Pengalaman Ikut UKW

Padang Ekspres • Minggu, 05/02/2012 09:55 WIB

Alhamdulillah, saya dinyatakan lulus sebagai wartawan utama pada uji Kompetensi Wartawan (UKW) di Hotel Ibis Mangga Dua, Jakarta, 30-31 Januari 2012. Pengujinya, tim dari Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS), Jakarta.

Awalnya, seperti puluhan peserta lainnya, saya juga tegang, nervous, dan cemas. Bukan karena memikirkan  beratnya materi ujian. Tapi membayangkan betapa malunya, kalau tidak lulus. Saya pasti akan dicap tidak kompeten, tidak layak, tidak cakap, tidak cocok jadi wartawan utama.

Dan, kebetulan saya sekarang dipercaya sebagai pemimpin redaksi, otomatis beban malunya makin berat. Sebab, gara-gara saya tak lulus UKW, semua yang ada di perusahaan media saya, bisa ikut menanggung malu.

Pimpinan Saya, misalnya, merasa malu telah salah memilih pemred. Sementara itu, wapemred, redpel, redaktur, sampai wartawan di media saya, akan malu karena dipimpin seorang pemred yang tak kompeten. “Benar-benar malu kalau tak lulus.”

Saat sarapan pagi sebelum materi UKW diujikan, Senin (30/1) semua wajah peserta yang terdiri dari 41 pemred dan sejumlah redpel, serta redaktur media Jawa Pos Group (JPG), memang tampak begitu serius. Satu sama lainnya saling menggoda, “Tak lulus berarti tak kompeten, dan layak diganti.” Begitu celutukan para peserta.

Namun ada juga yang menghibur. “Kita semua telah bekerja sebagai pemred, masak tak lulus? Kalau tak lulus, berarti UKW-nya yang salah, bukan kita,” ujar seorang pemred dari media JPG di kawasan timur Indonesia.

Bagaimana UKW itu? Seperti apa sosok ‘hantu’ yang membuat makan tak enak dan tidur tak nyenyak itu? Pertanyaan tadi mulai sedikit terjawab ketika semua perserta berkumpul dalam sebuah ruang aula. Di depan, ada sepuluh penguji. Wajah mereka serius, sesekali senyum. Seakan-akan ingin menyampaikan, “Awas kalian…”

“Tak ada jaminan semua lulus. Rata-rata dalam ujian sebelumnya, 8 persen peserta tak lulus,” kata Priyambodo RH, Direktur Eksekutif LPDS, yang merangkap sebagai penguji. Lelucon plus penampilan Mas Bob—panggilan akrab Priyambodo—yang kocak, ternyata tetap tak berhasil mengalahkan ketegangan peserta. Priyambodo menjelaskan tata cara ujian, materi UKW, penilaian, dan penentuan lulus atau tak lulus.

Peserta dibagi dalam kelompok kecil, 5-7 peserta dengan satu penguji. Dalam ujian kali ini, kebetulan hanya ada dua tingkatan: wartawan utama dan madya. Tidak ada tingkatan wartawan muda. Ada 7 materi yang diujikan: memimpin rapat redaksi, mengevaluasi rencana liputan, menentukan bahan liputan layak siar, menulis opini/tajuk, mengarahkan liputan investigasi, kebijakan/merancang rubrikasi, jejaring dan lobi.

Nilai minimal lulus masing-masing materi 70, dengan skala 0-100. “Kalau 69 berarti tak lulus. Penilaian akhirnya bukan rata-rata. Tak lulus satu, berarti tak lulus UKW,’ ujar Priyambodo. Peserta makin tegang.

Bagi peserta yang tak puas dengan penilaian penguji, boleh menggugat. Tim LPDS akan membahas dan memberi nilai baru. Bisa nilai tetap sama, lebih tinggi, atau justru lebih rendah. Masih tak puas juga, peserta dapat mengajukan banding ke Dewan Pers. “Pengalaman sebelumnya, justru nilai penggugat lebih rendah,” kata Priyambodo.

Sebelumnya, Anggota Dewan Pers (Ketua Komisi Hukum dan Perundang-Undangan) Wina Armada Sukardi, memberikan penjelasan latar belakang, dan legalitas UKW. Ia banyak memberi contoh betapa pentingnya UKW, dasar hukum, serta manfaat UKW untuk perlindungan wartawan.

Setelah itu, masing-masing penguji mengumumkan peserta yang akan diuji. Saya bersama 6 pemred dan redpel, diuji oleh Maria Dian Andriana. Kompetensi penguji yang satu ini tak perlu diragukan. Ia adalah salah seorang perancang bahan uji untuk UKW sekaligus sebagai penguji pelopor. Ia juga wartawan senior yang menjadi juri untuk penghargaan Adinegoro.

Sayangnya, dari sepuluh penguji, Maria dikenal paling pelit memberi nilai. Ini diakuinya sendiri saat penutupan UKW. “Yang dibilang Pak Wina (Wina Armada) ada penguji senyum-senyum, tapi sebetulnya pelit memberi nilai. Itu adalah Saya,” kata Maria.

Peserta Antusias
Ujian pertama dimulai dengan materi rapat redaksi, setelah makan siang. Tiga kelompok kecil dikumpulkan dalam satu ruangan. Beberapa orang dipilih sebagai pemimpin rapat, yang lainnya diminta menyampaikan usulan dan masukan, untuk materi liputan yang disimulasi dalam rapat. Sementara itu, tiga penguji hanya memantau, dan tentu saja memberi penilaian.

Yang dinilai, sejauh mana peserta aktif memberi masukan. Akibatnya dapat ditebak, semua peserta berebut untuk bicara. Saking antusiasnya, “Ini bukan rapat redaksi, tapi seperti rapat partai saja,” kata Marlon Sumaraw, Pemred Manado Post. Bagaimana menurut penguji? “Semua aktif. Jadi semua lulus,” kata Maria.

Ujian berlanjut ke materi kedua. Kali ini yang diuji adalah mengevaluasi rencana liputan. Di sini, masing-masing peserta diminta menjelaskan, dan memverifikasi  usulan liputan yang muncul dalam simulasi rapat redaksi. Di kelompok saya, ada empat usulan liputan: kasus wisma atlet, suap pemilihan deputi senior BI, tabrakan maut di kawasan monas, dan tewasnya dua tahanan di Mapolsek Sijunjung.

Saya tentu saja menjelaskan bahwa kasus tewasnya dua tahanan, yang mendapat porsi paling utama. Selain kedekatan karena terjadi di Sumbar, kasus ini telah menjadi sorotan secara nasional. Setelah satu demi satu peserta diuji, dilanjutkan ke materi ketiga: menentukan bahan liputan layak siar.

Pertanyaan kunci penguji adalah, bagaimana menentukan berita layak atau tidak? Apa saja indikatornya? Pada materi ini, semua peserta juga lulus. “Nilai peserta makin membaik,” kata Maria. Materi uji di hari pertama tuntas. Semua peserta lega, ketegangan jauh berkurang. Bila pada pagi harinya kata kunci peserta “yang penting lulus”, sore hari berubah menjadi “yang penting nilai 80”.

Pada hari kedua, ujian berlangsung lebih rileks. Tak ada lagi wajah peserta yang stres. Materi uji dimulai dengan menulis opini/tajuk. Peserta diberi waktu 30 menit menulis di laptop masing-masing, dan disuruh langsung mencetak dengan printer yang telah disediakan.

Memakai peralatan kerja ini juga menjadi penilaian. Selanjutnya, materi uji mengarahkan liputan investigasi. Jenis ujiannya masih tertulis. Peserta diberi waktu 30 menit untuk membuat semacam term of reference (TOR) liputan investigasi. Isinya tema liputan investigasi, wartawan yang ditugaskan, rincian biaya, deadline, dan upaya perlindungan wartawan. Penguji juga menanyakan beda investigasi dengan liputan mendalam (indepth news).

Sejumlah peserta ada yang mengeluh. Sebab, di sejumlah media masalah biaya bukan urusan redaksi atau pemred, tapi dihitung dan diputuskan oleh bagian keuangan. Hanya kata Maria, “Pemred wajib tahu.”

Lalu, ujian berlanjut ke materi kebijakan/merancang rubrikasi. Yang diuji adalah kreativitas peserta mengevaluasi rubrik yang telah ada, dan menciptakan rubrik baru. Tentu saja penguji juga mempertanyakan, sejauh mana rubrik baru yang dirancang, penting bagi masyarakat (pembaca).

Nah, setelah sempat rileks, para peserta kembali dibuat “panas dingin”, dengan materi uji terahir, yakni jejaring dan lobi. Di sini, peserta diminta menghubungi langsung narasumber utama. Kapasitas dan jabatan narasumber menjadi penilaian. Menteri atau wakil menteri, misalnya, akan berbeda dari bupati. Pangdam nilainya akan lebih tinggi dari Danrem. Makanya peserta berusaha mengajukan nama yang jabatannya lebih tinggi. Kalau bisa presiden.

Yang membuat stres: kalau narasumber tak mengangkat telepon, berarti tak dapat nilai.  Tak dapat nilai tentu tak lulus. Sudah membuat janji pun, belum ada jaminan bisa sukses menelpon narasumber. Bagaimana kalau tiba-tiba narasumber itu rapat mendadak, dipanggil presiden. Atau dia sedang shalat. Atau sedang di toilet. Jadi, kenal sedekat apapun dengan narasumber belum tentu akan lulus atau dapat nilai tinggi di uji materi ini.

Saya sendiri diminta penguji mengajukan lima nama. Saya memilih Wamendiknas Musliar Kasim, Wamenkum HAM Denny Indrayana, Gubernur Sumbar Irwan Prayitno, Kabag Penum Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafly Amar, Deputi Penanganan Darurat BNPB Dody Ruswandi.

Kebetulan Saya mendapat “kemudahan”. Saya disuruh memilih sendiri narasumber yang akan dihubungi. Setelah memastikan bahwa ke lima narasumber itu bernilai sama ke penguji, saya memilih menelpon Gubernur Sumbar Irwan Prayitno. Saya sukses, karena Pak Irwan mengangkat telepon dari saya.

UKW diakhiri dengan penyampaian evaluasi dan nilai oleh masing-masing penguji. Petrus Suryadi Sutrisno, salah seorang penguji mengaku bahwa ia “senang” ketika mengetahui peserta UKW sempat tegang. Sebab, dengan begitu peserta akan mengikuti UKW secara serius. “Saya dendam.

Kalian kira saya tidak tegang? Saya malah lebih dulu merasakan itu dari kalian. Bayangkan, Saya harus menguji 50 Pemred. Apa tidak tegang? Saya sampai bolak-balik ke toko buku menambah referensi. Jadi saat UKW, giliran kalian yang tegang,” ujar Petrus yang langsung disambut tawa lepas peserta UKW.

Pada UKW ini, Petrus disebut-sebut paling killer. Gaya bicara dan tampangnya memang dingin dibanding dengan penguji lain. “Pada UKW kali ini, saya masih dianggap manusia. Sebelumnya, saya dianggap setan. Tak ada peserta yang berani berpapasan. Melihat saya, mereka langsung menghindar,” kata Petrus yang kembali disambut tawa peserta.

Lalu apa yang menyebabkan peserta tak lulus? Pertama, karena peserta memang bukan wartawan alias wartawan gadungan dan sejenisnya. Kedua, kemampuan peserta tidak cocok dengan tingkatan UKW. Misalnya, baru jadi wartawan sudah ikut UKW tingkatan madya atau utama.

“Selanjutnya plagiat. Misalnya mengajukan tulisan tajuk yang ditulis orang lain. Walaupun materi uji lain nilainya seratus, tapi pada penulisan tajuk dia plagiat, pasti tak lulus,” kata Priyambodo. So, bagi wartawan yang belum UKW, tak perlu takut untuk ikut UKW. Apa resep bisa lulus? “Jangan anggap remeh, tapi jangan pula anggap terlalu sulit.” (***)

Sumber: http://padangekspres.co.id/?news=berita&id=23048


Published in Kajian Media