KPI Diduga Melanggar Undang-Undang Pers

Oleh Abdullah Alamudi


Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kini berada di dua kutub berhadapan, menyusul langkah KPI yang mengenakan sanksi larangan siar sementara terhadap program Metro TV, “Headline News” pukul 05.00 WIB, selama tujuh hari berturut-turut.

Sejumlah pengamat media dan anggota Dewan Pers melihat sanksi KPI itu sebagai sebuah sensor, mengancam kemerdekaan pers, dan melanggar Pasal 4 (ayat 2) UU No. 40 tentang Pers. Pasal itu menegaskan, “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.”

KPI berpendapat paket berita bertajuk “Headline News” yang disiarkan Metro TV, menyusul operasi polisi terhadap sejumlah kafe Internet di Trenggalek, Jawa Timur, pada 14 Juni, melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS), pasal 17 (Huruf k) tentang pornografi. Sanksi terhadap lembaga penyiaran yang melanggar Pasal 17 (huruf k), menurut Pasal 71 P3-SPS, bisa dikenai sanksi berupa larangan siar sementara atas program bersangkutan.

Paket berita itu menyiarkan antara lain adegan sanggama selama lima detik dari satu video dari kafe Internet yang dirazia polisi. Maka, KPI menjatuhkan sanksi sesuai dengan bunyi Pasal 71 P3-SPS Paket Headline News pukul 05.00 WIB tidak boleh tayang tujuh hari berturut-turut. KPI juga mewajibkan Metro TV menyampaikan permohonan maaf tiga kah sehari selama tiga hari berturut-turut. “Seperti minum obat,” kata Ilham Bintang, Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia.

Itu adalah sanksi paling kontroversial yang pernah dijatuhkan KPI sejak lembaga tersebut dibentuk oleh UU No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, sewindu yang lalu. Keputusan KPI itu jelas cacat hukum karena ia menabrak UU Pers, yang kedudukannya lebih tinggi dari P3SPS buatan KPI.

Lagi pula, adalah Dewan Pers-bukan KPI-yang ditugasi oleh Pasal 15 (ayat 2 huruf a, c,dan d) UU Pers untuk (a)”… melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain …”, (c) “menetapkan dan mengawasi Kode Etik Jurnalistik”, dan (d) “… memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”. Jadi, KPI tidakpunya wewenang untuk menilai apakah suatu pemberitaan pers melanggar etika jurnalistik.

Bukan hanya anggota Dewan Pers, beberapa pengamat dan mantan anggota Dewan Pers juga berpendapat bahwa KPI telah melakukan sensor dan mengancam kemerdekaan pers-buah reformasi yang sangat berharga dan patut dihormati.

Mereka semua sepakat bahwa Metro TV telah melakukan kesalahan, dan karena itu harus mendapat sanksi, tapi hukumannya tidak boleh menyensor, membredel, melarang siaran berita, atau sanksi lain yang melanggar UU Pers.

Pemimpin Redaksi Metro TV Elman Saragih dan wakilnya, Makroen Sanjaya,mengakui Metro TV telah melakukan kesalahan karena kesalahan IT, dan sudah mengambu tindakan terhadap produser yang bertanggung jawab atas program tersebut. Metro TV menerima sanksi dari KPI itu, berupa tidakmenyiarkan Headline News edisi pukul 05.00 WIB selama tujuh hari berturut-turut, dan minta maaf kepada masyarakat tiga kali sehari selama tiga hari berturut-turut.

Anggota KPI periode sekarang tampaknya mengikuti keputusan KPI periode 2007-2010, ketika mereka menjatuhkan sanksi larangan siar selama satu bulan terhadap sebuah program Trans TV berjudul “Empat Mata”, yang dibintangi komedian Tukul. Tapi “Empat Mata” adalah entertainment, bukan berita, dan memang berada di dalam wilayah KPI. Sekalipun demikian, Ketua KPI Sasa Djuarsa melakukan konsultasi dengan Dewan Pers, dan keputusannya didukung Dewan Pers.

Saat pembredelan terhadap siaran Metro TV terjadi, sebagian terbesar anggota

Dewan Pers sedang melakukan studi banding di negeri Belanda. Tapi ketidakhadiran anggota Dewan Pers secara fisik di Jakarta jelas bukan alasan bagi KPI untuk tidak berkonsultasi dengan mereka, mengingat kemajuan teknologi komunikasi sekarang ini dan hampir semua anggota Dewan Pers bisa dihubungi 24 jam sehari di mana pun mereka berada. Lagi pula, seorang anggota Dewan Pers, Margiono, yang juga Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia, tidak ikut ke Belanda.

Ketika Headline News Metro TV edisi pukul 05.00 WIB itu tidak tampil selama tujuh hari berturut-turut, pastilah masyarakat yang selalu mengikuti siaran itu setiap pagi kehilangan sumber informasi mereka. Pertanyaannya lantas dapatkah anggota masyarakat yang kehilangan sumber informasi selama tujuh hari itu mengadukan kerugian mereka kepada Dewan Pers? Dapatkah Dewan Pers mengajukan KPI ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena KPI telah melakukan sensor atau pembredelan terhadap pers, dan melanggar Pasal (4 ayat 2) UU Pers?

Ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 18 (ayat 1) UU Pers menyebutkan “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).”

Perlu ada satu yurisprudensi untuk menjamin bahwa tidak satu pun lembaga yang boleh melakukan sensor, pembredelan, atau larangan siar terhadap berita pers, dan dengan demikian, KPI dan Dewan Pers tidak perlu berdiri di dua kutub berlawanan. Masyarakat ha-rus bersama-sama menjaga kemerdekaan pers-buah reformasi yang sangat berharga.

Abdullah Alamudi adalah pengajar pada Lembaga Pers Dr Soetomo; anggota dewan penyantun LBH Pers; mantan anggota Dewan Pers.

Sumber: Koran Tempo, 21 Jul 2010

 

Published in Kajian Media