Oleh Atmakusumah
Identitas pengemudi mobil berusia 13 tahun, yang menyebabkan tujuh orang tewas dan delapan orang lainnya luka-luka dalam suatu tabrakan, akhirnya mendapat perlindungan—setidaknya dari media pers arus utama (mainstream) di Jakarta. Perlindungan ini sebenarnya sudah terlambat karena pada mulanya pemberitaan pers menyiarkan nama lengkapnya bersama-sama nama lengkap ayah dan ibunya. Akan tetapi, sekarang surat kabar Kompas hanya mencantumkan inisial AQJ dan majalah Tempo malahan lebih menyamarkannya dengan memberikan nama samaran Aki (tetapi, pada edisi berikutnya, berganti dengan inisial AQJ).
Memang, peristiwa ini hanyalah kecelakaan, walaupun berat, tetapi bukan kejahatan sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ tahun 2006) yang sekarang berlaku secara nasional di Indonesia. Pasal 5 KEJ menyatakan: “Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.” Di dalam penafsiran pasal itu dijelaskan: “a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.”
Walaupun peristiwa kecelakaan dalam tabrakan mobil itu bukan kejahatan, dampak psikologisnya dapat sama terhadap subjek berita yang masih kanak-kanak atau remaja. Pertama, pemberitaan terbuka tentang peristiwa ini dapat mempengaruhi reputasi subjek berita pada masa dewasa kelak, padahal kejadian itu berlangsung pada masa ia belum dianggap memiliki tanggung jawab sepenuhnya. Kedua, pemberitaan terbuka dengan mengungkapkan identitas subjek berita dapat menambah trauma anak tersebut. Inilah dua alasan yang melatarbelakangi pendapat agar identitas subjek berita sebagai pelaku tindak pidana yang masih kanak-kanak dan remaja tidak terungkap dalam pemberitaan pers.
Selain nama lengkap dan foto atau gambar subjek berita, identitas termasuk alamat rumah dan alamat kantor, bila ia sudah bekerja. Nama orangtua dan anggota keluarga dekat lainnya juga sebaiknya tidak diungkapkan dalam pemberitaan jika akan memudahkan publik untuk melacak subjek berita. Identitas juga dapat termasuk inisial nama bila publik masih mungkin untuk bisa melacak pemilik inisial itu.
Dengan demikian, pengendara yang terlibat dalam tabrakan mobil yang menelan korban itu lazimnya paling-paling hanya dapat digambarkan dalam pemberitaan pers sebagai ”pengemudi mobil berusia 13 tahun, anak musisi terkemuka.” Atau, menyamarkan namanya seperti dilakukan oleh majalah Tempo.
Tidak Sepenuhnya Dilindungi
Walaupun demikian, identitas kanak-kanak dan remaja yang belum dewasa, seperti dalam peristiwa yang dialami oleh Aki atau AQJ, tidak selamanya dapat dilindungi seluruhnya ketika ia berasal dari lingkungan keluarga yang terkemuka atau terkenal. Mereka termasuk kalangan selebritas, pengusaha besar, dan pejabat tinggi—yang dianggap memiliki tanggung jawab sosial yang besar sehingga kehidupannya diharapkan dapat menjadi sumber teladan. Sudah menjadi konvensi yang berlaku universal di kalangan para pengelola media pers bahwa pemberitaan mengenai warga terkemuka atau terkenal dapat menyangkut persoalan pribadi atau privasi tokoh tersebut. Jadi, pemberitaan tentang mereka bisa lebih luas dan lebih terbuka daripada mengenai warga biasa.
Arnold Zeitlin, mantan kepala biro kantor berita United Press International (UPI) di beberapa ibu kota negara-negara Asia Selatan dan Asia Tenggara, menyebut pemberitaan tentang peristiwa seperti dialami oleh Aki atau AQJ sebagai masalah yang “tricky”. Artinya, pers tidak selamanya mudah untuk sepenuhnya memenuhi kode etik jurnalistik karena subjek berita adalah anak seorang tokoh publik (public figure). Karena itu, tidak semua pers akan “menyembunyikan” identitas—baik subjek berita itu sendiri maupun orangtuanya.
Nama orangtua subjek berita, sebagai tokoh publik, akan sulit dihindari ketika pers dan publik mempertanyakan, mengapa pengemudi yang masih kanak-kanak dibiarkan mengemudikan mobil di tempat umum. “Ketika mencoba menjawab pertanyaan demikian, yang jelas akan muncul dari pers, maka identitas orangtua dan anaknya tidak dapat dihindari,” kata Arnold Zeitlin.
Akan tetapi, dalam pesan e-mail-nya kepada penulis artikel ini beberapa waktu yang lalu, ia tetap mengeluhkan cara penyajian feature berita The South China Morning Post di Hong Kong, edisi 12 September 2013. Surat kabar itu bukan hanya menampilkan nama lengkap, tetapi juga memuat foto pengemudi kanak-kanak itu. Ia pasti tidak akan mengeluh seandainya surat kabar itu hanya memuat nama lengkap ayahnya yang terkenal sebagai seorang musisi. Arnold Zeitlin selama beberapa tahun terakhir menjadi pengajar jurnalisme dalam kedudukannya sebagai visiting professor pada Guangdong University of Foreign Studies di Guangzhou, Cina.
Pelanggaran kode etik jurnalistik dalam pemberitaan tentang pelaku tindak pidana yang masih kanak-kanak dan remaja sering terjadi dalam pers kita. Banyak pula media pers yang memuat atau menyiarkan foto mereka. Masyarakat di negeri kita, dan malahan juga para pejabat pemerintah, ada kalanya bersikap emosional dalam menghadapi peristiwa tidak menyenangkan yang terjadi di lingkungannya, antara lain dengan tidak membolehkan pelaku tindak pidana kanak-kanak dan remaja melanjutkan pendidikan di sekolah.
Sikap ”menghukum” seperti ini lebih-lebih lagi dapat timbul jika peristiwa itu menjadi pembicaraan ramai secara negatif dalam masyarakat dan pemberitaan pers. Karena itu, akan sangat bijaksana apabila pers sejauh mungkin melindungi identitas kanak-kanak dan remaja yang disangka terlibat dalam kriminalitas agar mereka tidak semakin traumatis.
Sangat jarang kita menyaksikan sikap perikemanusiaan yang edukatif dan menghargai praduga tak bersalah seperti yang diperlihatkan oleh kepala Sekolah Menengah Umum Negeri 35, Maria Gunarwati, pada Agustus 2007. Ia mengatakan bahwa tiga muridnya yang ditahan polisi—karena dituduh terlibat dalam penculikan anak—boleh tetap bersekolah sebelum ada kepastian tentang kesalahan mereka.
Atmakusumah adalah Pengamat pers di Lembaga Pers
Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta
(Dimuat di harian Koran Tempo, 26 November
2013, rubrik ”Pendapat”, halaman 14)
Published in