Serapan Asing dalam Bahasa Indonesia

Oleh Anton M. Moeliono

1. Diglosia
Jika dalam masyarakat Melayu tingkat keberaksaraan yang rendah berlangsung terlalu lama sehingga budaya baca-tulis sangat terbatas, muncul gejala diglosia yang dicirikan oleh adanya ragam bahasa adab yang resmi yang seakan dilapiskan di atas ragam dasar yang dipakai rakyat biasa yang tidak atau kurang terpelajar. Pada tahun 1930, dua tahun setelah peristiwa ikrar Sumpah Pemuda, tingkat keberaksaraan masyarakat Indonesia hanya 31 persen. Pada tahun 2005 jumlah niraksarawan masih 10 juta. Bahkan ada catatan sebuah survei, dewasa ini angkatan tenaga kerja Indonesia (di atas 15 tahun) 60 persen—70 persen hanya berijazah sekolah dasar.

Kedua ragam pokok bahasa itu—yang masing-masing memiliki subragam lagi—dipakai secara berdampingan untuk fungsi kemasyarakatan dalam ranah yang berbeda-beda. Ragam yang tinggi biasa digunakan untuk komunikasi pemerintahan, perundang-undangan, dan pendidikan. Termasuk di dalamnya pidato dan khotbah, ceramah dan kuliah, tajuk rencana dan artikel dalam surat kabar, karya susastra dan doa di muka umum. Karena tertaut pada tindak dan perilaku yang dinilai tinggi dan sangat berharga, ragam itu pun bergengsi tinggi; bahkan ragam itu dianggap lebih adab dan lebih mampu mengungkapkan buah pikiran yang rumit dan canggih. Ragam yang rendah umum dipakai, misalnya, di dalam percakapan keluarga serumah, di antara teman sebaya; di pasar dalam tawar-menawar (Melayu Pasar); dalam surat pribadi kepada karib.

Di dalam proses pemerolehan bahasa (language acquisition) anak prasekolah lebih dahulu mengenal ragam bahasa sehari-hari yang rendah itu. Gramatikanya dihayati tanpa mempelajari kaidahnya dengan sadar. Ragam yang tinggi diperoleh kanak-kanak ketika masuk sekolah dengan mempelajari norma dan kaidahnya. Banyak sekali kanak-kanak Indonesia tidak mengenal, atau hanya mengenal sedikit, ragam bahasa formal lisan sampai saat masuk sekolah. Bahasa di rumah ialah ragam bahasa sehari-hari, atau salah satu ragam bahasa daerah, ataupun kedua-duanya secara bergantian.

Situasi itu pulalah yang menyebabkan mengapa ada perbedaan yang cukup besar di antara pemakai bahasa Indonesia ragam tulis dan ragam lisan yang bermacam-macam. Jika ada orang berkata bahasa Indonesia termasuk golongan bahasa yang mudah, agaknya ia merujuk ke ragam dasar yang dimahirinya, dan jika orang berkata bahasa Indonesia itu sulit maka yang dimaksudkannya agaknya ragam yang adab yang tidak begitu dimahirinya. Perujukan ke ragam bahasa yang sebenarnya berbeda menjelaskan adanya paradoks di dalam masyarakat bahwa bahasa Indonesia itu mudah dan sekaligus sukar dipelajari dan dipakai. Orang yang terbiasa memakai ragam dasar bahasa sehari-hari beranggapan bahwa ragam bahasa baku itu bahasa yang beku.

2. Penyerapan
Di dalam sejarah perkembangan bahasa Melayu/Indonesia proses penyerapan ini sudah lama berjalan. Tidaklah mengherankan jika bahasa serumpun, yang jumlah penuturnya tergolong besar, merupakan sumber yang kaya. Karena di dalam masyarakat multilingual kedwibahasawan bukan sesuatu yang langka, unsur serapan itu dapat berasal dari penutur asli bahasa yang serumpun sehingga terjadi penambahan yang spontan. Atau orang yang bukan penutur asli bahasa serumpun yang terkemuka, seperti bahasa Jawa dan Sunda, menyerap juga dari bahasa yang bersangkutan itu dengan pertimbangan bahwa unsur serapan itu akan segera dipahami oleh kalangan masyarakat yang luas. Berikut ini sekadar beberapa contoh: tanpa (Jw), godok (Jw, Sd), karsa (Jw), gembleng (Jw), sarjana (Jw), wejangan (Jw), kolot (Sd), nyeri (Sd).

Sikap penutur bahasa Indonesia terhadap bahasa asing sebagai sumber serapan berbeda dengan sikapnya terhadap bahasa serumpun yang juga merupakan sumber serapan. Unsur serapan yang berasal dari bahasa Jawa, misalnya, tidak dimasukkan ke dalam kategori yang asing walaupun kedua bahasa itu dari jurusan linguistik digolongkan jadi dua sistem yang otonom. Karena itu, penyerapan unsur dari bahasa asing pun berbeda di dalam proses dan penempatannya di dalam sistem bahasa Indonesia.

Ditinjau dari taraf penyerapannya ke dalam tubuh bahasa Indonesia, bentuk serapan itu ada yang jadi unsur kosakata asing yang terdapat di dalam kosakata umum, dan ada yang dimasukkan langsung sebagai unsur baru kosakata umum. Golongan yang pertama meliputi bentuk yang melambangkan barang atau paham yang sangat baru bagi masyarakat bahasa penyerap atau yang medan maknanya sangat khusus di dalam bahasa sumber itu sendiri. Termasuk di dalam kategori itu, misalnya turn key project, bowling, esprit de corps, Erklarung, Renaissance, Sturm und Drang, Atlantic Charter, l’art pour l’art, dan Svaraj.

Unsur serapan itu digunakan di dalam konteks kalimat Indonesia dalam bentuknya yang asli, baik ejaannya maupun lafalnya. Agaknya sejumlah kata dan ungkapan yang berasal dari bahasa dengan tujuan khusus, misalnya, bahasa Arab dan Latin, yang bertalian dengan akidah atau ibadat keagamaan, harus dimasukkan ke dalam bilangan kelompok itu. Penempatannya di dalam kosakata asing bahasa Indonesia mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan pendapat tentang kedudukannya di dalam kosakata. Tidak perlu diperbalahkan apakah tut wuri handayani dan salam alaikum masuk kosakata Indonesia atau tidak. Secara prinsip dapat dikatakan bahwa setiap bahasa mengakui adanya kosakata asing di dalam korpus kosakata umumnya. Leksikon bahasa Inggris, misalnya, mengandung sejumlah unsur leksikal Prancis dan Latin yang digunakan secara umum, misalnya, vis-a-vis, in toto dan curriculum vitae. Bertambahnya jumlah leksikal di dalam kosakata asing suatu bahasa bertalian juga dengan pengembangan berbagai laras bahasa (register). Kita dapat menemukan, misalnya, butir apparatus criticus di bidang filologi dan butir juncto, bis, dan ter di bidang perundang-undangan Indonesia.

Golongan serapan berikut dapat diperinci menjadi tiga golongan:
1) Unsur serapan yang mengalami penyesuaian bentuk fonologi atau ejaannya;
2) Unsur serapan yang mengalami proses penghibridan;
3) Unsur serapan yang merupakan hasil penerjemahan.

Kelompok pertama terdiri atas subkelompok unsur yang termasuk kosakata umum dan subkelompok unsur yang tergolong istilah teknis. Pada masa lampau bentuk penyerapan disesuaikan berdasar pendengaran. Unsur serapan itu umumnya masuk ke kosakata ragam bahasa yang rendah. Itulah sebabnya terhadap contoh yang berikut setir:stuur, dongkrak:dommekracht, bengkel:winkel, pol:vol, mebel:meubel, boplo:bouwploeg, pluit:fluit, kopral:korporaal, macis:matches, obeng:openg (Amoy) (lihat Jones, (ed) 2007). Yang menarik dewasa ini masih ada orang yang lebih suka memakai bentuk katering (keterin) daripada jasaboga yang diusulkan Pusat Bahasa.

Kelompok serapan hibrida meliputi bentuk yang sebagian terdiri atas unsur yang asing dan sebagian lagi berupa unsur Indonesia, misalnya swalayan (self service), praanggapan (presupposition) dan modulasi sudut (angle modulation). Juga termasuk di dalamnya bentuk yang beralas morfem Indonesia yang mendapat afiks asing; atau sebaliknya, bentuk yang beralas morfem asing yang berafiks Indonesia, misalnya rimbawan, bapakisme, menasionalkan, pendekretan, dan dirasionalisasi.

Kelompok serapan maknawi dapat dianggap hasil proses penyerapan semantik dengan substitusi unsur bahasa penyerap, ialah unsur serapan yang lazim disebut serapan terjemah. Sekadar beberapa contoh diberikan di bawah ini sebagai gambaran. Unsur kedua di dalam tiap pasangan merujuk ke unsur asing yang menjadi model bagi serapan Indonesianya: mengambil alih/avernemen; kerjasama/samenwerking; menggarisbawahi/onderstrepen; underscore; balokkotak/boxgirde; suku cadang/spare part.

Aspek sosiolinguistik yang menarik di dalam proses penyerapan itu ialah latar pertimbangan penutur bahasa untuk menyerap unsur bahasa lain. Pertama-tama dapat dikemukakan bahwa pada hakikatnya masalah penyerapan mula-mula terbatas pada dwibahasawan yang dapat memilih dari sumber di luar bahasanya sendiri. Jika kemudian unsur serapan itu menjadi lazim, golongan penutur yang lain memasukkannya ke dalam kosakatanya masing-masing sebagai “barang jadi”. Di samping itu, dapat diajukan sekurang-kurangnya enam macam faktor dan pertimbangan yang rupanya dapat merangsang tindakan penyerapan.

Faktor dan pertimbangan itu ialah (1) prinsip kehematan; (2) kejarangan bentuk asli; (3) keperluan akan kata yang searti; (4) pembedaan arti di dalam bahasa sendiri yang kurang cermat; (5) gengsi bahasa asing; dan (6) kemampuan berbahasa penutur yang rendah.

Penyerapan kata dapat dianggap salah satu contoh usaha mencari cara yang lebih hemat. Memilih kata yang sudah siap lebih ekonomis daripada memerikan konsep dalam bahasa sendiri; apalagi jika di dalam pemerian itu diperlukan bentuk frasa, misalnya politik, ekonomi, dan demokrasi. Unsur leksikal asli yang jarang digunakan tidak termasuk kosakata produktif penutur bahasa jika ia bukan ahli bahasa. Kata dursila, misalnya, berpadanan dengan evil atau immoral. Namun, karena kata Melayu itu frekuensi pemakaiannya sangat rendah, terciptalah bentuk asusila berdasarkan analogi yang salah, yakni moral:amoral = susila:asusila dengan menyamakan arti amoral dengan immoral. Pertimbangan kelanggaman (stilistik) dapat mendorong penutur bahasa mencari sinonim demi variasi estetik di dalam ujaran dan tulisannya. Pemahaman bahasa lain memberinya peluang menyerap unsur kosakata bahasa itu, lepas dari masalah perlu tidaknya dilakukan penyerapan itu jika di dalam bahasanya sendiri terhadap sinonim yang memadai, misalnya asimilasi dan pembauran, penyerapan; kontrol dan pengawasan, pengendalian, penilikan; spesial dan khusus; fasilitas dan kemudahan.

Kadang-kadang timbul perasaan pada penutur bahasa bahwa bahasanya tidak memiliki peranti untuk membedakan dengan cermat berbagai konsep yang bertalian. Benar tidaknya anggapannya itu tidak disadarinya. Karena itu, ia merasa perlu menularkan perbedaan bentuk di dalam bahasa asing ke dalam bahasanya sendiri dengan menyerap seperangkat kata yang termasuk dalam satu paradigma, misalnya politik dan politis, universitas dan universiter, norma dan normatif. Kefasihan berbahasa asing, khususnya bahasa yang ditautkan dengan peradaban yang tinggi, kadang-kadang disangka penutur bahasa akan meningkatkan kedudukan sosialnya di mata orang. Karena itu, diseraplah evaluasi, bilateral, multiplikasi, dan kalibrasi walaupun ada bentuk penilaian, dwipihak, pelipatan dan kelipatan, serta peneraan.

Penutur bahasa di antara kalangan elite sosial tidak sedikit yang kosakata asingnya lebih luas cakupannya daripada kosakata Indonesia ragam tingginya, dan taraf pemahaman kaidah gramatikal bahasa asing lebih tinggi daripada taraf pemahamannya di bidang bahasa Indonesia. Pada proses pengalimatan buah pikirannya lalu mungkin terjadi interferensi pola struktur kalimat asing yang mendorongnya menciptakan serapan terjemah. Di dalam beberapa ragam, misalnya, dapat ditemukan unsur serapan dalam mana, atas mana, untuk mana, kepada siapa, dan dengan siapa sebagai konjungsi, yang masing-masing berpola pada waarin/in which, waarop/wherefore, waarvoor/wherefore dan aanwiel/to whom, dan met wie/with whom.

3. Globalisasi
Dalam konteks kebahasaan, globalisasi membuka pintu bagi bahasa global masuk dengan bebas ke dalam masyarakat yang bahasa nasional atau bahasa resminya belum mantap. Yang kuat menang, yang lemah harus minggir. Perlu dibedakan paham globalisasi dari internasionalisasi. Internasionalisasi berupa pengembangan kerja sama antarbangsa di bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya dan sebagainya. Jati diri dan budaya nasional dipertahankan. Kedaulatan dijaga sehingga kepentingan rakyat tidak dirugikan.

Dalam hubungan kebahasaan, internasionalisasi dapat berupa pemadanan unsur bahasa lewat penerjemahan dan atau penyerapan. Tinggi rendahnya kadar penyerapan unsur bahasa bergantung pada kondisi objektif dan subjektif. Penyerapan berdasarkan kondisi objektif terjadi jika kosakata bahasa, sebagai cerminan budaya, memang tidak memadai sehingga perlu ada pengayaan lewat adopsi unsur bahasa asing. Penyerapan berdasar kondisi subjektif terjadi jika ada rasa tunaharga diri pada anggota masyarakat bahasa itu sehingga segala hal yang berasal dari luar dianggap lebih baik. Internasionalisasi dunia industri dan produksi jasa, serta perdagangan memperikutkan modal campuran yang berakibat pihak Indonesia kalah suara sehingga produk kerja sama itu akan memakai nama Inggris. Tengoklah nama bahasa Inggris pada hotel, mal, restoran, bank, dan jenis hiburan yang dengan leluasa muncul di mana-mana.

Banyak pelaku bisnis yang tidak mempunyai ikatan emosional yang kuat pada bahasa Indonesia. Bahasa apa pun menjadi sekadar promosi jualan. Karena di kalangan itu ada identifikasi antara peradaban yang tinggi dan mutu produk yang unggul dengan bahasa Inggris yang mengantarnya, masyarakat (perkotaan) dibuat percaya bahwa bahasa Inggris itu jadi jaminan mutu.

Model globalisasi yang ditiru sebenarnya bukan yang terdapat di Amerika Serikat atau Britania Raya, melainkan yang berkembang di Singapura, Kuala Lumpur dan Hongkong. Orang lupa bahwa kedudukan dan fungsi bahasa Inggris di ketiga tempat itu sangat berbeda dengan fungsi bahasa Inggris di Indonesia. Di bekas jajahan Inggris itu bahasa Inggris diakui sebagai bahasa resmi atau bahasa kedua. Bahkan di Singapura bahasa Inggris mempersatukan penutur bahasa golongan Cina, Melayu, dan India. Di Malaysia bahasa Inggris berhadapan dengan bahasa Melayu yang menjadi bahasa ibu mayoritas bangsa Malaysia.

Di Indonesia bahasa Inggris de jure tidak memiliki kedudukan dan fungsi itu. Ketakberdayaan penguasa mengatur rambu-rambu pemakaian bahasa di tempat umum dan ruang terbuka berakibat bahasa Inggris de facto mulai merebut berbagai ranah kehidupan yang semula diisi bahasa Indonesia.

Kedwibahasaan, atau ketribahasaan, tidak merugikan, bahkan menguntungkan pemakai bahasa, asal tidak dengan akibat dikorbankannya bahasa kebangsaan sendiri. Apa lagi bahasa nasional itu belum mantap kaidahnya secara merata, dan penguasaan ragam formalnya oleh warga masyarakat juga belum tinggi secara merata. Ujung-ujungnya nanti tidak ada bahasa yang betul-betul dikuasai penutur bahasa Indonesia.

Yang patut dicatat ialah bahwa globalisasi dan pasar bebas di dalam ekonomi dunia tidak mengakibatkan penginggrisan bahasa di Jerman, Perancis, Italia, Jepang, Korea, dan Cina seperti di Indonesia. Jadi globalisasi tidak perlu jadi alasan penginggrisan bahasa di Indonesia.

Jika fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara betul-betul telah menjadi kenyataan, maka fungsi itu akan menghasilkan (1) sikap kebanggaan bahasa, dan (2) sikap kesetiaan bahasa. Sikap kebanggaan bahasa timbul jika ada perasaan bahwa bahasa Indonesia dapat mengungkapkan konsep yang rumit secara cermat dan isi hati yang seluas-luasnya. Sikap kesetiaan bahasa terungkap jika orang lebih suka memakai bahasa Indonesia untuk berbagai keperluan dalam komunikasi antargolongan, dan jika ia bersedia menjaga agar pengaruh bahasa asing jangan berlebihan.

Berdasarkan uraian di atas kosakata ragam tinggi bahasa Indonesia dapat diibaratkan mengisi empat lingkaran sepusat. Lingkaran pertama di pusat diisi oleh khazanah bahasa Melayu dan serapan dari sejumlah bahasa Nusantara, seperti bahasa Jawa Kuno, Jawa Modern, Sunda, dan Minangkabau. Lingkaran kedua diisi oleh kosakata yang merupakan padanan Indonesia atau daerah Nusantara dari sumber asing yang diserap lewat penerjemahan. Termasuk di dalamnya kereta api malam dan pasar swalayan. Lingkaran ketiga diisi oleh kosakata yang merupakan padanan kata dan ungkapan asing yang diserap dengan penyesuaian ejaan dan lafal. Contohnya ialah mikrofon, desain, lateral, apendektomi. Lingkaran keempat memuat kosakata asing dengan ejaannya yang asli dan yang menjadi pemukim tetap dalam bahasa Indonesia. Dengan mengakui adanya unsur asing di dalam kosakata Indonesia, kata dan ungkapan seperti tut wuri handayani, assalamu alaikum, cum laude, ex officio, dan (permainan) bridge tidak perlu diperbalahkan lagi masuk tidaknya ke dalam bahasa Indonesia (bdk Jumarim et al 1996).

Prof. Dr. Anton M. Moeliono adalah profesor emeritus pada FIB Universitas Indonesia dan Program Pascasarjana Linguistik Terapan Bahasa Inggris, Unika Atma Jaya. Ia juga konsultan Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional R.I.

Published in Bahasa Media