Seorang petani Riau menyadap karet di kebun yang telah dikelolanya bertahun-tahun di tengah cuaca berkabut. (dina)

Dampak Kemarau Panjang bagi Petani Sawit dan Karet di Riau: Melayukan Dedaunan, Mengeringkan Celengan

Oleh Dina Febriastuti, PiramidNews.com, Pekanbaru
(Juli 2015)

MISNGADI mengendarai sepeda motor menerobos kabut asap dengan mengenakan masker hijau tipis menuju kebun kelapa sawitnya di Desa Kepau Jaya, Riau. Ia hendak mengontrol pekerjaan perawatan kebun yang sudah dilakukan beberapa orang serta beberapa urusan lain menyangkut kelompok tani tempatnya bergabung.

Melintasi jalan tanah yang lebih banyak dihiasi semak belukar dan sebagiannya hanya dapat dilalui kendaraan roda dua, ia juga hendak memastikan akan ada yang membantu memanen hasil kebun yang sudah tujuh tahun ini menghidupi tujuh orang anggota keluarganya. Jadwal itu sekira sepuluh  hari lagi.

Meski hasil panen itu semakin hari semakin menyusut, tanpa mengeluh ia tetap mengelola kebunnya semaksimal mungkin. Semangatnya, gairah, dan optimismenya sama dengan sepuluh tahun lalu, ketika kebun itu baru ditanaminya. “Panen enggak kayak dulu, Mbak. Beberapa tahun ini payah. Harga pun jatuh. Sekarang ini terendah dalam lima tahun terakhir,” demikian Misngadi  bercerita jelang keberangkatannya ke kebun seluas total empat hektare di lahan bergambut itu  di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Provinsi, pada minggu terakhir Juli 2015.

Harga jual tandan buah segar (TBS) sawit yang didapatkan bersama teman-teman petani sawit lainnya di kelompok taninya saat ini hanya seputar Rp700 sampai Rp800 per kilogram. Hasil panen per bulannya 700-an kilogram per hektare. Itu dari dua kali panen. Dibandingkan dengan sebelumnya, lebih dari tiga tahun lalu, ia dapat memanen satu setengah sampai dua ton per hektare per bulan.

Ia memperhatikan bahwa hasil panen sawit tak maksimal karena perawatan dan pemeliharaan tak pula dapat dilakukan maksimal belakangan ini. Bukannya karena perhatiannya yang berkurang, kondisi cuaca panas yang begitu panjang di Riau bertahun-tahun belakangan ini membuatnya tak dapat mengupayakan produksi yang maksimal.

Lelaki 44 tahun ini memaparkan bahwa cuaca yang tak lagi sesuai dengan kebiasaan selama ini serta tak dapat diprediksi itu sungguh-sungguh memengaruhi tanamannya dan produksinya. Musim panas datangnya lebih cepat dan berlangsung lama. Jika dulu setidaknya pada September sudah mulai puncak musim hujan dan itu berlangsung hingga Januari atau Februari tahun depannya. Kini Desember atau Januari saja sudah dimulai musim kemarau. Kondisi kemarau ini begitu “mematikan”, panasnya luar biasa hingga suhu bisa mencapai 39 derajat Celcius dan ketiadaan hujan sangat mungkin terjadi lebih dari tiga bulan.

Kondisi demikian, ulas Mis yang memiliki lima orang putra-putri, sangat memengaruhi keberhasilan dalam pemupukan dan perawatan sawit. Pemupukan dan perawatan akan membawa hasil yang maksimal jika kondisi tanah basah. Bila tanah kering, kemampuan tanaman menyerap pupuk hanya mencapai 20 persen sampai 25 persen keberhasilan optimum. “Dengan demikian, walaupun perawatan dan pemupukan bagus, hasil akan kurang maksimal karena kurang ‘dimakan’ oleh tanaman,” kata Misngadi menjelaskan sembari sesekali bertanya kepada orang yang bekerja di kebun itu dan terkadang menimpali jawaban orang-orang di kebun itu dengan guyonan.

Misngadi melanjutkan bahwa kemarau yang berkepanjangan juga menimbulkan hama yang dikenal dengan nama ulat api. Ulat api tersebut memakan daun hingga tak bersisa. Kondisi demikian tentu akan mengganggu proses fotosintesis dan pada akhirnya mengganggu kondisi batang, pembuahan, dan kualitas buah.

Produktivitas Turun
Ketua Kelompok Tani Kepau Mulia Jaya itu belasan tahun lalu pernah bertani pepaya, jagung, sayur-sayuran, dan beberapa tanaman holtikultura lain menyampaikan bahwa hampir seluruh petani di kelompoknya berjumlah ratusan kepala keluarga itu pernah mengungkapkan keluhan atas kondisi produktivitas kebun yang jauh menurun, bahkan hingga mencapai 30 persen dari hasil yang semestinya. Ia menggambarkan kondisi tandan buah segar yang dihasilkan mereka itu kini tandannya kecil, beratnya kurang, bentuk buah berbeda dibandingkan dengan ketika air mencukupi dan kepadatan buah juga kurang.

Keluhan lain juga mencuat dari petani karet di Riau. Muhammad Ali mengungkapkan, “Panas terus-menerus inilah yang tak bagus bagi hasil karet.” Petani karet yang sudah menanam karet sejak lebih dari 40 tahun itu mengungkapkan apa yang berlaku padanya saat ini. Hasil getah karet yang dapat dikumpulkannya per bulan rata-rata hanya 250 kilogram per hektare. Padahal, semestinya jika segala kondisi mendukung pertanian karetnya, ia bisa memproduksi hingga 500 kilogram per hektare per bulan. Terutama, bila bibit yang ditanam adalah bibit unggul dan usianya dalam tahap produksi maksimal, yakni 11 sampai 20 tahun.

Ayah delapan orang anak dan kakek tujuh orang cucu ini melanjutkan, “Pertanian karet harus didukung cuaca yang seimbang antara musim panas dan musim hujan. Jika panas terus, daun berguguran, latek getahnya kurang. Kalau biasanya sebatang per hari bisa dapat tiga ons, sekarang satu batang sehari cuma dapat dua ons getah,” ungkap petani yang kini mengelola kebun karet seluas 20 hektare dengan usia tanam yang bervariasi dari 5 tahun, 8 tahun, 12 tahun, hingga 20 tahun.

Kebunnya di Dusun II, Kampung Mengkapan, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Sempadan kebun berusia 20 tahun itu tak jauh dari lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di lahan gambut dengan luas ratusan hektare di Kampung Mengkapan yang kini sudah dalam penyelidikan pihak Kepolisian. Kebakaran itu terjadi persis sehari setelah Idul Fitri 2015, tanggal 18 Juli 2015. Selain kebun karet yang berbibit unggul tersebut, ia juga mengelola kebun karet dengan bibit kampung seluas lebih kurang lima hektare, selama 40 tahun lamanya.

Di rumah panggung berdinding papan miliknya itu seminggu setelah kebakaran tersebut ia bercerita, “Inilah kondisi sekarang. Sekali panas, hujan hanya sebentar. Hidup sekarang jadi susah, kesehatan buruk.” Ia pun menambahkan kisah bahwa kesulitan petani tak hanya berkutat pada persoalan payahnya hasil budi daya  didapatkan karena kendala cuaca panas yang berkepanjangan, tetapi juga harga yang terus melorot. Kini harga getah basah per kilogram hanya Rp5 ribu sampai Rp6 ribu. Sementara, getah kering dihargai tauke seputar Rp8 ribu.

Kesulitan ini merata dikeluhkan petani. Ali yang berusia 58 tahun ini pun membuka cerita tentang beberapa tetangganya yang mengalami kesulitan hidup karena hasil panen yang tak memadai tersebut. Ada tetangganya yang terlilit utang atau ada juga yang terpaksa meminjam ke tauke dengan beragam perjanjian yang harus dipenuhi. 

Produktivitas hasil perkebunan yang turun ini ditegaskan juga oleh Suprianto, Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang juga Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) di Kecamatan Sungaiapit, Kabupaten Siak. Suprianto yang acap mengikuti pelatihan pertanian dan ketahanan pangan ini menyatakan bahwa kondisi cuaca beberapa waktu belakangan ini memang sangat ekstrem. Dampaknya pada petani adalah hasil pertanian menurun. “Pemutikan sawit tak sempurna. Perkembangan putiknya juga kurang maksimal. Oleh karena itu, buah tak sempurna hasilnya,” katanya di lahan perkebunan miliknya.

“Kalau karet, kemarau ini membuat daun gugur duluan. Oleh sebab itu, susu atau latek karet berkurang. Karet jadi kurang berair,” sebut petani yang acap mendampingi penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan terkadang menjadi ujung tombak bagi PPL untuk menyosialisasikan berbagai kebijakan dan program pemerintah serta perkembangan dan teknologi terbaru pertanian kepada petani-petani lainnya.

Seorang petani Riau menyadap karet di kebun yang telah dikelolanya bertahun-tahun di tengah cuaca berkabut. (dina)

Pergeseran
Dr. Haris Gunawan, Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau, menjelaskan bahwa perubahan iklim tak terjadi sekali waktu. Namun, perubahan tersebut baru dapat terjadi bila kecenderungan atau perubahan cuaca itu terjadi puluhan atau bahkan ratusan tahun. Saat ini memang alam sedang mengalami situasi yang berbeda dari sebelumnya. “Ada siklus yang sudah terganggu. Kebanyakan karena aktivitas manusia, walaupun juga bisa disebabkan oleh alam,” ujar dosen yang juga peneliti ekologi dan lingkungan gambut ini.

Tanda-tanda alam dari pergeseran itu dapat disaksikan manusia melalui data-data ekstrem. Misalnya, dalam hal curah hujan, adanya badai, angin topan, kekeringan dan lain-lain. Kemudian, bisa juga disaksikan dari kejadian-kejadian bencana. “Di Riau pergeseran itu nyata karena terjadinya kondisi siklus musim hujan atau kemarau yang tak bisa diprediksi lagi dengan tepat. Musim hujan terlambat datang, tapi kemarau lebih cepat datangnya dan berlangsung lama,” ujar pakar gambut Riau ini.

Ia melanjutkan, dampak dari kondisi alam dan cuaca saat ini sangat dirasakan petani. Khususnya petani kecil atau yang biasa disebut petani swadaya. Petani besar, menurutnya, tak akan terlalu merasakan dampak dari kondisi terakhir ini. Lebih khusus lagi, ia menyebutkan bahwa petani karet akan mengalami penurunan produksi saat kemarau panjang. Itu karena gugur daun pada karet yang terjadi secara luar biasa, sehingga getahnya berkurang. Tak berbeda, pada sawit hasilnya juga akan menurun bila terjadi kemarau dalam jangka waktu yang lama. Ini karena sawit sangat membutuhkan air, demi pemutikan yang baik dan perkembangan buahnya. 

Pihak Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru melalui Kepala Seksi Data dan Informasi, Slamet Riyadi, menuturkan bahwa sesuai dengan keilmuan yang mereka dalami, sesungguhnya saat ini belum dapat disimpulkan terjadi perubahan iklim. Demikian pula, tak dapat dikatakan sudah terjadi cuaca atau kemarau ekstrem. Sesuai dengan teori yang ada, musim panas dapat dikatakan ekstrem bila suhunya naik rata-rata tiga derajat Celcius selama tiga puluh tahun terakhir. Itu bila suhu rata-rata menjadi 36,5 derajat Celcius. Sementara pada Juni dan Juli ini rata-rata suhu di Riau berkisar antara 33 sampai 34,5 derajat Celcius.

Diterangkannya, yang sesungguhnya terjadi adalah musim kemarau panjang yang disertai badai El Nilo. Namun, yang lebih memperburuk adalah terjadinya karhutla yang meluas dan tak dapat ditangani dengan memadai. Selain menyebabkan kabut asap, suhu juga menjadi lebih panas dan memengaruhi budi daya  pertanian.

Arifudin, M. P., dosen Fakultas Pertanian Universitas Riau juga sepaham bahwa terjadi pergeseran pada kondisi alam, meskipun belum dapat dikatakan sedang terjadi perubahan iklim. Kondisi itu nyata memengaruhi kehidupan masyarakat secara signifikan, termasuk kaum tani. Yang paling nyata itu adalah kenaikan suhu. Tentu saja kenaikan suhu akan berpengaruh besar terhadap budi daya  pertanian.

Lebih lanjut dijelaskannya mengenai pertanian, prinsip-prinsip dalam budi daya  yang harus dipenuhi adalah penyediaan sarana produksi, bibit yang unggul, pupuk, serta pemeliharaannya yang maksimal. Di luar itu, tak ada yang dapat memengaruhi keberhasilan budi daya  pertanian secara signifikan. Termasuk mengupayakan rekayasa iklim. “Jelas itu susah untuk perkebunan sawit dan karet. Itu hanya dapat diupayakan pada pertanian holtikultura. Ini tanaman tahunan. Jadi, bukan hanya iklim. Faktor untuk menurunkan hasilnya banyak. Berbeda dengan tanaman semusim,” ujar mahasiswa program doktoral di Universitas Gadjah Mada ini.

Mitigasi
Oleh karena itu, yang semestinya diupayakan demi kepentingan petani khususnya petani swadaya adalah manajemen pertanian yang bagus, sistem budi daya  yang terus diperbaiki, membuat kelembagaan dalam pengelolaan pertanian yang baik, pemasaran diperkuat dan pembinaan yang maksimal oleh pemerintah.

Namun, ditambahkan Haris Gunawan, ada beberapa hal lain lagi yang bisa dilakukan petani karet dan sawit demi mengurangi dampak pergeseran kondisi alam ini alias melakukan mitigasi atas perubahan tersebut. Pertama, petani harus mampu membaca fenomena-fenomena perubahan alam, agar lebih siap. Masyarakat petani harus menyadari, belajar dan peduli atas perubahan-perubahan itu. Kemudian, pertimbangkan dengan matang waktu tanam. Lalu, perlu penyediaan cadangan air yang maksimal. Termasuk atur strategi masa panen. Terakhir, perlu diversifikasi mata pencarian.

Di luar itu, masyarakat petani dan bangsa Indonesia yang lebih luas lagi harus menghentikan proses konversi hutan secara besar-besaran, terutama di daerah cadangan air. Selanjutnya, tinggalkan pertanian yang monokultur. Pertanian dan perkebunan kita harus variatif. Termasuk jangan membuat kebun-kebun yang besar. Harus kecil-kecil. Ini juga demi menjaga keanekaragaman di atas. Ingat pula untuk menjaga sumber-sumber air, termasuk membiarkan sungai, sungai kecil, irigasi, dan parit hingga saluran air yang kecil tetap difungsikan sebagaimana mestinya. Jangan sempat menutup saluran air dan menanam di daerah-daerah aliran sungai.

Sementara Suprianto menyatakan bahwa menghadapi persoalan-persoalan budi daya  pertanian akibat kondisi cuaca yang tak dapat dihindari tersebut, ada beberapa upaya yang bisa dilakukan petani. Upaya-upaya itu juga disuluhkannya kepada petani lain. Yang terutama adalah sistem pengolahan budi daya  karet dan sawit itu dibenahi. Satu hal yang teramat penting di sini adalah membuat parit bertapang. Artinya, membuat aliran air di parit-parit sekitar kebun tak langsung dengan mudahnya sampai ke sungai. Dalam hal ini, parit yang bukan parit utama yang langsung terhubung ke sungai, tidak disambungkan ke parit utama, sehingga air masih tetap terkurung di sekitar kebun.

Di luar itu, tak ada hal spesifik yang bisa dilakukan. Terkait pemeliharaan atau perawatan, tetap mesti dilakukan sebagaimana mestinya. Mengenai pembasmian hama, Supri berujar,  “Gunakan herbisida, kurangi pestisida supaya tak kering ke permukaan (lahan). Bisa juga dengan penebasan, atau pembersihan manual.”

Para petani lain ternyata juga sudah memitigasi dan melakukan daya upaya agar dampak buruk tak terjadi lebih jauh. Misngadi menuturkan, “Yang bisa dilakukan, cuma tak menyemprot (dengan pestisida). Jadi, rumput tak kering. Biarkan saja. Rumput menyimpan dan membawa air. Setidak-tidaknya embun. Kemudian, tak membabat gulma di sekitar batang.”

Adapun M. Ali melakukan pembibitan semaksimal-maksimalnya karena lateks dan pertumbuhan tanaman karet sangat tergantung pada kecukupan air. Oleh sebab itu, bila kemarau panjang, ia mengupayakan pembibitan dalam jala, sehingga tak terlalu panas,” katanya.

Seorang petani Riau menyadap karet di kebun yang telah dikelolanya bertahun-tahun di tengah cuaca berkabut. (dina)

Published in ClimateReporter