Permasalahan Berbahasa (Bagian I)

Oleh Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang

I. a. Pendahuluan

Topik pembicaraan tertera di atas merupakan salah satu mata pembahasan pada
“Lokakarya Jurnalistik untuk Redaktur”; alhamdulillah, saya mendapat kehormatan dari Ketua Dewan Pers dan Ketua Lembaga Pers Dr. Soetomo untuk menjadi pembicaranya. Untuk itu, saya menyampaikan terima kasih yang tulus.

Permasalahan berbahasa bermakna �hal yang menjadikan masalah, hal yang dipermasalahkan, atau persoalan menggunakan bahasa� (KBBI, 2003:719; 90). Untuk memberikan gambaran tentang permasalahan berbahasa atau permasalahan memakai bahasa dalam kondisi masyarakat seperti negara kita ini, saya memanfaatkan pendekatan sosiolinguistik karena permasalahan penggunaan bahasa memang termasuk ke dalam wilayah kajian sosiolinguistik, terutama jika pembahasannya menurut konteks sosial penggunaannya. Sosiolinguistik adalah studi bahasa yang membahas permasalahan utama bahasa dalam konteks sosial dan kebudayaan. Studi dengan pendekatan ini menghubungkan faktor-faktor kebahasaan, ciri-ciri, dan ragam bahasa dengan situasi serta faktor-faktor sosial dan budaya. Selain itu, sosiolinguistik merupakan studi tentang fungsi-fungsi sosial dan penggunaan bahasa dalam masyarakat.

Untuk pembahasan, sekurang-kurangnya, saya menyampaikan hal-hal berikut: (1) kedaan kebahasaan di Indonesia yang bilingualisme dan diglosia, termasuk bilingual dan bilingualitasnya); (2) komponen sosiolinguistik (SPEAKING) sebagai faktor dominan dalam berbahasa yang baik dan benar, (3) pemakaian dan pemakai bahasa jurnalistik sebagai register (laras bahasa) berikut ciri-cirinya, (5) dampak globalisasi terhadap sikap bahasa, (6) kualitas BI laras bahasa jurnalistik serta contoh kasusnya.

b. Keadaan Kebahasaan di Indonesia yang Bilingualisme dan Diglosia Takstabil

Situasi kebahasaan di Indonesia amat kompleks karena terdapat sejumlah besar bahasa di Indonesia tercinta ini. Di dalam kehidupan sosial serta aktivitas sehari-hari anggota masyarakatnya, di samping BI, dipakai juga bahasa-bahasa daerah (BD) yang konon lebih dari 760-an jumlahnya, beserta variasi-variasinya, dan bahasa asing (BA) tertentu sesuai dengan fungsi, situasi, serta konteks berbahasa. BI berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara/bahasa resmi, bahasa-bahasa daerah berfungsi sebagai bahasa komunikasi intraderah, dan bahasa asing berfungsi sebagai bahasa komunikasi internasional umum.

Situasi kebahasaan di Indonesia seperti digambarkan di atas, jika dipandang dari sudut masyarakat itu atau adanya lebih dari satu bahasa dalam masyarakat itu, dapat disebut bilingualisme secara kemasyarakatan/societal bilingualism. Sehubungan dengan kedudukan BI sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, serta adanya kontak antarbahasa daerah di dalam daerah atau wilayah yang sama, banyak anggota masyarakat Indonesia merupakan bilingual secara perseorangan/individual bilingualism. Selain itu, jika dipandang dari pembedaan fungsi-fungsi bahasa tertentu dalam masyarakat, masyarakat Indonesia dapat juga disebut masyarakat diglosik. dengan bahasa Indonesia sebagai “variasi tinggi” dan bahasa daerah sebagai “variasi rendah” karena secara resmi dan umum, BI seyogianya dipakai dalam situasi formal dan umum oleh penutur antarbahasa daerah, dan bahasa daerah dipakai dalam situasi interaksi penutur dalam suatu bahasa daerah.

Berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama; penutur ini disebut bilingual/multilingual. Kesanggupan atau kemampuan seseorang berdwibahasa/menggunakan dua bahasa atau lebih disebut bilingualitas. Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching), campur kode (code-mixing), dan interferensi (interference). Dengan kata lain, ketiga gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme.

Alih kode adalah penggunaan dua bahasa atau variasi bahasa secara berganti-ganti di dalam wacana yang sama. Ini berarti bahwa si pembicara/bilingual itu beralih dari perangkat sistem bahasa yang satu ke perangkat sistem bahasa yang lain, seperti dari BI ke BD atau ke BA; dapat juga dari ragam formal ke ragam santai atau dari satu dialek ke dialek lainnya. Dengan kata lain, penutur yang menggunakan alih kode itu merupakan seorang bilingual tinggi (imbang). Alih kode terjadi karena dorongan psikologis serta faktor sosial dan situasional, seperti tuntutan suasana tutur, misalnya emosional, ingin berpamer/prestise, atau karena identitas dan hubungan interlokutor, misalnya sama etniknya, atau karena seting/domain peristiwa tutur dan topik pembicaraan dari yang resmi ke takresmi; misalnya dari dalam ke luar studio, seperti di lapangan TKP, dari topik kedinasan ke topik umum, atau sebaliknya. Bentuk linguistiknya bisa terjadi dalam tataran intra- dan antarkalimat; dalam intrakalimat alih kode itu berupa frasa atau klausa; dalam antarkalimat berupa kalimat. (Contoh dapat dilihat dalam Bagian II.)

Campur kode berbeda dari alih kode; campur kode adalah pengambilan elemen secara tetap dari bahasa lain ke dalam bahasa yang sedang dipakai karena tidak ada elemen yang tepat dalam bahasa yang dipakainya itu. Dengan kata lain, elemen yang diambil itu milik sistem yang berbeda. Motivasinya adalah motivasi linguistik dan hasrat untuk menjelaskan/interpretasi semata; tidak didorong/tidak dipengaruhi oleh faktor situasional . Bentuk linguistik campur kode yang paling tinggi, khususnya di Indonesia, berupa leksikalisasi. Di India terdapat campur/pembauran kode antara bilingual Hindu dan Inggris yang disebut Hinglish (Kachru, 1978:28); di Filipina pembauran antara bahasa Tagalog dan bahasa Inggris yang disebut Taglish atau hula-hula atau mix-mix (Sibayan, 1977:17); di Hongkong pembauran antara bahasa Cina dan Inggris yang disebut Cinglish (Wong, 1979:1); di Malaysia pembauran kode antara bahasa Melayu dan Inggris yang disebut campur bahasa/language mixture (Abdullah, 1979:17). Di Indonesia campur kode antara BI, BD, atau BA disebut bahasa gado-gado (Nababan, 1977).

Di samping pembauran/campur kode, ada yang disebut peminjaman bahasa (borrowing). Terjadinya peminjaman dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain didasari oleh kemampuan minimum bilingual/dwibahasawan, baik bilingual secara perseorangan maupun bilingual secara kemasyarakatan, dalam kedua bahasa tersebut. Bentuk linguistik yang dipinjam cenderung pada tataran leksikal/terminologi.

Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual juga akan menimbulkan gejala interferensi (pengacauan); inteferensi adalah perubahan bentuk bahasa sebagai akibat dari penerapan dua buah sistem bahasa yang berbeda secara serempak pada diri seorang bilingual/multilingual. Inteferensi terjadi pada semua tingkat unsur kebahasaan: pada tata ucap, tata bentuk kata, tata kalimat, atau tata arti kata. Timbulnya ragam bahasa takresmi dapat dikatakan sebagai akibat interferensi ini. Gejala ini tidak menguntungkan bagi perkembangan BI karena mengacaukan norma BI.

Setakat ini amat terasa bahwa keadaan kebahasaan di negara kita yang bilingual/multilingual dan diglosik ini cenderung takstabil. Ini ditandai oleh kenyataan bahwa fungsi bahasa-bahasa yang ada di Indonesia ini sudah saling berebut ranah pemakaian. Keadaan ini disebut sebagai kebocoran atau ketirisan diglosia.

Sebenarnya, adanya dua bahasa atau lebih di dalam masyarakat tidak harus menimbulkan persaingan atau tidak perlu dipersaingkan oleh penutur, baik untuk dipakai maupun untuk dipelajari. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Melayu, khususnya Melayu Betawi/dialek Jakarta dan BI takresmi/ragam bahasa gaul, yang tergolong ke dalam ragam rendah itu, kini cenderung mengambil alih ranah-ranah pemakaian bahasa Indonesia ragam T; misalnya, di ranah pekerjaan, di ranah sekolah/kampus, di radio, televisi, atau media yang lain.

Dengan gambaran situasi kebahasaan dikemukakan di atas, tampak bahwa bilingualisame/multilingualisme itu sendiri sudah menjadi permasalahan utama dalam berbahasa. Begitu juga domain/ranah pemakaian bahasa, yaitu tingkah laku kebahasaan dalam hubungannya dengan situasi atau tempat suatu ragam bahasa tertentu digunakan. Ranah pemakaian bahasa terdiri dari sembilan jenis: (1) keluarga/family, (2) tempat bermain/play group dan jalan, (3) sekolah/school, (4) gereja (church), (5)kesusatraan/literature, (6) media massa/the press, (7) pengadilan/court, (8) militer/military, dan (9) administrasi pemerintahan/office (Fishman, 1972).

Redaktur/jurnalis sebagai salah satu lapisan masyarakat Indonesia juga merupakan individu-individu yang bilingual/multilingual. Oleh karena itu, di dalam tugas pokok dan fungsinya (tupoksinya) sebagai redaktur, permasalahan berbahasa bukan saja menjadi bagian yang dihadapi melainkan juga menjadi tuntutan untuk mampu mengatasinya., khususnya di dalam pelaksanaan tugas penyuntingan sebagai salah satu kewajiban redaktur, terlebih lagi manakala mereka menjadi penyusun berita juga.

Gambaran kecenderungan terdapatnya ketirisan diglosia di atas juga perlu disadari oleh para redaktur media massa. Tuntutan terhadap sikap bahasa yang positif terhadap pemakaian BI yang baik dan benar (sesuai dengan konteks dan situasi) amatlah diharapkan. Sudah barang tentu hal ini di luar pemilihan gaya bahasa para jurnalis yang produknya disunting. Mereka yang notabene berlatar belakang multilingual/ multikultur itu dapat mempertahankan gaya bahasanya (sebagai hak asasi perseorangan) sehingga para pembaca/pendengarnya bukan saja karib karena tampang dan suara melainkan juga karena pilihan variasi dan gaya bahasa yang melekat pada tulisannya atau tuturannya. Di samping itu, produk redaktur tersebut juga harus telah memenuhi pertimbangan dari aneka segi, terutama dari segi latar belakang pembaca atau pendengarnya/pemirsanya yang sangat heterogen, baik dari sisi etnik/bahasa ibunya, pendidikan, kelas sosial, kelompok usia, domisili (desa-kota) maupun gendernya.

c. Komponen Sosiolinguistik (SPEAKING) sebagai Faktor Dominan dalam Berbahasa yang Baik dan Benar

Untuk memberikan gambaran yang akurat tentang pemakaian bahasa dalam masyarakat yang bilingual/multilingual, Hymes (1962) merekomendasikan pendekatan sosiolinguistik karena dia memandang bahwa bahasa bukanlah sistem yang homogendan tertutup melainkan sistemyang terbuka dan heterogen, yang dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor luar bahasa (ekstralinguistik). Bahasa bukanlah sistem yang monolitik melainkan sistem yang terdiri dari banyak ragam yang berbeda-beda, dan setiap ragam atau perubahan bahasa itu di dalam kenyataannya tidaklah bebas tetapi berhubungan dengan sistematik perbedaan sosial.

Hymes berpandangan bahwa faktor sosial yang mempengaruhi perbedaan-perbedaan kebahasaan itu adalah apa yang disebut komponen SPEAKING, yaitu:
Setting: tempat (di warteg, kantin, kafe, restoran; tempat ibadat; tempat rekreasi; di rumah, pasar, sekolah, kantor, studio penyiaran, pengadilan, tempat olahraga); waktu (waktu senggang/waktu kerja); situasi (resmi/takresmi)

Participants: orang yang terlibat dalam tidakkomunikasi (khususnya lawan bicara) dengan variabel umur (kanak-kanak,remaja, dewasa, orang tua); jenis kelamin/gender: lelaki dan perempuan; lokasi (sekolah/liuar sekolah); keadaan sosial ekonomi (kaya, menegah, miskin); pendidikan (TK/SD/SLTP/SLTA/PT/Universitas); pekerjaan (pegawai/karyawan, buruh, PNS/Swasta/ABRI); organisasi, suku, agama, dan keturunan; jarak sosial (atasan/bawahan), buta huruf, terdidik; etnik/bahasa ibu:Jawa, Sunda, Bali, Makassar, dan Bugis; bangsa:Arab, Cina, dst.

Ends: tujuan yang hendak dicapai, harapan terhadap tujuan yang dikomunikasikan; sekadar menyampaikan informasi/untuk mempengaruhi

Act sequence: yang hendak dikomunikasikan (pikiran, perasaan, keinginan, keluhan, makian; medium komunikasi (lisan/tulis)

Key: bagaimana komunikasi itu berlangsung: santai, akrab, resmi, berjarak, lama tidak berjumpa, jujur, ada yang harus disembunyikan

Instruments: saluran yang dipilih: verbal, nonverbal (dengan dialek, idiolek, sosiolek, fungsiolek)

Norms: membuka suatu komunikasi; bagaimana menjaga agar komunikasi tetap berlangsung; bagaimana menyelesaikan sebuah komunikasi

Genres: bentuk yang harus dipilih: puisi, doa, surat resmi, surat pribadi, cerita, peribahasa, pidato, laporan, tanya-jawab, diskusi, ceramah

Konsep berbahasa Indonesia dengan baik dan benar amat berkaitan dengan komponen komunikasi dikemukakan di atas karena interpretasi berbahasa yang baik adalah pemilihan ragam bahasa yang sesuai dengan tuntutan situasi komunikasi; berbahasa yang benar adalah yang sesuai dengan sistem/kaidah bahasa yang baku. Selain itu, prinsip kerja ini dapat dikatakan sejiwa dengan konsep kerja jurnalistik, 5W 1H. Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku itu tampak pada aspek berikut:

(1) ketepatan gramatika (ketatabahasaan): (a) ketepatan struktur kalimat; (b)ketepatan pembentukan kata;
(2) kecermatan pilihan kata: (a) penggunaan kata yang tepat; (b) menghindarkan unsur yang mubazir;
(3) ketepatan makna;
(4) ketepatan pemakaian/penerapan kaidah EYD.

Walaupun seluruh komponen sosiolinguistik Hymes tersebut di atas berhubungan dengan konsep berbahasa Indonesia yang baik, di dalam kenyataannya komponen-komponen itu tidak bersama-sama (sekaligus) masuk sebagai veriabel dalam suatu situasi tutur; biasanya ada di antaranya yang amat dominan terhadap pemilihan ragam bahasa; misalnya, topik pembicaraan, partisipan (lawan bicara), dan seting peristiwa tutur.

d. Pemakaian dan Pemakai Bahasa, Register Jurnalistik dan Ciri-Cirinya

Istilah pemakaian bahasa mengacu ke satu dimensi yang dipakai untuk membedakan ragam-ragam bahasa. Bahasa dibedakan menurut (1) pemakaiannya dan (2) pemakaianya, yaitu siapa yang menggunakan bahasa itu. Sehubungan dengan pemakaiaannya, ragam bahasa dibedakan atas tiga subdimensi:
(1) bidang/field, tentang apa bahasa itu dipakai;
(2) cara/mode, yakni medium apa yang dipakai di dalam pemakaian bahasa itu: lisan ataukah tulis;
(3) tenor, yang mengacu ke hubungan peran antarpartisipan yang terlibat.

Karena hubungan peran menentukan derajat keresmian bahasa yang dipakai oleh partisipan-partisipan itu, tenor dapat dipandang sebagai penentu tingkat keresmian situasi dan karena itu, tenor mengacu ke derajat keresmian bahasa yang dipakai di dalam situasi yang ada. Dalam hal ini tenor dilihat sebagai yang mengacu ke ragam-ragam bahasa menurut derajat keresmiannya. Di dalam bahasa Inggris, misalnya, dikenal lima ragam gaya keresmian berbahasa, yaitu ragam beku/frozen; resmi/formal; konsultatif/consultative, santai/casual, dan akrab/intimate.

Perpaduan atau sinergi dari ketiga dimensi tersebut (bidang, cara, dan tenor) membentuk apa yang disebut laras bahasa (register), yaitu ragam bahasa atau variasi bahasa yang dibeda-bedakan menurut:
(1) bidang wacananya (yaitu menurut pokok pembicaraan);
(2) mediumnya (yakni tulis atau lisan);
(3) tenornya (yakni ragam gaya resmi ataukah santai, dsb.)�

Pembedaan antara laras bahasa yang satu dan laras bahasa yang lain ditandai oleh perbedaan
(1) penggunaan kosa kata dan peristilahan,
(2) struktur kalimat, dan
(3) pelafalan–kalau mediumnya lisan (Halliday, 1970).

Dengan mengacu konsep yang dikemukakan Halliday tersebut, bahasa
di bidang jurnalistik tergolong ke dalam laras bahasa (register). Selanjutnya, pembahasan tentang bahasa jurnalistik menjadi laras bahasa/register jurnalistik, yang pemakainya sudah barang tentu para jurnalis. Akan tetapi, secara umum, pemakai/pengguna bahasa itu adalah anggota masyarakat bahasa itu. Karena mereka itu terdiri dari kelompok-kelompok sosial, pemakai bahasa pada dasarnya adalah anggota setiap kelompok masyarakat yang ada. Dengan bergantung kepada dimensinya, pemakai bahasa dapat berupa anggota
(1) kaum lelaki/kaum perempuan,
(2) kelompok pendidikan tertentu,
(3) kelas sosial yang ada,
(4) profesi tertentu (seperti jurnalis, polititisi, ataukah akademisi),
(5) daerah geografis tertentu,
(6) kelompok umur tertentu,
(7) (keanggotaan) mereka pada kasta tertentu,
(9) etnisitas tertentu,
(10) domisili pengguna bahasa (di pedesaan ataukah di kota), dan sebagainya karena pengertian pemakaian bahasa memang luas sekali.

Sebagai salah satu ragam bahasa, bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat yang khas, yaitu singkat, padat, sederhana, jelas, lugas, lancar, dan menarik (Anwar, 1979).
Sifat singkat dan padat berkaitan dengan sifat ekonomis. Sifat sederhana, jelas, dan lugas berkaitan dengan konsumsi semua lapisan masyarakat dari berbagai tingkat pendidikan dan sosial ekonomi. Sifat sederhana juga berkaitan dengan tata bahasa. Kata yang lugas berkaitan dengan kata yang bermakna sebenarnya, yang tidak
menimbulkan ketaksaan. Kalimat yang sederhana dan kata yang lugas berkaitan dengan kemampuan menimbulkan kejelasan informasi (pembaca tidak mengulang-ulang membacanya). Sifat lancar berhubungan dengan gaya pemaparan yang terkesan mengalir dengan terarah, tidak terputus-putus; ini berkaitan dengan pengembangan pernalaran: bagaimana sesuatu dipaparkan; mulai dari mana dan berakhir di mana; semuanya harus menunjukkan satu kesatuan informasi. Bahasa yang lancar akan menyebabkan tulisan menarik.

Di samping sifat-sifat dikemukakan di atas, menurut H. Munhof, penulisan berita jurnalistik harus memperlihatkan ketepatan (accuracy); keringkasan (brevity); kejelasan (clarity); kesederhanaan (simplicity), dan kesungguhan, ketulusan (scincerity). Sebagai wacana teknis, kebakuan laras bahasa jurnalistik diukur dengan kriteria bidang wacananya (yaitu menurut pokok pembicaraan); mediumnya (yakni tulis atau lisan); tenornya (yakni ragam gaya resmi ataukah santai, dsb.)�

Pembedaan antara laras bahasa yang satu dan laras bahasa yang lain ditandai oleh perbedaan (1) penggunaan kosa kata dan peristilahan, (2) struktur kalimat, dan (3) pelafalan – kalau mediumnya lisan (Halliday, 1970).

Dalam perwujudannya, pemakaian bahasa baku tampak pada aspek (1) ketepatan
gramatika (ketatabahasaan); (2) ketepatan struktur kalimat; (3) ketepatan pembentukan kata; (4) kecermatan pilihan kata, yaitu dengan penggunaan kata yang tepat; (5) menghindarkan unsur yang mubazir; (6) ketepatan makna; (7) ketepatan struktur pemakaian/penerapan kaidah EYD. Di samping itu, unsur kekohesian dan kekoherensian.

Di samping ciri-ciri BI tulis media cetak dikemukakan di atas, media elektronik televisi memiliki ciri-ciri berikut:
a. pelafalan dengan: (1) tolok ukur lafal bahasa Indonesia baku; (2) pemenggalan kalimat; (3) enunsiasi/kejelasan; (4) intonasi/lagu kalimat.
b. bahasa dengan: (1) peristilahan; (2) pilihan kata; (3) bentuk kata; (4) struktur kalimat; (5) paragraf bahasa lisan; dan (6) wacana.
c. pernalaran dan organisasi tuturan;
d. sikap berbicara.

Tolok ukur BI lisan baku ditandai oleh pemakaian bahasa Indonesia yang tidak diwarnai oleh lafal bahasa ibu atau bahasa daerah lain, termasuk bahasa asing.
Pemenggalan kalimat BI lisan baku cenderung ditentukan oleh nilai rasa bahasa
penutur (sense of language), yang berhubungan erat dengan kemampuan/penguasaan penutur atas makna setiap kata dalam konteks pengalimatan penutur tersebut.

Enunsiasi (kejelasan) berkaitan dengan kejelasan pengucapan kata, kejelasan intonasi /lagu kalimat, termasuk ketepatan pemenggalan kalimat dalam konteks bagian-bagian wacananya. Kejelasan juga beruhubungan dengan tempo bicara sehingga dapat menentukan kualitas komunikasi.Namun, enunsiasi juga berkaitan dengan pembawaan penutur. Untuk intonasi/lagu kalimat, Alisjahbana (1976) membagi tiga jenis:
1) intonasi kalimat berita;
2) intonasi kalimat tanya;
3) intonasi kalimat perintah.

e. Dampak Globalisasi terhadap Sikap Bahasa

Globalisasi sudah menjadi fenomena semesta; globalisasi, suka atau tidak suka, juga mengubah sikap bahasa penutur Indonesia terhadap BI, terutama di kota-kota besar di Indonesia, khususnya terhadap BI resmi; penggunaan BI resmi, termasuk bahasa nasional, dianggap kurang bergengsi (kurang prestise), kurang nyaman (comfort), kurang canggih, bahkan dirasakan kurang aksi/kurang bergaya (prestige motive). Sikap ini juga terjadi pada media-media elektronik kita; dengan dalih era globalisasi, mata-mata acara ditayangkan dengan bahasa Inggris, malahan presenternya pun menggunakan bahasa gado-gado.

Demikian pula halnya sikap bahasa terhadap bahasa daerah; bahasa daerah kita cenderung telah tergusur karena penggunaan bahasa daerah dianggap kampungan. Sikap seperti itu tidak boleh terjadi; ini amat berbahaya karena penggusuran terhadap bahasa daerah akan berakibat terhadap tergusurnya kebudayaan daerah; hilangnya bahasa daerah berarti hilangnya kebudayaan daerah. Itu akan menimbulkan kekosongan/ kehampaan kebudayaan (cultural void); ini akan mencengkeram masyarakat. Sebagaimana kita ketahui, bahasa adalah jaringan sentral kebudayaan, di samping sebagai salah satu produk kebudayaan itu sendiri. Penggantian budaya yang sudah mapan dan berakar oleh budaya lain yang baru dan asing bisa menjadi fatal; ini akan menjadi krisis identitas yang amat serius. Konon masyarakat yang kehilangan budayanya akan dihinggapi penyakit kehilangan kepercayaan diri; masyarakat itu akan selalu bergantung kepada orang lain, akan mencari tuntunan orang lain di dalam membuat putusan-putusan.

Setakat ini sikap bahasa yang lain adalah kecenderungn memberi gengsi tinggi terhadap BI ragam rendah/ragam bahasa gaul, termasuk suka mencampur-campur unsur bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, di samping suka beralih-alih ke bahasa tersebut, padahal konteks dan situasi komunikasi tidak menuntutnya. Dengan kata lain, terdapat tumpang-tindih ranah penggunan bahasa. Ranah yang menuntut penggunaan bahasa resmi disulih dengan bahasa ragam rendah/bahasa gaul; konteks dan situasi interaksi resmi disulih dengan bahasa campur-campur atau dengan konstruksi wacana yang penuh dengan interferensi dari nonbahasa Indonesia resmi.

Secara kasat mata, globalisasi juga menurunkan derajat kebakuan ragam bahasa resmi: BI resmi mendapat gangguan dari bahasa asing, terutama bahasa utama dunia, seperti bahasa Inggris; gangguan ini cenderung tampak pada tingginya gejala interferensi (baik secara gramatikal maupun leksikal) dan gejala campur-campur bahasa BI-BA/Inggris, termasuk pemanfaatan alternasi (beralih �alih bahasa) yang sebenarnya tidak diperlukan/tidak dituntut dalam situasi komunikasi yang sedang berlangsung. Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa globalisasi mengimplikasikan kecenderungan mengendurnya semangat nasional pada generasi muda bangsa kita, terutama di kota-kota besar. Bahkan, Putu Widjaja menyebutnya sebagai bencana nasional pada suatu seminar di Pusat Bahasa.

f. Model/Teladan yang Masih Langka

Percontoh penutur/penulis/pemegang garis haluan yang seharusnya dapat dijadikan model/teladan berbahasa dengan baik dan benar kini makin langka. Ini pun sudah menambah kosakata yang disebut permasalahan bahasa.Telitian cenderung menunjukkan bahwa produk tulisan yang bernilai dokumentasi tinggi, seperti produk hukum (laras bahasa hukum), cenderung sulit peningkatan mutunya sekalipun para ahli bahasa hadir sebagai pendamping bahasa. Demikian pula pada laras bahasa birokrasi. Lama kursus atau jumlah jam keikutsertaan dalam penataran tidak menjamin perubahan kualitas laras bahasa birokrasi tersebut. Kalimat-kalimat seperti Demikian agar periksa/agar maklum adanya, atau kalimat Atas perhatiannya diucapkan terimakasih masih abadi tertulis pada alinea penutup surat dinas kita. Masalahnya bukan terletak pada masalah bahasa, melainkan cenderung pada masalah kekuasaan bahasa: para pemegang putusan kurang berkenan menerima perbaikan/penyuntingan dari segi bahasa. Pengalaman juga membuktikan bahwa kemauan politik terhadap peningkatan kualitas BI ragam resmi kurang didukung oleh perilaku di dalam pelaksanaannya.(bersambung)

Hj. Yayah B. Mugnisjah Lumintaintang adalah pengajar di LPDS

Tulisan ini disajikan dalam kegiatan “Lokakarya Jurnalistik untuk Redaktur” yang diselenggarakan Dewan Pers bersama Lembaga Pers Dr. Soetomo pada 18 – 20 April 2006, di Semarang.

Published in Bahasa Media