Oleh: Lestantya R. Baskoro
PERLAHAN tapi pasti mesin pencari Google “mempermak” bahasa Indonesia. Pahamkah Anda dengan kalimat ini? “Gubri ke Thailand, Ini Kerja yang Dilakukannya” atau “Alhamdulillah Gubsu Negatif Corona,” atau lagi “Terduga Klitih Babak Belur Dikeroyok di Yogyakarta.” Jika bingung, carilah kata itu pada Google dan tahulah kita: gubri akronim gubernur Riau, gubsu artinya gubernur Sumatera Utara, dan klitih istilah kejahatan jalanan yang dilakukan remaja.
Media siber di Sumatera Utara atau Provinsi Riau terbiasa memakai istilah “gubsu” dan “gubri.” Hal sama dilakukan media siber di Yogyakarta untuk kata “klitih.” Para wartawan media online di daerah itu mahfum, tidak hanya sebuah judul panjang “tak ramah Google,” tapi akronim “gubsu,” “gubri, atau “klitih” lebih dan telah familiar di Google. Pembaca akan mengetik kata itu di Google jika mencari berita berkaitan dengan hal tersebut. Dan semakin banyak yang entri “gubsu,” “gubri,” atau klitih, maka kata-kata itu makin kuat “tertanam” di Google.
Media siber yang kini jumlahnya sekitar 47.000 lebih itu –lewat Google- telah menjadi kekuatan “mengubah” bahasa Indonesia dan menyebarkan sekaligus mempopulerkan istilah baru atau bahasa lokal. Kata dan istilah yang terkesan asal tapi kadang asyik di kuping. Pengelolanya, yang membidik segmentasi pembacanya warga daerah mereka tak peduli pembaca luar paham atau tidak. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, media siber lokal membuat judul semacam ini: Gubernur VBL Terus Tancap Gas. Atau Gubernur VBL Berharap NTT Negatif Covid-19. Apa itu VBL? Nama sang gubernur, Viktor Bungtilu Laiskodat.
Hukum algoritma Google yang untuk judul berita tak boleh lebih dari sekitar 50 karakter -jika lebih ia tak terekam dengan baik di Google- membuat para redaktur media siber “menciptakan” kata seefisien mungkin. “ideologi” soal ini: kata itu singkat dan menarik sehingga jika ia disambung dengan sebuah predikat jangan sampai lebih dari 50 karakter. Istilah nyeleneh “begal payudara” untuk perbuatan asusila memegang payudara jelas yang mempopularkan media siber. Polisi sendiri, untuk tindakan demikian, lebih banyak menyebut “perbuatan cabul.”
Dengan “hukum” semacam ini pula tak mungkin redaktur yang paham teknik SEO – Search engine optimization- membuat judul semisal Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat Berharap Nusa Tenggara Timur Negatif Covid-19. Tak ramah Google.
Karena itu pula tak perlu heran misalnya, akronim yang biasa dipakai juru bicara kepolisian mendapat tempat di media siber. Seperti laka lintas (kecelakaan lalu lintas), pekat (penyakit sosial) atau sajam (senjata tajam). Istilah-istilah ini makin memasyarakat -dan semakin menjadi “bahasa umum”- karena kepolisian merupakan salah satu sumber utama berita bagi wartawan. Hampir setiap hari ada pencurian dengan kekerasan (yang polisi mengistilahkannya “curas”) atau kecelakaan lalu lintas (yang polisi mengistilahkannya laka lantas). Laka Karambol di Jalan Pantura, Satu Tewas, demikian judul media siber di Jawa Tengah. Karambol? Artinya beruntun. Pembaca mahfum, laka adalah kecelakaan.
Sementara itu, sifat penulisan berita media siber yang cenderung cepat pada akhirnya membuat wartawan acap tak kritis. Lihatlah penulisan berita kriminal yang penuh dengan diksi “pelaku,” “korban,” atau “tersangka.” Para wartawan memindahkan begitu saja istilah dari keterangan atau pers release polisi. Padahal kata-kata itu, agar berita lebih jelas dan “enak dibaca” semestinya diganti dengan nama atau inisial pelaku.
Demikian pula alinea akhir tulisan berupa kutipan yang banyak diakhiri dengan kata “pungkasnya.” Padahal bisa jadi saat wawancara yang dikatakan narasumber masih panjang dan banyak, belum pungkas . Hanya karena terletak di alinea terakhir, sang wartawan secara asal menutup kutipan itu dengan “pungkasnya.” Bahasa jurnalisme siber boleh asyik, namun sifat kritis wartawan tak boleh terkikis. []
Penulis, pengajar LPDS. Tulisan ini sudah dimuat di Majalah Tempo, April 2020.
Published in