Oleh Zaki Setiawan, Koresponden Koran Sindo di Batam dengan penugasan ke Sumatra Selatan Maret 2014
LAHAN gambut dan hutan belantara di Desa Nusantara, kini menjadi lahan pertanian yang hasil panennya mampu menyumbang pangan penduduk di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Jalur sungai menuju desa, jembatan kayu, dan jalan tanah dibuat warga secara swadaya.
Kesejahteraan yang mulai dirasakan warga di desa lumbung padi ini, dilalui penuh liku. Bertahan dengan kondisi alam, godaan untuk tidak menjual lahan ke orang lain atau perusahaan, dan keuletan mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian dilakukan warga transmigran, ujar Agus Sutriyo, salah satu pelaku transmigrasi tersebut.
Keinginan untuk menyukseskan program pemerintah dan berharap peningkatan kesejahteraan bagi keluarganya, mendorong pria 58 tahun ini untuk menerima tawaran transmigrasi pada 1981. Ia rela meninggalkan daerah yang membesarkannya, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, bersama istri, anak semata wayang, dan ratusan warga lainnya.
“Saya juga mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai Polisi Kehutanan dengan gaji
Rp 40 ribu sebulan,” kenangnya.
Mengolah lahan di daerah transmigrasi merupakan perjuangan tersendiri. Lahan gambut, pohon dan rumput liar di hutan belantara, kondisi alam yang berbeda, air bersih yang sulit didapatkan adalah diantara tantangan yang harus ditaklukkan. Tidak mudah,serangan malaria dan bencana kelaparan hingga tewasnya 18 jiwa warga, serta ancaman hewan liar akhirnya mampu mengubah lahan gambut dan hutan belantara menjadi lahan pertanian.
Mulai 1995, hasil panen dari sawah tadah hujan kian menjanjikan, mampu memenuhi kebutuhan pangan seluruh warga hingga surplus dan menjadi cadangan pangan Kabupaten OKI. Serangan hewan liar seperti gajah, babi hutan, tikus, dan hama yang mengancam hasil panen akhirnya mampu diatasi. Sehingga mampu meningkatkan hasil panen padi yang biasa hanya 300 kilogram per hektare, menjadi 3 hingga 4 ton.
“Keberadaan hewan-hewan liar ini sangat merusak tanaman padi dan memakan hasil panen. Setelah hutan tempat berlindung hewan liar dibersihkan, ancaman menjadi berkurang,” jelasnya.
Kebanggaan sebagai daerah lumbung padi, akhir-akhir ini tidak menentramkan hati Agus saat mengetahui keluarnya izin prinsip Bupati OKI kepada sebuah perusahaan perkebunan pada 2005. Izin prinsip tersebut, menjadi alasan perusahaan untuk mengelola lahan yang telah dimanfaatkan transmigran menjadi lahan perkebunan.
Agus dan warga Desa Nusantara lainnya kompak menolak. Dari 18 desa/kelurahan di Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), tinggal Desa Nusantara yang enggan menyerahkan lahan seluas 1.200 hektare. Alasannya, tak ingin Desa Nusantara yang merupakan sumber pangan sebagai lumbung padi hilang.
Keberadaan lahan perkebunan seperti kelapa sawit, hanya akan merusak keseimbangan alam dan lingkungan. Mengingat kelapa sawit merupakan tanaman dengan penyerapan air yang tinggi, yang dapat membuat tanah sekitarnya gersang.
“Kami juga tidak mau akhirnya hanya menjadi kuli di bekas lahan sendiri,” ujarnya.
Published in