Oleh Atmakusumah
Nasib buku sekarang sudah sebaik media pers setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan mencabut undang-undang pelarangan barang cetakan karena bertentangan dengan konstitusi.
Pasal 28F UUD 1945 menyatakan, ”Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
UU ini pada awalnya berbentuk Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Penpres ini, yang berlaku sejak ditandatangani dan disahkan oleh Presiden Soekarno pada 23 April 1963, membolehkan Kejaksaan melarang peredaran barang cetakan ”yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum”.
Barang cetakan yang dimaksud termasuk buku, brosur, buletin, surat kabar harian, majalah, terbitan berkala, pamflet, poster, serta surat untuk disebarkan atau dipertunjukkan kepada khalayak. Pada tahun 1969 Penpres itu dijadikan UU No 4/PNPS/1963.
Seperti diumumkan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD pada 13 Oktober lalu, pelarangan barang cetakan, termasuk buku, kini hanya dapat dilakukan melalui proses hukum dan diputuskan oleh pengadilan. Putusan ini merupakan tanggapan Mahkamah Konstitusi atas permintaan uji materi terhadap UU No 4/PNPS/1963 yang diajukan oleh sejumlah penulis, penerbit, dan peminat bahan bacaan sejak akhir tahun lalu sampai awal tahun ini.
Ketika diminta oleh Tim Advokasi Tolak Pelarangan Buku dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) untuk memberikan kesaksian di Mahkamah Konstitusi pada 15 Juni lalu, saya mengingatkan bahwa media pers cetak pernah bernasib sama dengan terbitan buku karena sama-sama dianggap ”isinya dapat mengganggu ketertiban umum”. Akan tetapi, nasib pers cetak kemudian berubah total karena tidak lagi dapat disensor dan dilarang beredar sejak berlaku UU Pers tahun 1999. UU ini disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada 13 September 1999 dan disahkan Presiden BJ Habibie 10 hari kemudian.
Buku dan pers cetak
Perbedaan pers cetak dengan buku terletak pada bentuk atau formatnya. Isi kedua jenis terbitan ini pada dasarnya tidak berbeda. Keduanya mengandung informasi dan pendapat. Dengan demikian, yang satu tidak lebih berbahaya dari yang lain.
Selain itu, media pers cetak dikelola dengan tenggat waktu atau deadline yang sangat ketat sehingga isinya dapat ”sangat instan” atau dangkal, sedangkan isi buku pada umumnya jauh lebih mendalam karena diproses dengan tenggat waktu yang jauh lebih fleksibel. Dengan demikian, isi buku pada umumnya merupakan produk dari hasil renungan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Tidak sedikit pula dari terbitan buku, termasuk yang dilarang beredar, merupakan hasil penelitian selama bertahun-tahun sehingga akurasi isinya dapat lebih dipercaya daripada laporan pers cetak.
Dilihat dari segi pengaruh, isi pers cetak jauh lebih luas pengaruhnya daripada isi buku. Tiras media pers cetak dapat mencapai puluhan sampai ratusan ribu eksemplar, sedangkan tiras buku hanya beberapa ribu eksemplar. Harian Kompas, misalnya, bertiras 500.000 eksemplar atau lebih, sedangkan terbitan buku di negeri kita rata-rata hanya 2.000-5.000 eksemplar. Hanya ada sejumlah kecil terbitan buku yang pernah dicetak 10.000-50.000 eksemplar dalam waktu satu tahun.
Pada masa reformasi selama lebih dari satu dasawarsa terakhir, baik publik maupun pejabat negara mengkritik sejumlah laporan media massa—termasuk cetak—yang dianggap provokatif bagi wilayah konflik, seperti di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat. Sebaliknya, perlu dipertanyakan, seberapa banyak terbitan buku yang pernah menjadi sasaran kritik serupa dalam satu dasawarsa belakangan ini?
Seperti para pembaca pers cetak, demikian pula para pembaca buku umumnya memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi. Mereka harus mampu membaca dan memahami jalan pikiran yang tertuang dalam kalimat-kalimat tertulis yang kadang-kadang kompleks. Dengan demikian, intelektualitas mereka dapat berbeda dari, umpamanya, para pendengar siaran radio dan para penonton siaran televisi yang tidak harus memiliki kemampuan membaca. Maka, reaksi para pembaca lazimnya tidak seemosional para pendengar siaran radio dan para penonton siaran televisi.
Tidak efektif
Dalam pengalaman saya, larangan peredaran buku tidak pernah efektif dalam situasi politik apa pun. Termasuk pada 30 tahun masa pemerintahan otoriter Orde Baru dan dalam suasana yang sama selama 10 tahun terakhir masa Orde Lama.
Buku-buku karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer, misalnya, beredar luas di negeri kita pada masa Orde Baru walaupun dilarang oleh Kejaksaan Agung. Meski seorang penjual eceran buku Pramoedya di Yogyakarta ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara oleh pengadilan negeri, ada keluarga pembaca yang memiliki tiga sampai empat eksemplar dari setiap karya Pramoedya. Ini karena semua anggota keluarga berminat membaca buku—yang terbit selama masa pelarangan—pada waktu bersamaan tanpa harus bergiliran.
Buku-buku Pramoedya yang dilarang beredar di Indonesia pada masa Orde Baru menjadi bacaan wajib bagi para mahasiswa jurusan sastra di Malaysia. Salah satu novelnya, yang diterbitkan di Malaysia, memasang foto Wakil Presiden Adam Malik di halaman kulit belakang dan komentarnya yang memuji karya sastra Pramoedya.
Pada masa Orde Lama, novel karya sastrawan dan wartawan Mochtar Lubis, Senja di Jakarta, semula hanya dapat diterbitkan di luar negeri dalam bahasa Inggris, Twilight in Jakarta, dan dalam bahasa Melayu.
Dengan demikian, publik di negara-negara lain lebih beruntung karena dapat lebih cepat dan lebih lapang memperoleh pengetahuan tentang alam pikiran yang sedang berkembang di Indonesia. Sebaliknya, masyarakat kita sendiri seolah-olah sedang terisolasi di negeri asing dari perkembangan intelektual di tanah airnya sendiri.
Masih dapat digugat
Seperti isi pers cetak, juga isi buku tentulah masih dapat digugat melalui proses hukum di pengadilan. Akan tetapi, tidak harus berarti serta-merta dilarang secara keseluruhan untuk semua isi buku tanpa proses hukum yang adil.
Proses hukum yang dilalui oleh novel sastrawan Inggris, DH Lawrence, pada awal abad lalu, dapat kita jadikan contoh. Bukunya, Lady Chatterley’s Lover, hanya dilarang di Inggris dalam bentuk yang lengkap karena sejumlah alinea dianggap mengandung pornografi, sedangkan novel yang tidak memuat alinea itu boleh bebas beredar. Akan tetapi, dalam kurun waktu 30 tahun sejak buku ”Kekasih Lady Chatterley” itu diterbitkan, masyarakat—dan para hakim—berubah pandangan.
Penerbit buku bergengsi, Penguin Books Limited di London, menerbitkan novel itu secara utuh pada 16 Agustus 1960. Dengan kata lain, penerbit itu melawan hukum. Karena itu, penerbit Penguin diadili di Pengadilan Old Bailey, London, selama enam hari (20, 27, 28, 31 Oktober dan 1, 2 November 1960). Setelah mengerahkan sejumlah saksi yang memberikan pandangan yang mendukung novel ini, Penguin memenangi perkara dan buku itu pun dalam bentuknya yang utuh boleh beredar di Inggris.
Pembebasan novel karya Lawrence dari jerat hukum dipandang sebagai awal penghancuran kekuasaan pihak berwajib untuk menyensor novel di Inggris.
ATMAKUSUMAH Pengajar Lembaga Pers Dr. Soetomo; Anggota Dewan Penyantun Lembaga Bantuan Hukum Pers
Sumber: Harian Kompas, Senin, 18 Oktober 2010
http://cetak.kompas.com/read/2010/10/18/03225413/nasib.buku.sekarang.sebaik.pers.
Published in