Profil: Petani Inovatif di Lahan Gambut

Laporan Jeane Rondonuwu, Sulutdaily.com, Manado

Penulis adalah peserta Lokakarya Meliput Daerah Ketiga Angkatan Keempat (MDK IV). Jeane mendapat tugas ke  Kabupaten Pulangpisau, Kalimantan Tengah, 24-28 Agustus 2016. Lokakarya diselenggarakan Lembaga Pers Dr. Soetomo dan Kedutaan Norwegia 23 – 31 Agustus 2016

 

‘’ Kebun kami berhasil lolos dari kebakaran, ’’ kata Berson S.Pd  sembari memantau hasil penyadapan karet di kebun Kelompok Tani Panega,  sekitar 1 kilometer dari jalan raya Desa Jabiren, Kabupaten Pulangpisau. Suami Sukarti ini bersyukur, meski harga karet kini anjlok hingga 5.500 rupiah per kilogram,  tapi kebun seluas 1.500 hektare berhasil  lolos dari jilatan lidah api 2015 lalu.

 

Berson SPd bersama Anggota Kelompok Tani Panenga yang sedang menyadap karet. Foto Jeane Rondonuwu

Desa Jabiren, Kalimantan Tengah, Sulutdaily.com/ClimateReporter –  Anggota kelompok tersisa  45 kepala keluarga. Tetapi mereka terlihat tetap ulet  menjaga  lahan perkebunan di Kalimantan Tengah yang digarap sejak 2002.

“Saat Kelompok Tani Panenga dibentuk jumlah anggotanya 162 kepala keluarga, tapi mereka satu persatu mengundurkan diri,’’ kata Berson SPd .

 

Banyak anggota  mundur karena tidak semua petani berpikir untuk maju. Apalagi bertani di lahan gambut yang sudah mengalami degradasi akibat kebakaran berulang-ulang. 

“Ekosistem rawa gambut tergolong ekosistem gampang rapuh. Artinya dengan mudah rusak tetapi sangat sulit untuk pulih kembali. Jadi dibutuhkan keuleten dan  inovasi  untuk mengelola lahan seperti ini,’’ cerita Berson yang juga adalah guru SD Negeri Desa Jabiren. 

Menurut cerita ayah Yessi dan Denny ini, Desa Jabiren, Kecamatan Jabiren Raya,  Kabupaten Pulangpisau, sebelum tahun 1972 ekosistemnya masih berupa hutan belantara dengan tinggi pohon mencapai 30 meter. Bahkan ada yang lebih.

Kondisi rawa gambut memiliki tinggi air lebih dari satu meter. Keragaman hayati belum terjamah.Mata pencaharian penduduk adalah nelayan dan berkebun karet di tepian sungai Kahayan. 

Periode tahun 1995 dimulailah Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektare (PLG). Presiden Soeharto mau mengalihfungsikan lahan gambut menjadi lahan sawah agar Indonesia mencapai swasembada beras.

PLG ini  ditandai dengan pembuatan kanal atau saluran drainase gambut berukuran raksasa. Inilah penyebab kawasan Desa Jabiren mulai mengering. Keringnya tanah gambut memicu terjadinya kebakaran. Kebakaran besar pertama kali terjadi tahun 1997 atau 2 tahun setelah kanal raksasa dibuat. 

‘’Tahun 2002 Kelompok Tani Panenga terbentuk dengan anggota 162 kepala keluarga. Kami membuat Handel (parit) Panenga sepanjang 1 kilomenter, kemudian diperpanjang hingga  3 kilometer.  Ini adalah upaya swadaya kami untuk memanfaatkan lahan gambut yang terdegradasi menjadi perkebunan karet,’’ tutur Berson SPd.


Rupanya drainase seperti ini  menyebabkan kawasan kubah gambut mengering hingga 1 meter . Keringnya gambut  menyebabkan kebakaran pada tahun 2005, 2007 dan 2012. 

‘’Belajar dari kejadian masa lalu, saya berkomitmen untuk mengelola perkebunan milik kelompok kami dengan baik dan benar,’’ kata Berson bersemangat. 

Membangun Sekat Kanal

Akhir tahun 2012 hingga Desember 2013, Kelompok Tani Panenga mendapat bantuan program pemberdayaan masyarakat dan pemulihan ekosistem. Dana hibah sebesar Rp795 juta dikucurkan melalui  Sekretariat Bersama (Sekber) REDD+ dan UNDP yang dilaksanakan oleh Balai Teknologi Pertanian Kalimantan Tengah. 

Salah satu sekat kanal di kebun Kelompok Tani Panenga yang dibangun 2013. Foto. Jeane Rondonuwu

Area kegiatan seluas 100 hektare dengan strategi utama yakni memberdayakan masyarakat  sambil memperbaiki lingkungan. Sejumlah kegiatan seperti sosialisasi, pelatihan budidaya karet dan olahan buah nanas  membangkitkan kembali gairah masyarakat untuk bertani.


Kebun karet pun kembali dibersihkan dari semak belukar dan ditanami nanas sebanyak 100.000 rumpun.  Tanaman sela ini berhasil dengan pemberian pupuk kandang ayam.

“Kami memiliki kandang ayam . Hasilnya dijual dan pupuk kandangnya untuk pengolahan lahan gambut,’’ jelas Berson sambil menunjukkan posisi kandang ayam di belakang rumahnya.

Setelah kegiatan tersebut dirasakan manfaatnya oleh anggota kelompok,  maka program berikutnya yakni memperbaiki ekosistem dengan membangun sekat kanal. Pengelolaan air melalui pembuatan pintu air sistem bertingkat ini membantu untuk membasahi lahan gambut . 

Secara gotong royong sekat kanal atau yang biasa disebut tabat dibuat. Kanal disekat menjadikan permukaan air kanal naik. Air ini diserap tanah gambut di kiri kanan kanal, dengan demikian lahan gambut menjadi basah kembali.

Di Handel Panenga yang panjangnya 7 kilometer, sebanyak  4 sekat kanal dibangun dari hilir hingga hulu. Pengaturan buka tutup pintu air ini ditentukan oleh kelompok tani sendiri.  

“Terdapat ketentuan  adat, siapa yang membuka pintu air, dia juga yang harus menutupnya. Biasanya pintu air dibuka penuh saat musim hujan,’’ kata Berson sambil menunjukkan sekat kanal yang dibuat 2013 masih kokoh. 

Rambu ukur juga dipasang sebanyak 3 buah di lokasi handel. Fungsinya untuk mendeteksi ketersediaan air di kubah gambut. Apabila ketinggian air dilihat dari rambu ukur tinggi seperti di musim hujan, maka air yang terdrainase melalui handel umumnya didominasi air berlebihan  dari air hujan yang jatuh di kubah gambut.

Sebaliknya, jika air di handel  surut dengan ekstrim,  artinya air yang terdrainase adalah air yang tersimpan di kubah gambut. Kondisi ini adalah titik rawan dan bahaya kebakaran sangat tinggi.


Selain rambu ukur, dipasang juga piezometer untuk mengukur muka air tanah. 50 piezometer dipasang dia area 100 hektare.

“ Dengan adanya sekat kanal kami bisa mengkonservasi air yang keluar dari kubah gambut,’’ kata Herson, salah satu Ketua Kelompok Tani utusan  Kabupaten Pulangpisau yang telah tamat dalam pendidikan dan pelatihan bagi penyuluh kehutanan swadaya masyarakat 2014. Pelatihan diselenggarakan Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan di Samarinda Desember 2014 lalu


Untuk mengantisipasi kebakaran, kelompok tani membuat sumur bor secara swadaya. Kelompok tani ini mendapat predikat  terbaik  pertama di Provinsi Kalteng untuk kategori kelompok tani hutan dalam lomba Wana Lestari Tahun 2014 yang digelar Kementerian Kehutanan.

“Kebakaran tahun 2015 teramat parah, tetapi berkat keuletan anggota kelompok yang ada untuk bertani secara smart maka  kebun kami bisa lolos dari kebakaran tersebut.

“Ketersedian sumur bos sangat penting untuk memadamkan api dan menetralkan suhu panas akibat kebakaran yang melanda hampir seluruh wilayah Kalteng,’’ aku Berson yang saat ini dipercayakan menjadi Fasilitator Percontohan Kelompok Pencegah Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Pulangpisau.

Emisi Gas Rumah Kaca

Dalam proyek REDD+ dan UNDP juga dilakukan pengukuran emisi gas rumah kaca. Pengukuran ini dilakukan selama empat kali.

Menurut buku  berjudul ‘ Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi Melalui Inovasi Teknologi dan Pemerdayaan Masyarakat’ (2014, Kementerian Pertanian dan Badan Penelitian dan Pengembangan  Pertanian) emisi gas rumah kaca, khususnya CO2, pada proyek REDD+ Kelompok Tani Panenga Desa Jambiren diukur melalui empat kondisi pengukuran.


Empat kondisi pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca di Kebun Kelompok Tani Panenga. Sumber buku  ‘ Pengelolaan Lahan Gambut Terdegradasi Melalui Inovasi Teknologi dan Pemerdayaan Masyarakat’ (2014).

Ternyata emisi CO2 terendah diperoleh pada nanas yang diberi pupuk kandang ayam, kemudian kebun karet yang diberi pupuk kandang ayam, jika dibandingkan  dengan kebun karet dan lahan semak. Kecenderungan yang sama diperoleh dari emisi CH4.

Gas rumah kaca (green house gases) adalah sejumlah  jenis  gas  di atmosfer berisi karbon.  Hal ini berfungsi sebagai  atap rumah kaca yang kemudian meneruskan radiasi gelombang panjang matahari, tetapi mampu menahan radiasi inframerah yang diemisikan oleh permukaan bumi.


Gas yang dimaksud antara lain adalah Karbon dioksida (CO2), Metan (CH4), Nitrous Oksida (N2O), Hydrofluorokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs) dan Sulfur heksaflorida (SF6).


Sumber gas-gas rumah kaca terjadi secara  alami dan akibat aktifitas manusia. Gas rumah kaca yang terjadi secara alami adalah CO2 dan metan. Sedangkan gas yang dihasilkan akibat aktifitas manusia antaralain CO2 (Proses pembakaran bahan bakar fosil), NO2 (aktifitas pertanian dan industri), CFC, HFC, PFC (proses industri dan konsumen).


Keberhasilan Kelompok Tani Panenga merehabilitasi kawasan lahan gambut yang telah terdegradasi dicapai karena keuletan para petani dan didukung dengan inovasi teknologi pertanian di lahan gambut. Pemberdayaan masyarakat merupakan hal esensial yang perlu diutamakan dalam kegiatan merestorasi lahan gambut menjadi lahan pertanian yang produktif. 

“Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan restorasi lahan gambut sangat penting,’’ kata Kepala Sekretariat Bersama REDD+ Provinsi Kalteng yang saat ini menjabat Kepala Badan Lingkungan Hidup Kalteng Ir Mursid Marsono.

Menurut Mursid, pengalaman yang berarti bagi kelompok tani di Desa Jabiren memang harus dilakukan secara kontinyu.

“ Jangan setelah selesai proyek, kelompok tani ini tidak didampingi dengan program yang berkelanjutan ,’’ ujar Mursid di kantornya.

Berson SPd kerena keberhasilannya  pada November 2015

mendapatkan medali dan penghargaan dari

Food and Agriculture Organization of the United Nations (FAO).

Foto Jeane Rondonuwu

Ia  berharap setelah REDD+ dibubarkan, Badan Restorasi Gambut (BRG) bisa membuat program yang menyentuh para kelompok tani yang juga berjuang untuk memanfaatkan lahan gambut secara baik. 

Berson karena keberhasilannya  pada November 2015 mendapatkan medali dan pengahargaan dari  Food and Agriculture Organization  (FAO), Organisasi Pangan dan Pertanian PBB.  Berson kini menjadi  pembina penyuluh kehutanan tahun 2016, dalam rangka terbentuknya tenaga pandamping handal bagi KTH di Provinsi Kalteng. 

Pria kacamata hitam karena diserang penyakit mata ini sangat berharap program BRG bisa membantu membangkitkan kembali semangat kolompok tani  yang dipimpinya.


“Saya baru tau ada BRG dari ibu. Saya berharap ke depan kelompok tani kami diikutsertakan dalam program BRG,’’ harap pria kelahiran Jabiren , 12 Oktober 1966.

Editor Warief Djajanto Bsorie

Published in ClimateReporter