Green Building, Solusi Atasi Suhu Kota Kendari

Oleh Agus Sana’a, Koresponden harian Sinar Harapan, Kendari
(Juli 2015)

ZAINUDDIN (65), warga Kelurahan Talia, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), tampak bertelanjang dada duduk-duduk santai di kursi teras rumahnya. Dengan posisi kaki kanan di atas paha kiri, ia mengibas-ngibaskan koran di badannya.

Sesekali ayah dari lima anak itu berdiri dan melangkah membuang ludah ke tanah. Lelaki itu tampak gerah karena suhu di sekitar rumahnya siang itu, sekitar pukul 11.30 Wita, dirasakan agak panas.     

“Maaf, _Pak, saya buka baju!” kata Zainuddin saat ditemui di kediamannya di Kelurahan Talia, Kecamatan Abeli, Kota Kendari, Kamis (2/7).

Dulu, tahun 1990-an, lanjut Zainuddin suhu udara di kota ini terasa segar dan nyaman. Pagi hari seluruh wilayah kota tampak diselimuti kabut dan titik-titik embun yang menyebabkan jarak pandang tidak terlalu jauh.

Bila keluar rumah waktu pagi, sekitar pukul 05.00– 06.00 jika tidak menggunakan pakaian tebal, tutur Zainuddin, badan menggigil dan gemetaran. Saat berbicara, dari mulutnya  tampak keluar kabut.

“Kami baru merasa terlepas dari rasa dingin setelah matahari sudah agak tinggi, sekitar pukul 09.00. Rasa nyaman pada jam tersebut kami rasakan hampir sepanjang siang,” kata Zainuddin.

Kini, ujarnya, zaman sudah berubah. Mulai pukul 09.00 suhu udara sudah mulai panas dan baru berangsur-angsur menurun kembali setelah matahari condong ke barat.

“Kondisi seperti ini mulai terasa sejak beberapa wilayah kota ini berubah menjadi kawasan permukiman. Keadaan ini makin parah setelah sebagian kawasan hutan bakau di bibir Teluk Kendari dibabat habis,” katanya.

Apa yang diungkapkan Zainuddin tersebut dibenarkan oleh pakar Kehutanan dan Lingkungan Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, Prof. Dr. Ir. Laode Sabaruddin, M. Si. Menurutnya, temperatur udara  di wilayah Kota Kendari saat ini sudah meningkat dibanding dengan suhu tahun 1990-an, sehingga tidak lagi memberi rasa nyaman bagi para penghuninya.

Data di BMKG Kendari, selama tahun 2005 suhu udara maksimum Kota Kendari 32,83 °C dan suhu minimum 19,58 °C. Saat ini suhu udara maksimum di kota tersebut sudah mencapai 33,60 °C dan suhu miimum 20,35 °C.

Rentan banjir
Selain temperatur udara di wilayah kota mulai meningkat, juga beberapa kawasan permukiman penduduk sudah mulai rentan dilanda musibah banjir dan tanah longsor. Kondisi ketidaknyamanan hidup tersebut dipicu oleh aktivitas pembukaan lahan baru, baik sebagai permukiman, pertanian dan pertambangan, maupun aktivitas pengolahan hasil hutan jenis kayu yang makin tidak terkendali.

“Pembukaan lahan baru dan perambahan kawasan hutan di wilayah Sultra, terutama di wilayah Kota Kendari, telah menyebabkan luas kawasan hutan terus menyusut. Dampaknya, suhu udara terus meningkat karena produksi oksigen dari kawasan hijau yang mengatur suhu udara juga terus berkurang,” tutur Prof. Sabararuddin  dalam keterangan terpisah.

Menurut Prof. Sabaruddin, Dekan Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan UHO, itu tingkat kerusakan hutan paling parah di wilayah Sultra, terjadi tahun 2012. Sepanjang tahun tersebut luas kawasan hutan yang mengalami kerusakan mencapai 102 ribu hektar lebih dari total luas kawasan hutan  2,6 juta hektar lebih.

Prof. Sabaruddin memastikan, jika kerusakan kawasan hutan dan pembukaan kawasan permukiman baru di Kota Kendari terus meluas, maka temperatur udara di kota ini akan terus meningkat. Pada saat yang sama, musibah banjir, kekeringan,  dan tanah longsor juga tidak bisa lagi dielakkan.

“Perubahan iklim ekstrem maupun perlahan yang mengancam keselamatan hidup umat manusia dan seluruh penghuni bumi akan semakin sulit dihindari. Karena itu, semua pihak pemangku kepentingan harus ekstra hati-hati dalam memanfaatkan sumber daya kehutanan,” katanya.

Dampak dari kerusakan sumber daya hutan menurut Prof. Sabaruddin, bukan hanya bisa menimbulkan perubahan iklim melainkan juga bisa merusak seluruh sektor kehidupan. Tanaman pertanian tidak akan mendapat kebutuhan air yang memadai jika kawasan hutan terus dirusak. Demikian pula dengan umat manusia, tidak akan bisa hidup sehat jika kebutuhan air bersih tidak tersedia. Lebih-lebih jika temperatur udara sudah meningkat jauh melebihi ambang batas suhu udara normal, maka kehidupan di kota ini akan semakin sulit.

Dalam pandangan Sabaruddin, menghadapi perubahan iklim hanya ada dua hal yang bisa dilakukan, yakni adaptasi dan mitigasi.  Adaptasi upaya menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungan, sedangkan mitigasi, serangkaian upaya mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Bangunan Hijau
Mengantisipasi perubahan temperatur udara di wilayah Kota Kendari yang terus meningkat, Pemerintah Kota Kendari, menggulirkan program bagunan hijau atau green building. Penerapan program tersebut untuk mengurangi emisi karbon, menghemat sumber daya air, dan mengurangi efek gas rumah kaca.

“Tujuan utama dari penerapan bangunan hijau yang kita gulirkan ialah  untuk mengurangi dampak lingkungan terhadap kesehatan manusia. Selain itu, juga untuk menciptakan lingkungan alam yang sehat dan menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan manusia serta memelihara sumber daya air secara berkelanjutan,” kata Asrun, Wali Kota Kendari, di Kendari, Kamis (2/7).

Asrun mengaku dalam mewujudkan bangunan hijau tersebut, pihak Pemerintah Kota Kendari merangsang para pengembang perumahan agar ikut mendukung program bangunan hijau. Caranya: setiap pengembang perumahan yang menerapkan konsep bangunan hijau, Pemkot memberikan insentif.

“Insentif yang kami berikan kepada para pengembang perumahan berupa penyediaan area untuk kawasan hijau di dalam kawasan permukiman penduduk yang dibangun. Dengan begitu, akan tercipta kawasan hijau yang bisa memenuhi ketersediaan oksigen di  kawasan permukiman,” katanya.

Menurut Asrun, perkembangan dan pertumbuhan penduduk Kota Kendari saat ini sudah semakin padat. Jika ketersediaan oksigen di kota ini tidak diciptakan oleh pemerintah kota melalui konsep bangunan hijau, maka ke depan bukanlah hal yang mustahil Kendari akan kekurangan oksigen.

“Kalau jumlah oksigen berkurang, hampir dipastikan suhu di kota ini akan meningkat dan pada gilirannya akan membuat hidup warga kota menjadi tidak nyaman. Dampaknya yang lebih jauh, biaya hidup akan menjadi tinggi karena warga harus mengeluarkan biaya untuk mengatur suhu udara, terutama di setiap kamar rumah,” kata Asrun.

 

Published in ClimateReporter