Oleh Harry Siswoyo, Viva.co.id, Bengkulu
Mei 2015
PELUH masih mengucur di antara pelipis dan dagu Wak Thamrin. Pagi menjelang siang, tiga petak sawah miliknya baru usai ditanami bibit padi baru.
Bersama istrinya, Rubiah, ia bergantian mencucukkan batang padi setinggi 10 sentimeter ke petak sawah berlumpur di Desa Lubukresam, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.
Bagi Wak Thamrin sawah adalah segalanya. Berpuluh tahun ia hidup bersama empat anaknya yang kini sudah dewasa dari sepuluh bidang sawah miliknya.
Sepuluh tahun silam sawah-sawah itu memang menggiurkan. Hasil panen melimpah ruah, bahkan dari setiap kali panen, mereka bisa “menabung” beras untuk dua tahun. Itu pun belum ditambah dengan beras yang dibagi-bagi dan dijualnya ke pasar, sehingga memang sawah menjadi nadi bagi keluarga dari suku Serawai ini.“Tapi itu dulu. Kini susah. Panen kami tak lagi melimpah. Dari dua kali tanam setahun, sekalinya bisa gagal. Atau kalaupun sukses, bulir padinya banyak yang ompong (puso),” cerita Wak Thamrin akhir pekan lalu.
Keluh Wak Thamrin seragam dengan warga lainnya. Kini desa yang hanya memiliki 75 kepala keluarga itu, separuhnya sudah meninggalkan sawahnya dan menggantikannya dengan tanaman keras seperti karet atau sawit.
Orang desa sudah enggan menanami sawah. Gagal panen dan musim yang beubah-ubah, membuat penduduk malas bersusah payah menceburkan diri ke lumpur sawah.
Dulu, menurut Wak Thamrin, meski desa mereka terpelosok jauh di dalam hutan dan hanya bisa diakses lewat berjalan kaki sehari penuh dari kecamatan, desa mereka menjadi lumbung penghasil beras.
Lumbung-lumbung padi yang terbuat dari bangunan kayu ataupun semen bertebaran di sekitar desa. Setiap hajatan besar, warga bisa urunan menyumbang beras dari lumbung padinya.
Namun, kini semua berubah. Lumbung-lumbung penyimpan padi sudah ditinggalkan. Bangunannya dibiarkan rusak dan terbengkalai di pinggiran desa.
Beberapa di antaranya bahkan sudah lapuk dan rusak karena dimakan rayap dan usia. “Lumbung jadi sarang tikus dan rayap. Beberapa di antaranya sudah dirobohkan untuk dibuat rumah,” ujar Wak Thamrin.
Iklim Berubah
Berpuluh tahun lalu, jauh sebelum Desa Lubukresam dinobatkan menjadi desa, tata pranata dusun diatur oleh para jungku, yakni para pemangku adat yang dipercaya memiliki kelebihan khusus.
Para jungku ini mengatur setiap norma kehidupan. Mulai dari masalah moral, etika hingga pun masa bercocok tanam bagi warga dusun.
Mereka selalu memulainya dengan rapat di rumah ketua jungku, sehingga setiap keputusan selalu merujuk ke rapat dusun ataupun merujuk pada tanda alam untuk hal-hal yang berkaitan dengan tanaman.
Oleh karena itu, bertani bagi sebagian warga memang bukan sekadar bercocok tanam biasa, tetapi juga sebuah konsep sakralitas dan berhubungan langsung dengan fenomena alam.
Jadi. seorang jungku dituntut harus memiliki kemampuan membaca tanda-tanda alam agar masa panen dan tanam tak membuat rugi penduduknya.
“Semua dilakukan dengan sakral. Dari mulai jadwal menanam hingga pun panen dilakukan dengan tertib. Tak bisa sembarangan,” ujarnya.
Tahun berjalan, tradisi leluhur ini pun kini diabaikan. Jungku-jungku sudah tergantikan oleh kepala desa dan perangkatnya.
Sejalan dengan itu, keahlian membaca tanda-tanda alam dan musim pun ikut tergerus. Tradisi berubah selaras dengan bergesernya iklim.
Para mantan jungku dan warga desa sudah tak terampil lagi membaca fenomena alam. Bercocok tanam pun akhirnya menjadi sebuah kegiatan rutin sekadar memenuhi kebutuhan perut dan duit.
Panen banyak yang gagal. Jadwal yang dahulunya tertib kini tak beraturan. Musim hujan dan kemarau yang biasanya bisa terdeteksi, sudah sangat sulit untuk dirapal.
“Kami tak bisa lagi membaca kapan musim tanam, kapan musim banyak tikus dan burung dan kapan waktunya berlibur di rumah,” kenang Wak Thamrin.
Ancaman Rawan Pangan
Kini hampir separuh penduduk Desa Lubukresam masih menggantung nasib di hamparan tanah dan hutan yang mereka miliki.
Beberapa pemuda mulai meninggalkan desa dan mengadu peruntungan sebagai pekerja di luar. Sedikit yang beruntung menjadi pekerja kantoran, sisanya mengandalkan otot di pasar ataupun pelabuhan.
Tanah desa ditinggalkan untuk para orang tua yang sudah tak cukup kuat mengadu nasib. Sawah dan ladang dikelola tak lagi merujuk ke musim, tetapi sudah berdasarkan kebutuhan pasar.
“Jadi, kalau cabai naik, tanam cabai. Kalau ada kabar karet naik, semua mulai tanam karet. Padi sawah paling cuma untuk berjaga-jaga agar tak kelaparan,” ujar warga desa lainnya, Suhirman.
Lubukresam pun jauh berubah. Apalagi sejak dibukanya akses ke desa ini dengan kendaraan berat pada delapan tahun lalu.
Dari yang dulunya cuma seminggu sekali ada kendaraan, kini sudah berubah menjadi setiap hari meski hanya maksimal hingga pukul 16.00.
Lampu-lampu listrik berpendaran di setiap rumah. Lampu minyak ditinggalkan di pondok-pondok sawah dan ladang kalau sedang bermalam.
Urunan beras saat pesta pernikahan pun menjadi tak zaman. Paling cuma dilakukan segelintir orang. Beberapa warga kini lebih memilih memberi kado kepada pengantin. Praktis dan tak merepotkan.
Dari kejauhan bidang-bidang sawah terlihat sudah tertutup oleh pucuk-pucuk karet. Sisanya berhamparan pelepah sawit kecil yang sedang menunggu siap panen entah berapa tahun lagi.
“Zaman berubah. Iklim berubah. Langit berubah. Pemerintah berubah. Jam berubah. Warga kami pun berubah. Itulah namanya kemajuan zaman,” ujar Wak Thamrin.
– Link berita : http://economy.okezone.com/read/2015/05/15/320/1150203/sulap-limbah-kertas-jadi-lukisan-amir-untung-jutaan-rupiah
Published in