Oleh Sabam Leo Batubara
ACARA INFOTAINMEN DARI SEGI DE JURE DAN DE FACTO.
Dilihat dari segi de jure:
1. Keberadaan acara infotainmen memiliki legalitas berdasar UU No.40/1999 tentang Pers:
-. Pasal 3 ayat (1) mengamanatkan: “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.”
-. Pasal 6 c: “Pers nasional berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar.”
-. Pasal 7 ayat (2): “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
Produk pers yang memenuhi Kode Etik Jurnalistik:
1) Melakukan kegiatan jurnalistik meliputi 6 M (Pasal 1 No.1 UU Pers). 6 M: Mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi;
2) Menggunakan credible sources (UU Pers 6c dan KEJ 1b);
3) Berimbang, balance/cover both sides (KEJ 1c);
4) Balance: ruang dan waktu secara proporsional (KEJ 3b);
5) Uji kebenaran, verifikasi, konfirmasi, cek dan ricek (KEJ 3a);
6) a. Tidak menghakimi ( UU Pers 5 (1), KEJ 3a);
b. Tidak beritikad buruk (KEJ 1c);
7) Tidak bohong, fitnah, sadis dan cabul (KEJ 4);
8) Independen (KEJ 1a);
9) Untuk kepentingan umum.
2. Bila fungsi pers sebagai media informing dipadu dengan fungsi entertaining, keluarannya infotainmen:
-. Dalam infotainmen seperti itu melekat fungsi mendidik, mencerdaskan dan memberi pencerahan.
-. Poin dari uraian tersebut di atas, tayangan infotainmen yang taat asas terhadap UU Pers dan KEJ:
1) Informasi yang disampaikan telling the truth,
2) Mendidik, mencerdaskan dan memberi pencerahan,
3) Menambah kualitas kehidupan,
adalah produk pers.
Dilihat dari segi de facto:
1. Diperoleh informasi:
Sejumlah Lembaga Penyiaran Swasta/stasiun televisi swasta menayangkan acara infotainmen kurang lebih 14 jam persatu hari satu malam, ditonton kurang lebih 10 juta pemirsa, rating-nya tinggi dan banyak menghasilkan iklan.
2. Banyak siaran infotainmen tersebut menyimpang dari ketentuan UU Pers dan KEJ:
-. Berkecenderungan menyampaikan informasi tidak telling the truth, tetapi gosip, desas desus, rumor, dikemas sensasional sarat konflik, cekcok, kumpulkebo, selingkuh dan cerai.
-. Tidak mendidik, tidak mencerahkan, dan tidak memberi pencerahan.
-. Tidak menambah kualitas kehidupan dan terkesan mengakomodasi kultur hedonis dan permisif.
INFOTAINMENT MENURUT PROF. DR. MATTHEW C. NISBET
Dalam tulisannya berjudul “That’s Infotainment” (April 30, 2001) mahaguru the School of Communication at American University USA al. menyatakan sbb.:
1. Soft journalism–yang liputannya meliputi berita yang sensasional, tentang selebritas, crime, paranormal–merusak kredibilitas lembaga media utama, drive away their core audiences dan merusak demokrasi.
Tayangan seperti tersebut di atas juga dapat disebut sebagai yellow journalism. Di negeri ini, media seperti itu juga disebut media comberan.
2. Mengapa siaran infotainmen dinilai membuat buruk kredibilitas jurnalistik dan merusak demokrasi?
Dalam perspektif demokrasi, tugas pers adalah mengupayakan well informed citizens dengan telling the truth. Pers memasok informasi yang faktual, benar dan berimbang. Dengan demikian masyarakat dapat menyikapinya secara cerdas.
Tetapi bila infotainmen lebih fokus pada gosip, desas desus, rumor, sensasi, tidakkah fungsi pers sebagai media edukasi dikhianati? Tidakkah stasiun televisi yang menayangkan infotainmen seperti itu dapat dinilai mengkhianati fungsi pers? Tidakkah stasiun televisi yang padat modal triliunan rupiah akhirnya terlibat menayangkan acara yang membodohi, dan oleh karena itu a lost opportunity?
Media cetak kelompok the mainstream tidak ada yang terlibat menyajikan infotainmen berselera rendah. Justru sejumlah stasiun televisi kelompok the market leaders masih menyajikan infotainmen yang merusak public trust terhadap kredibilitas medai massa kita.
LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH
1. Memberdayakan civil society yang cerdas:
– Masyarakat tidak hanya mengomeli infotainmen yang tidak layak tonton, tetapi menyerukan pemboikotannya dan atau proaktif mengadukannya ke Dewan Pers dan atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
– Masyarakat melakukan pressures agar pemerintah dan DPR memfasilitasi beroperasinya paling tidak satu media watch yang profesional di setiap ibukota provinsi. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 17 UU No.40/1999 tentang Pers. Media watch–atas nama masyarakat–memantau, mengontrol dan melaporkan pelanggaran hukum dan etika oleh media massa.
2. Mengupayakan agar Lembaga Penyiaran Swasta/stasiun televisi menjaga penerapan kemerdekaan pers secara profesional.
Pasal 28E dan 28F Konstitusi dan UU Pers telah memberi kemerdekaan pers. Sejalan dengan itu stasiun televisi juga menggunakan kebebasan tersebut untuk kemaslahatan bagi publik.
– Direktur berita perusahaan pers stasiun televisi swasta perform hanya menayangkan infotainmen yang mentaati fungsi pers. (Ref. Bab I. A.1)
– Menyikapi tekanan dari pemilik modal, direktur berita dan jurnalis yang bekerja di dan untuk stasiun televisi harus tetap profesional dengan jati diri mentaati fungsi pers.
– Pengasuh stasiun televisi perlu menyadari:
1) Rumah produksi (production house) bukan perusahaan pers sesuai ketentuan UU Pers. Oleh karena itu lembaga tersebut (1) tidak berhak menyatakan pimpinannya sebagai pemimpin redaksi, (2) tidak berhak menerbitkan kartu pers, dan (3) karyanya menjadi produk pers setelah ditayangkan oleh perusahaan pers.
Rumah produksi tidak memenuhi persyaratan sebagai perusahaan pers. Rumah produksi bukan penerbitan pers, karena tidak menghasilkan karya dalam bentuk tulisan. Rumah produksi bukan lembaga penyiaran, karena tidak memiliki Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
2) Bila karya rumah produksi yang telah disiarkan oleh stasiun televisi diperkarakan di jalur hukum, berdasar Pasal 12 UU Pers “penanggung jawab” perusahaan pers tersebutlah yang mempertanggungjawabkannya.
d. Dengan diratifikasinya (1) Kode Etik Jurnalistik, (2) Standar Perusahaan Pers, (3) Standar Perlindungan Wartawan, dan (4) Standar Kompetensi Wartawan di Palembang pada 9 Februari 2010, pelanggaran KEJ dan standar tersebut menjadi urusan internal perusahaan pers. Artinya, perusahaan pers terikat untuk melakukan ethic and rule enforcement.
3. Memberdayakan organisasi pers agar anggota-anggotanya mentaati fungsi pers (BAB I A1).
– Organisasi pers perform mengimplementasikan (1) Kode Etik Jurnalistik, (2) Standar Perusahaan Pers, (3) Standar Perlindungan Wartawan, dan (4) Standar Kompetensi Wartawan.
– Hanya organisasi pers yang telah memenuhi verifikasi Dewan Pers berhak menyatakan pekerja infotainmen adalah wartawan.
– Organisasi pers terpanggil responsif terhadap global formula “Masyarakat cerdas memerlukan media yang mencerdaskan. Hal itu hanya mungkin jika awak dan wartawan media itu juga cerdas.”
– Organisasi pers bekerja sama dengan asosiasi artis, agar terbangun standar keprofesionalan, terbangun rasa malu jika (1) kumpul kebo, (2) perselingkuhan, dan (3) konflik perceraian menerpa sejumlah artis, kejadian-kejadian seperti itu tidak sepatutnya menjadi selling point stasiun televisi. Artis profesional semestinya tidak merasa nikmat bila aib tentang (1) kumpul kebo, (2) perselingkuhan, (3) konflik penceraian, dan (4) konflik keluarganya diekspos oleh stasiun televisi ke publik.
4. Dewan Pers dan KPI lebih perform melaksanakan ethic, rule and law enforcement. Berdasar UU Pers, Dewan Pers adalah penjaga kemerdekaan pers dan penegak etika pers. Berdasar UU Penyiaran, KPI berwenang menjadi penegak hukum.
– Sistem penyelenggaraan pers kita sudah cukup baik. Rambu-rambunya lumayan lengkap. Persoalannya, terjadi pelanggaran-pelanggaran tetapi pelanggarnya tidak diberi sanksi.
– Karena infotainmen sebagaimana dikemukakan telah melanggar:
a) UU Pers dan KEJ, dan
b) UU No.32/2002 tentang Penyiaran, Pedoman Perilaku Penyiaran (PPP) dan Standar Program Siaran (SPS)
Maka kewajiban:
– Dewan Pers melakukan penegakan KEJ (ethic enforcement), dan
– Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengenakan sanksi (1) teguran, (2) penghentian sementara acara siaran, (3) denda dan lain sebagainya (Pasal 55 ayat (1) UU Penyiaran).
(Tulisan ini merupakan makalah yang disampaikan dalam Diskusi “Memosisikan Infotainmen, Talkshow, dan Reality Show” yang digelar Dewan Pers, di Jakarta, Selasa 26-1-2010)
Leo Batubara adalah Wakil Ketua Dewan Pers (Ia juga Anggota Dewan Pengawas Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro yang menaungi LPDS).
Published in