konotasi bahasa yang diplesetkan, yang buruk, mungkin bisa diredam walaupun tidak disebut haram. Sebenarnya media massa sebagai pengguna, seperti juga saya pengguna akronim. Jadi, kalau sudah ada acuan, kita coba mengimplementasikan acuan itu sejauh mungkin, sebanyaknya, kalau memang perlu. Jangan keluar dari konsep yang disepakati. Sebagai pengguna, media massa kalau perlu meminta kepada Pusat Bahasa, atau Pusat Bahasa yang harus memberikan seluruh hasil glosarium kepada pengguna. Nomor satu yaitu kepada sektor pendidikan dan jurnalistik.
Sulistino (Suratkabar Mitra Indonesia/Peserta):
Sering kali media kecil menjadi korban dari media besar seperti Kompas, Tempo. Saya ingat sekali kata “memesona”. Di Kompas keluar kata “memesona.” Kami jadi rebut, mana yang benar, “memesona” atau
“mempesona?” Tempo tetap “mempesona”. Ada banyak contoh lagi kata baru yang dibuat media besar dan kemudian media kecil, supaya keren, ikut juga.
Bisa tidak untuk istilah baru atau akronim, media-media besar berkompromi mau pakai yang mana.
TANGGAPAN PEMBICARA
Uu Suhardi:
Untuk penyebutan “DPR,” di Tempo disebutkan dulu kepanjangannya baru kemudian ditulis “DPR.” Sehingga orang tidak lupa puluhan tahun nanti bahwa DPR itu Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam diskusi di Pusat Bahasa saya selalu menyarankan, mari kita perangi akronim. Sebagian menanggapi setuju walaupun hati-hati karena begitu banyaknya akronim dan begitu kerasnya perjuangan untuk itu. Tapi, yang penting niat untuk melawannya.
Soal “memesona” atau “mempesona”, Tempo punya kebijakan bahwa bahasa selain soal kaedah juga terkait dengan rasa. Tempo merasa “mempesona” lebih berbunyi daripada “memesona”. Kami sempat mengadakan rapat, mengumpulkan semua wartawan, mana yang mau dipakai, “memesona” atau “mempesona”? Enak “mempesona” maka dipakai “mempesona”. “Memengaruhi” atau “mempengaruhi”? Kami sepakat memakai “mempengaruhi” karena lebih enak. “Memosisikan” atau “memposisikan”, sebagian besar memilih “memposisikan”.
Mauluddin Anwar:
Ada semacam dilema terutama di televisi—kalau di media cetak dilemanya tidak terlalu besar. Seperti tadi disampaikan Mas Uu dari Tempo, mana yang diambil, “memesona” atau “mempesona”? Kalau di televisi ada pertimbangan lain: gampang diucapkan.
Ketika SCTV mendapatkan hal-hal baru dari Pusat Bahasa, dilemanya, apakah kita mau mengambil kata baku tetapi masih asing dan kita ikut andil di dalamnya untuk memasyarakatkan atau mengambil yang sudah memasyarakat dan kita ikut bersama menggunakannya? Misalnya kata “mengunggah” atau “meng-upload”. “Mengunggah” kelihatan sekali mudah diucapkan.
Bagaimanapun kita tetap membutuhkan pedoman baku, sehingga kita tahu mana yang benar mana yang salah. Tentu saja kita akan mengambil yang benar kalau bisa. Tapi, sekali lagi, ada beberapa pertimbangan lain, termasuk untuk televisi, yaitu harus enak didengar, mudah diucapkan, dan masyarakat pun tahu apa artinya.
Kalau kita baca novel Remy Silado, banyak kata baru yang tidak dikenal tetapi baku. Apakah kita mau membawa bahasa Mas Remy ke berita televisi yang harus dipahami oleh anak kecil sampai profesor? Itu dilema yang harus kita jawab. Kita harus memasyarakatkan kata-kata yang baku tetapi juga tidak susah untuk dimengerti masyarakat.
Anton M. Moeliono:
“Fatwa” dalam bahasa Melayu “petuah”, sekedar nasehat. Saya ingin mulai apa yang kita simpulkan dari dialog mengenai pembakuan. Menetapkan baku pemakaian akronim dan singkatan. Salah satu yang menarik yang diungkapkan Kompas: di dalam Tajuk jangan memakai akronim. Ini, misalnya, bisa menjadi kaedah yang disepakati dan menjadi baku untuk semua media.
Kaedah lain yang dapat disepakati ialah akronim pemerintah jangan dipakai sebagai akronim lagi karena kita tidak bisa mengubah akronim pemerintah. Biar birokrasi yang menggunakan akronim. Jadi, akronim berlaku untuk wilayah, ranah, dan daerah yang berkepentingan. Untuk angkatan bersenjata silahkan mau memakai “alutsista”. Atau Lemhamnas mau bercakap tentang Epoleksosbud. Tapi, jangan dibiarkan merambah ke wilayah lain.
Saat mengutip satu akronim, tetap tulis lengkapnya. Ini memberi pendidikan bahwa media tidak sekadar menggambarkan apa yang menjadi kebiasaan di dalam masyarakat. Kadar pendidikan masyarakat Indonesia kira-kira 70 persen masih hanya lulusan sekolah dasar. Di dalam pendidikan, apakah kita menurunkan diri atau kita angkat mereka? Itu menjadi sikap.
Beralih ke pemakaian bahasa yang tepat, saya senang dipakai “mengubah” dan “berubah”. Di situlah saya ingin menganjurkan kalangan media massa mengikuti pola paradigma yang dianjurkan oleh Pusat Bahasa.
Sebagai contoh: kaitan makna antara penulisan dan tulisan menjadi jelas jika saya deretkan: menulis, penulis, penulisan, tulisan. Ini hendaknya dijadikan patokan. Menulis itu verbanya, penulis itu pelakunya, penulisan itu prosesnya, tulisan itu hasilnya. Jika pola ini diterapkan pada yang lain dalam bahasa Indonesia maka menjadi: mengubah, pengubah, pengubahan, ubahan. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itu “diubah” yang berasal dari “mengubah” bukan “berubah”. Panitia kerja di MPR atau DPR menjadi panitia “pengubah” dan prosesnya “pengubahan”, hasilnya “ubahan” bukan “perubahan”.
Di sini kita bisa mencerdaskan pemakaian bahasa Indonesia, bisa meningkatkan kualitas pemakaian. Mungkin sekali pemerintah pun harus diajari bagaimana berbahasa Indonesia. Maklum, mayoritas PNS hanya Sekolah Menengah Atas.
Di dalam bahasa Indonesia, jika kalimatnya dipusatkan kepada pelakunya, maka dipakai kalimat aktif. Jika tekanannya tidak pada subyek sebagai pelaku, dibuat kalimat pasif. Dalam hal ini media massa sebagai langkah pertama dapat mengoreksi diri dalam pemakaian bahasa “pencuri berhasil ditangkap”. Di sini yang berhasil polisi kan? Keanehan logikanya akan muncul jika “berhasil” diubah menjadi “berusaha.” Pencuri tidak berusaha ditangkap, karena dia justru berusaha untuk tidak ditangkap.
Soal SMS, di sini kita menjadi guru masyarakat. Jika SMS dibahasaindonesiakan menjadi “surat menyurat singkat,” anda kan tidak mengirim surat menyurat singkat? Yang anda kirim adalah pesan singkat. Di dalam bahasa Inggris namanya a text message. Kita bisa memasyarakatkan menjadi “pesan teks” bukan “SMS”. Dari sudut jumlah suku, “pesan teks” itu lebih ringkas dari SMS.
Masalah nama KontraS, dipersoalkan yang dianggap serius. Pada hemat saya apakah kapital ditulis di tengah, di awal, atau di akhir itu daya kreativitas orang perorang. Dia mau menulis namanya dengan sedikit variasi. Bagi saya tidak untuk segala hal harus ada polisi. Dahulu ada seorang yang terkenal di dunia sastra dari Aceh, namanya Meraxsa. Meraxsa ditulisnya dengan huruf “x”. Apakah hal itu salah? Di Indonesia warga negara sudah begitu terbatas kebebasannya, biarlah dia menikmati kebebasan yang terbatas itu.
Soal “memesona”, sayang sekali bahwa saya tidak ikut di dalam perundingan untuk menaatasaskan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia sebenarnya mengenal beberapa “per”. Ada “per” yang berasal dari “pra”. Seperti “perwira” dari “prawira.” Itu menjadi bagian dari kata yang dapat diluluhkan. “Pesona” yang aslinya bahasa Arab Persia “absun”, jika mau taat asas menjadi “memesona.” Tetapi, setiap kaedah tentu ada perkecualiannya, entah karena bunyi dan lainnya. Itu dibolehkan saja, disepakati.
Ada “per” yang berasal dari ‘ber.” “Mempersuamikan” menjadikan “bersuami.” “Memperhatikan” menjadi “berhati-hati.” Di situ sudah dibuah “ber” menjadi “per,” jangan diubah lagi menjadi “mer”. “Mempertemukan”, “memperbandingkan” berasal dari “ber” yang memang tidak diajarkan di sekolah.
Saya mengakui, demi kebebasan dari media pers, alangkah bersyukurlah kita kalau anggota media pers bersepakat mau “memesona” atau “mempesona.” Kalau dianggap “mempesona” lebih berbunyi, silahkan dipakai, dianggap sebagai perkecualian.
Yang saya maksudkan pembakuan yaitu ada kesepakatan pendapat di antara warga, di antara wilayah pers. Mana-mana yang tidak dapat
disanggah oleh pers karena kuasa yang lebih tinggi, kita hindari. Walaupun badan pemerintah menyebut dirinya “bakosutarnal,” tidak usah diambil alih “bakosutarnal.” Tulis lengkapnya saja. Bahwa di kalangan birokrasi ada penjelasan yang terang, itu tanggung jawab mereka. Untuk memberi informasi yang jelas kapada pembaca, kita tidak wajib memakai akronim. Jika memakai akronim harus ada jaminan akronim itu dipahami. Anda selaku wartawan bersepakatlah dan tidak perlu memakai akronim.
Jika ada orang ingin memakai akronim selama tidak memakai bentuk tertulisnya, tidak menjadi masalah. Kita tidak mungkin mengatur bahasa gaul. Bahasa gaul mempunyai hak hidup tersendiri. Biarkan. Jangan ingin mengatur bahasa gaul. Kita berhubungan dengan bahasa formal.
Jika ada orang asing yang mengeluh berkata “saya belajar bertahun-tahun bahasa Indonesia di universitas, datang ke Indonesia tidak ada yang mengerti. Saya memakai bahasa formal sedang rakyat memakai bahasa tak formal, bahasa sehari-hari.” Itulah keadaan Indonesia yang belum maju.
Kita menghadapi keadaan, istilah kerennya, diglosia. Ada bahasa sehari-hari yang tidak formal yang apa saja boleh dan bahasa yang baku. Bahasa baku inilah yang akan memajukan bangsa Indonesia. Kalau ada orang asing memakai bahasa yang baku di warung kopi, paling-paling dia sedikit diketawakan tapi dipahami. Lebih baik dia membuat kesalahan karena bahasanya terlalu formal daripada tidak. Berlakulah di sini peristiwa yang masih saya ingat ketika Menteri Pendidikan Wardiman bercerita kepada saya: Wakil Menteri Pendidikan Australia datang ke Indonesia yang sebelumnya mempelajari bahasa Indonesia. Dia sama sekali tidak tahu kelaziman tutur sapa: “Selamat siang bapak menteri, bagaimana kamu sekarang?” “Kamu” adalah “you”.
Rita Sri Hastuti:
Apa yang disampaikan Pak Anton barangkali karena bahasa Indonesia masih terus berkembang. Inilah tantangan media massa untuk ikut mencerdaskan bangsa. Kesempatan kita menentukan atau memilih kata yang tepat itu terkait dengan bisa diterima atau tidak oleh masyarakat. Kalau memilih bukan sekedar memilih tetapi betul-betul paham. Akrablah dengan kamus.*
(Naskah ini dimuat di dalam buku “Etika Penyiaran, Bahasa Jurnalistik, dan Peran Pers dalam Diplomasi” yang diterbitkan LPDS tahun 2010. Buku tersebut memuat pemikiran yang muncul dalam tiga hari lokakarya media massa yang diselenggarakan untuk memperingati ulang tahun LPDS ke-22)
Published in