Identitas Wartawan Tidak Tamat Saat Sertifikat Dewan Pers Dicabut

Atmakusumah

Pengamat pers, mantan Ketua Dewan Pers

Dewan Pers Indonesia beberapa waktu yang lalu “mencabut” atau membatalkan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Utama seorang wartawan senior dengan jabatan pemimpin redaksi karena dinilai telah melanggar salah satu pasal Kode Etik Jurnalistik yang sangat penting. Yaitu Pasal 6 bahwa “Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.”

Keputusan ini mengakibatkan wartawan tersebut tidak dapat lagi mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW), yang sudah sepuluh tahun berlaku bagi para wartawan di negeri ini, kecuali “apabila ditemukan bukti baru yang dapat mendukung pembelaan wartawan yang bersangkutan.”

Ketetapan ini tercantum dalam surat Keputusan Dewan Pers yang ditandatangani oleh Mohammad Nuh sebagai ketua pada 20 November 2020 dan mulai berlaku sejak hari itu.

Kasus ini berawal lebih dari delapan tahun yang lampau, pertengahan November 2012, dari laporan yang diperoleh surat kabar mingguan yang dipimpin oleh wartawan itu mengenai seorang cendekiawan dan pejabat pemerintah daerah yang dikabarkan terlibat hubungan pribadi (privacy) dengan seorang wanita. Ia malahan ditangkap oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) setempat.

Sebelum informasi ini disiarkan oleh surat kabar tersebut, subjek berita meminta pemimpin redaksi untuk tidak memberitakannya. Akan tetapi, permintaan itu ditolak.

Menurut penjelasan wartawan itu, subjek berita kemudian berupaya menyerahkan amplop berisi uang senilai tiga juta rupiah yang dianggapnya sebagai “suap” atau “sogokan” agar tidak memberitakan kasus tersebut. Amplop itu juga ia tolak karena melanggar Kode Etik Jurnalistik dan karena keyakinan religiusnya. Sebaliknya, wartawan itu menawarkan kepada subjek berita untuk menyampaikan keterangan sebagai verifikasi atau hak jawab kepada surat kabar tersebut.

Lebih dari satu kali permintaan subjek berita disampaikan kepada surat kabar itu, dan tetap ditolak, sebelum akhirnya berita mengenai kasus tersebut dimuat dalam edisi awal Desember 2012.

Keputusan pencabutan sertifikat dan kartu Dewan Pers mengutip keterangan sang wartawan bahwa subjek berita memang menyerahkan uang dalam amplop kepadanya pada 27 Desember 2012.

Kepada penulis artikel ini, wartawan itu menceritakan bahwa dalam suatu pertemuan yang berhasil dilakukan oleh subjek berita di tepi jalan, ia meminta sang wartawan masuk ke dalam mobil yang ditumpanginya untuk mengadakan pembicaraan. Sekali lagi ia menawarkan “uang amplop,” yang tetap ditolak.

Subjek berita berusaha menyelipkan amplop itu ke kantong baju wartawan pada saat ia membuka pintu mobil untuk meninggalkannya. Amplop itu jatuh ke tanah. Sang wartawan mengambil amplop itu dari tanah untuk mengembalikannya ke dalam mobil. Namun, subjek berita sudah keburu meluncur meninggalkan wartawan itu.

Sang wartawan berulang kali berupaya menghubungi subjek berita untuk mengembalikan amplop itu. Tetapi, subjek berita tidak bersedia ditemui sehingga amplop itu kemudian disimpan di kantor redaksi surat kabarnya.

Selama masa delapan tahun berikutnya kasus ini masih terus berkelanjutan.

Subjek berita berulang kali mengunjungi rumah wartawan itu pada tahun 2014, tetapi sang wartawan belum pulang dari kantor. Ketika akhirnya bertemu di rumah wartawan, kepada subjek berita dianjurkan untuk bertemu di kantor. Alasannya, “karena ini adalah urusan kantor.” Namun, subjek berita berkeberatan.

Subjek berita menginginkan agar informasi mengenai kasusnya tidak diulangi dalam pemberitaan berikutnya. Akan tetapi, kasus ini dapat berulang dalam pemberitaan sebagai informasi latar belakang (background information) atau sebagai perbandingan jika terjadi kasus yang serupa pada warga yang lain.

Tahun berikutnya, pada awal Juni 2015, subjek berita mengadukan wartawan itu sebagai pemimpin redaksi kepada Kepolisian Resort Kota (Polresta) setempat dengan tuduhan melakukan tindak pidana pemerasan dan penistaan. Pada waktu yang sama juga mengadukan sekretaris redaksi surat kabar itu dengan tuduhan mencemarkan nama baik.

Pengaduan itu dibalas oleh sang wartawan dengan melaporkannya ke lembaga yang sama, pada pertengahan Agustus tahun itu, dengan tuduhan mencemarkan nama baik karena subjek berita menuduhnya melakukan pemerasan. Kepada Penyidik Polresta itu ia juga menyerahkan amplop pemberian subjek berita yang ia tolak.

Akan tetapi, tahun berikutnya, pada awal April 2016, subjek berita mengajukan permohonan kepada Kepala Polresta untuk membatalkan pengaduannya tentang sang wartawan dengan alasan “karena kami kedua belah pihak telah sepakat berdamai dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.”

Seluruh dokumen sejak awal sampai akhir konflik antara wartawan dan subjek berita ini disampaikan kepada Dewan Pers. Tetapi, pertimbangan Dewan Pers dalam naskah Keputusan Pencabutan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Wartawan Utama hanya mengungkapkan pengakuan wartawan itu bahwa subjek berita “menyerahkan uang dalam amplop” kepadanya—tanpa melengkapi fakta bahwa ia menolak pemberian itu.

Karena dinyatakan telah melanggar Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik, yaitu “tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap,” wartawan tersebut tidak dapat lagi mengikuti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diselenggarakan oleh organisasi pers dan lembaga pendidikan atas persetujuan Dewan Pers.

Pertimbangan Dewan Pers untuk meneliti kasus ini berawal dari usulan organisasi tempat wartawan itu menjadi anggota selama 24 tahun. Dewan Pers menampung usulan ini karena organisasi itu adalah pelaksana Uji Kompetensi Wartawan yang telah menguji wartawan tersebut. Ia sudah lebih dahulu dipecat dari organisasi itu sebelum dilaporkan kepada Dewan Pers karena dugaan melanggar etika pers yang sama.

Peristiwa serupa ini saya khawatirkan dapat terjadi ketika Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie 20 tahun yang lampau mengatakan bahwa para wartawan perlu memiliki “izin praktik.” Ini dapat diartikan munculnya kembali lisensi atau izin dari masa pemerintahan Orde Baru untuk pekerjaan wartawan. Gagasan ini agaknya diilhami oleh izin praktik yang berlaku di kalangan para dokter dan pengacara.

Sebagai ketua Dewan Pers yang pertama pada awal masa Reformasi (2000—2003), saya menolak saran itu. Saya  menafsirkan gagasan ini sebagai kekurangan pemahaman di kalangan para pejabat pemerintah dan publik terhadap tugas dan profesi wartawan serta etika dan tradisi pers. Dokter yang tidak profesional dapat menyebabkan pasiennya meninggal dan pengacara yang tidak profesional dapat menyebabkan kliennya masuk penjara. Sedangkan karya jurnalistik para wartawan dapat diperdebatkan dalam waktu yang hampir tak terbatas.

Akan tetapi, gagasan “izin praktik” bagi wartawan rupanya tidak terbendung ketika sejak masa pemerintahan Orde Baru berakhir para pengusaha pers merencanakan penerbitan ratusan media pers cetak karena izin dari pemerintah semakin mudah. Dalam waktu kurang dari satu tahun, sejak Juni 1998 sampai Maret 1999 saja, Departemen Penerangan mengeluarkan 731 Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) baru, dan 40 persennya—atau hampir 300—dikabarkan dapat terbit.

Sekarang malahan tidak lagi diberlakukan surat izin pemerintah seperti SIUPP atau Surat Izin Terbit (SIT) dari Departemen Penerangan dan Surat Izin Cetak (SIC) dari militer di daerah tempat media pers itu didirikan. Undang-Undang Pers hanya mewajibkan perusahaan pers berbentuk badan hukum.

Semangat dan dinamika masyarakat pers ini dapat berkembang berkat dibukanya kembali kebebasan pers,  menyatakan pendapat, dan berekspresi oleh pemerintah yang baru sejak awal masa Reformasi, setelah selama 40 tahun mengalami hambatan dari pemerintah Orde Lama dan Orde Baru.

Memang, tidak semua media pers yang baru itu dapat berkembang dengan baik. Di Sulawesi Selatan, misalnya, ada tabloid yang hanya dapat terbit dengan tiras 500 sampai 700 eksemplar. Akan tetapi, semangat para pengasuhnya tetap tinggi, walaupun pemilik modalnya terus mengeluh dari edisi ke edisi karena menderita kerugian. Ini adalah tabloid-tabloid baru yang dikelola oleh para wartawan muda yang kritis dan idealistis, yang pada masa Orde Baru sulit mendapatkan SIUPP karena hambatan politis.

Juga negeri ini dari tahun ke tahun dilanda oleh kehadiran sejumlah besar media massa yang mengklaim dirinya sebagai media pers, tetapi isinya tidak memenuhi persyaratan karya jurnalistik profesional sesuai dengan panduan Kode Etik Jurnalistik dan Undang-Undang Pers. Dewan Pers menamakannya sebagai ”media abal-abal.”

Akhirnya, pada awal Februari 2010 Dewan Pers, yang diketuai oleh Ichlasul Amal, menetapkan Standar Kompetensi Wartawan (SKW). Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) di Jakarta, yang didirikan oleh Dewan Pers pada awal Februari 1988 sebagai pusat pendidikan dan pelatihan jurnalistik praktis, mendapat mandat yang pertama kali dari Dewan Pers untuk menyiapkan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai penerapan SKW pada tahun yang sama. Para wartawan lulusan UKW agaknya dipandang memenuhi persyaratan yang oleh Presiden B.J. Habibie dinamakan ”izin praktik.”

Mengenai masalah konflik antara wartawan dan subjek berita yang menyebabkan Dewan Pers “mencabut” Sertifikat dan Kartu Kompetensi Utama dari pemimpin redaksi tersebut, saya dapat lebih memahami keputusan itu ketika mengamati pertimbangan-pertimbangan yang dibahas dalam rapat-rapat Komisi Pendidikan dan Pengembangan Profesi Kewartawanan (Komdik) Dewan Pers. Tetapi, pertimbangan itu tidak tercantum dalam surat Keputusan Dewan Pers.

Salah satu penilaian yang timbul dalam rapat ialah bahwa “amplop uang” yang diterima oleh pemimpin redaksi, yang dipahaminya sebagai “suap” atau “sogokan” agar tidak memuat berita yang tidak diinginkan, kurang cepat dikembalikan kepada subjek berita. Sebaiknya langsung dikirim kembali oleh pegawai surat kabar tersebut, bukan disimpan di kantor dan kemudian dititipkan kepada Penyidik Kepolisian Resort Kota.

Yang juga merisaukan para peserta rapat adalah kesepakatan yang dilakukan oleh kedua pihak, wartawan dan subjek berita, dalam “akta perdamaian” yang disusun oleh notaris pada awal April 2016. Akta ini dianggap melemahkan kedudukan wartawan itu dan sebagai pemimpin redaksi yang telah memperoleh Sertifikat dan Kartu Kompetensi Utama Dewan Pers.

Akta ini mengutip pernyataan kedua pihak yang terlibat bahwa sang wartawan “berjanji tidak akan menulis atau memberitakan lagi di media miliknya dan di media lain” mengenai informasi yang menyebabkan konflik akibat pemberitaan itu. Bahkan wartawan itu “harus menghapus berita” yang sama yang pernah dimuat “pada website-nya dan apabila belum dihapus maka akan dikenakan denda. “

Di bagian lain akta ini dikemukakan bahwa “jika masing-masing pihak tidak memenuhi isi perjanjian perdamaian di atas maka para pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian ini harus membayar denda kepada pihak yang memenuhi isi perjanjian ini sebesar Rp10.000.000 per bulannya selama satu tahun dan diwajibkan untuk meminta maaf di salah satu media cetak selama satu minggu berturut-turut.”

Para peserta rapat Komdik Dewan Pers agaknya merenung, mengapa pemimpin redaksi surat kabar itu membenarkan janji seperti tercantum dalam akta ini, padahal pemberitaan mengenai subjek berita itu akurat dan mengandung kebenaran. Saya meminta penjelasan mengenai maksud pembuatan “akta perdamaian” ini ketika dapat melakukan komunikasi dengan pemimpin redaksi itu. Namun, ia tidak memberikan tanggapan.

Dari pengamatan terhadap media pers lokal selama ini, saya mendapat kesan bahwa suasana lingkungan sosial yang “sempit” di daerah tidak memudahkan pengembangan pers independen atau mandiri seperti yang dapat dilakukan oleh media pers nasional di ibu kota Jakarta dengan lingkungan sosial yang “renggang dan luas.”

Di daerah, hubungan para pengelola media pers cetak dan elektronik dengan masyarakat pembaca, pendengar, dan penonton dapat jauh lebih dekat daripada di Jakarta. Kedua pihak, wartawan dan narasumber serta subjek berita, mungkin saling mengenal dengan baik karena tinggal bertetangga di kompleks perumahan. Bahkan mereka boleh jadi memiliki hubungan pertemanan dan hubungan keluarga.

Mungkin, itulah suasana yang “mendekatkan” hubungan wartawan dengan subjek berita, yang menjadi persoalan di Dewan Pers, sehingga mereka dapat bersama-sama menyusun “akta perdamaian” di notaris.

Saya berharap bahwa pembatalan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Utama Dewan Pers tidak diartikan seolah-olah pemimpin redaksi itu kehilangan akreditisasi sebagai wartawan. Inilah yang saya khawatirkan ketika menolak pendapat Presiden B.J. Habibie 20 tahun yang lampau agar wartawan memiliki “izin praktik” seperti yang dimiliki pengacara dan dokter.

Tetapi, kekhawatiran itu sekarang dapat disisihkan setelah saya berbicara dengan Marah Sakti Siregar, tenaga ahli Dewan Pers yang ikut memimpin rapat-rapat untuk membahas ketetapan pembatalan Sertifikat dan Kartu Kompetensi Utama pemimpin redaksi itu.

Marah Sakti memastikan bahwa “pencabutan sertifikat dan kartu kompetensi itu tidak menamatkan karier jurnalistik seorang wartawan. Ia tetap bisa berkarya sebagai wartawan. Dan diharapkan pada masa depan ia bisa menjadikan sanksi yang diterimanya sebagai peringatan dan pembelajaran agar tetap bersikap tegas dan kukuh dalam menegakkan independensi dan integritasnya sebagai wartawan profesional.”(Dimuat dalam Kompas digital, 27 Januari 2021)

 

Published in Opini